Liputan6.com, Jakarta Indonesia sejak lama dikenal sebagai bangsa yang agraris, hal tersebut tergambar dari salah satu budaya yang masih bertahan di Desa Aliyan, Kecataman Rogojampi, Banyuwangi. Masyarakat desa ini masih memegang teguh tradisi Keboan, yaitu sebuah ritual adat memohon kepada Tuhan agar sawah menjadi subur dan panen berlangsung sukses. Uniknya, dalam ritual yang kerap dilakukan pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa, banyak petani kerasukan roh gaib dan bertingkah layaknya kerbau.
Menurut informasi yang diterima tim Liputan6.com, Senin (19/10/2015), kerbau bagi masyarakat Banyuwangi tak hanya sekadar mitra petani di sawah, tetapi juga menjadi mendia untuk menghalau malapetaka selama musim tanam hingga penen tiba.
Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi di Balai Desa Aliyan menuturkan, “Keboan sejak lama telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat lokal Banyuwangi. Kerbai bukan ternak pada umumnya yang dikonsumsi dagingnya. Tapi kerbau adalah mitra petani untuk menggarap sawah dan berupaya mendapatkan kemakmuran.”
Advertisement
Ritual Keboan secara umum diawali dengan kenduri desa yang digelar sehari sebelumnya. Setelah persiapan mendirikan gapura dan memasang janur yang dihiasi hasil bumi di sepanjang jalan desa, keesokannya warga beserta para tetua menggelar selamatan di 4 penjuru desa. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan ider bumi. Dalam ritual ini para petani didandani layaknya kerbau, lalu berkeliling desa mengikuti 4 penjuru mata angin.
Saat ider bumi itulah para petani diyakini kerasukanb roh gaib, dan melakukan berbagai adegan layaknya kerbau di sawah, seperti berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung sepanjang jalan yang dilewati. Uniknya tiap petani yang kerasukan roh gaib pada pundaknya juga terpasang peralatan membajak persis kerbau.
“Warga yang menjadi kerbau di ritual adat ini tidak bisa mengelak karena dipilih langsung oleh roh gaib leluhur. Apabila terpilih maka tindak-tanduk mereka akan persis seperti kerbau. Keluarga pun harus terus menerus mendampingin selama prosesi agar kebo-keboan ini tidak mengamuk,” ungkap Kepala Desa Aliyan, Sigit Purnomo.
Merunut pada sejarahnya, tradisi Keboan pada masyarakat Desa Aliyan mulai dikenal sekitar abad ke-18, yang dibawa oleh Buyut Wongso Kenongo, salah seorang pendiri Desa Aliyan. Awalnya merupakan wangsit untuk menggelar Keboan dengan tujuan agar masyarakat desa terhindar dari malapetaka, dan selalu dilimpahi hasil panen.
Sementara itu, Bupati Anas menambahkan, Pemerintah Banyuwangi akan terus berkomitmen menjaga tradisi yang berkembang dalam masyarakat ini. “Tradisi semacam ini tidak boleh lekang dengan perkembangan zaman. Selain sebagai warisan budaya leluhur kita, ini juga sebagai salah satu cara warga desa bisa guyub, warga bisa saling bergotong-royong,” ungkap Bupati Anas.
Tradisi Kebo-keboan sejak 2014 telah masuk dalam agenda Banyuwangi Festival, yang merupakan agenda pariwisata daerah yang berisi beragam acara wisata. “Masuknya Kebo-keboan dalam agenda banyuwangi Festival merupakan upaya kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya masyarakat desa pun bisa bangga,” pungkas Bupati Anas.