Curhat Pelaku Usaha Kerap Merugi Hingga Ratusan Triliun, Ada Apa?

Gangguan keamanan ini memicu kerugian hingga ratusan triliun rupiah akibat investasi yang batal dan keluar dari kawasan industri

oleh Liputan6.com Diperbarui 12 Mar 2025, 22:51 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2025, 22:39 WIB
Curhat Pelaku Usaha Kerap Merugi Hingga Ratusan Triliun, Ada Apa?
Ilustrasi kerugian yang dialami perusahaan... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah investor mengaku resah dengan tindakan oknum ormas yang diduga melakukan aksi premanisme di kawasan industri yang membuat masyarakat dunia usaha terganggu. 

Seperti disampaikan ketua umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar menyatakan aktivitas ormas dinilai dapat mengganggu bahkan merugikan perusahaan.  

Ia menyatakan banyak investor resah dengan aktivitas ormas di kawasan industri, seperti melakukan demonstrasi, penyegelan dan sebagainya. 

Ormas tersebut diduga melakukan demonstrasi lantaran meminta "jatah" dalam pembangunan atau aktivitas pabrik.

Gangguan keamanan ini memicu kerugian hingga ratusan triliun rupiah akibat investasi yang batal dan keluar dari kawasan industri. Kerugian ratusan triliun ini pun sempat viral di media sosial dan menjadi perbincangan warganet.

"Kalau dihitung semuanya, ngitungnya bukan cuma yang keluar, tapi yang nggak jadi masuk juga. Itu bisa ratusan triliun rupiah," kata Ketua Umum HKI, Sanny Iskandar, dalam sebuah diskusi baru-baru ini di Jakarta. 

Lebih lanjut, dia menuturkan, wilayah yang sering terjadi premanisme ormas berada di Bekasi, Karawang, Jawa Timur, dan Batam. Namun, bukan hanya kawasan industri saja yang menjadi sasaran ormas. 

Keresahan juga dialami pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI). 

Mereka mengaku banyak anggotanya mendapatkan perlakuan intimidasi dari ormas saat hendak mengambil unit kendaraan nasabah atau konsumen yang menunggak cicilan. 

Promosi 1

Kredit Macet Meningkat

"Adapun salah satu daerah yang menjadi sorotan APPI yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur," kata Ketua APPI Suwandi Wiratno.

Suwandi mengungkapkan, sesuai dengan ketentuan undang-undang, debitur yang lalai dalam pembayaran dan tidak menanggapi somasi wajib menyerahkan kendaraannya. 

"Karena dia tidak melakukan hal-hal yang menjadi kewajibannya dan tidak menanggapi surat somasi, ya dilakukan eksekusi," tuturnya.

Meskipun perusahaan pembiayaan memiliki hak untuk menarik kendaraan sesuai dengan ketentuan hukum dan pengadilan, faktanya banyak debitur bersikap tidak kooperatif dan malah melakukan intimidasi terhadap perusahaan pembiayaan.

Setelah ditelusuri, ungkapnya, banyak debitur tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat yang didirikan oleh individu atau kelompok masyarakat tertentu. 

Sehingga memengaruhi anggotanya dalam melakukan pembayaran cicilan serta menghalangi proses eksekusi. 

"Nah, pada saat eksekusi dilakukan, yang terjadi kita diintimidasi sama komunitas, rupanya debitur sudah bergabung di situ," katanya.

Sementara itu Presiden Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF), Ristiawan Suherman, mengaku intimidasi yang dilakukan ormas dalam eksekusi unit kendaraan nasabah dapat berdampak pada kenaikan kredit macet. 

"Dampak yang dirasakan bagi multifinance bila muncul kredit macet dari nasabah, salah satunya yakni berpengaruh ke angka NPF perusahaan. Rasio NPF menjadi salah satu hal penting sebagai bentuk upaya perusahaan dalam menjaga kesehatan portofolionya," ucapnya.

Dampak berantainya, kenaikan kredit macet ini tentu akan berdampak pada kemampuan perusahaan pembiayaan dalam melakukan kewajiban pembayaran pinjaman kepada perbankan, di mana pinjaman perusahaan pembiayaan banyak berasal dari perbankan. 

Kondisi ini tentu saja membuat perusahaan pembiayaan lebih selektif dan berpikir dua kali untuk menyalurkan pembiayaan ke daerah yang rawan konflik dengan ormas atau LSM. 

Terhampatnya proses pembiayaan kendaraan akan mengganggu perekonomian juga karena salah satu pendapatan pemerintah daerah masih mengandalkan pajak kendaraan bermotor. 

Selain itu aktivitas usaha masyarakat juga akan terganggu karena mereka kesulitan mendapatkan akses pembiayaan.

"Bila ada selisih paham, sudah seharusnya diselesaikan berdasarkan prosedur penyelesaian yang telah diatur oleh OJK, bukan dengan meminta perlindungan dibalik ormas atau LSM. Diatur dalam POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan & UU Jaminan Fidusia," tukasnya.

Bila melanggar ketentuan tersebut, bisa dipastikan konsumen akan berurusan dengan pengadilan dan terancam pidana. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya