Liputan6.com, Jakarta - Jagad maya ramai oleh riuh netizen tentang hashtag atau tagar kabur aja dulu. Ajakan hijrah dari Indonesia ke negeri orang lain bukan tanpa sebab. Tagar ini dinilai merupakan manifestasi dari frustrasi yang mendalam atas berbagai permasalahan yang dihadapi.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan, tagar tersebut terlacak paling awal diunggah oleh akun @amouraXexa pada 8 Januari 2025. Namun waktu itu masih kecil sekali engagement-nya.
Advertisement
Baca Juga
"Baru viral setelah diangkat @hrdbacot pada 14 Januari 2025, lalu akun @berlianidris pada 6 Februari 2025," kata Ismail kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/2025).
Advertisement
Dia menilai, #KaburAjaDulu ini sebagai reaksi frustasi atas situasi di Indonesia yang dirasakan sebagian netizen. Mereka mencari informasi lowongan kerja, tips persiapan berangkat, risiko yang harus dipertimbangkan, dan perbandingan tinggal di Indonesia dengan luar negeri.
"Frustrasi netizen terhadap keadaan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan ekonomi, kualitas hidup yang menurun, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik," kata dia.
Dari sisi umur, Ismail mengungkapkan, mereka yang meramaikan hashtag ini kebanyakan usianya antara 19-29 tahun sebesar 50.81%, lalu sebanyak 38.10% usianya kurang dari 18 tahun. Sedangkan dari segi gender, separuh lebih disampaikan oleh pria.
"Paling banyak dari kalangan laki-laki sebesar 59.92%, lalu perempuan 40.08%," ujar dia.
Ada dampak baik dan buruk dari hebohnya #KaburAjaDulu. Ismail menuturkan, dari sisi positif netizen meyakini adanya peluang kerja yang lebih baik di luar negeri. Kemudian juga menambah pengalaman hidup yang beragam dan menggapai kesempatan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan baru
"Selain itu, adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pengembangan diri," ujar dia.
Kemudian dari sisi buruknya, muncul persepsi negatif terhadap pemerintah dan kondisi di dalam negeri. Selain itu kesulitan dalam beradaptasi dengan budaya baru serta stigma sosial terhadap mereka yang memilih untuk berimigrasi.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menilai, pada era digital saat ini, media sosial bisa menjadi salah satu sarana dalam melakukan upaya edukasi masyarakat. Selain itu juga dapat dijadikan tekanan publik baik secara sosial, psikologis, politik bahkan ekonomi.
"Secara sosiologis, juga bisa menjadi sumberdaya dalam melakukan aktivisme sosial, termasuk gerakan sosial," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/20250.
Ia mengungkapkan, #KaburAjaDulu merupakan ekspresi sebagian kelompok yang disampaikan melalui media sosial. Karena menurut mereka, medsos dianggap sebagai saluran komunikasi yang tersedia, terbuka bagi publik, dan dianggap aman dan punya daya pengaruh besar.
Untuk itu, dia menilai tagar yang menghebohkan ini belum tentu dibangun oleh gen Z semata. Banyak elemen lain yang bermain dalam dunia maya tersebut.
"Di dunia digital, harus juga dipahami bahwa narasi yang terbangun apakah memang dibangun murni oleh Gen-Z? Karena melalui medsos berbagai kelompok kepentingan bisa memanfaatkan atau bahasa lainnya "mendulang di air keruh'," ujarnya.
"Artinya netizen tetap perlu bersikap kritis atas wacana yang muncul tersebut," Ida menegaskan.
Dia menuturkan, kemunculan tagar ini tidak sertamerta menjadi hal yang lumrah atas kondisi Indonesia saat ini. Sebab perpindahan masyarakat pada era saat ini, harus disikapi sebagai dampak dari globalisasi.
"Wajar tidaknya tentu terkait daya kritis publik dalam mensikapi tagar tersebut. Secara sosiologis, sebagai dampak globalisasi, memang terjadi peningkatan mobilitas warga dunia, termasuk hadirnya berbagai warga asing di Indonesia," jelas dia.
Artinya, dia menegaskan, adanya WNI yang 'keluar negeri' dan kemudian mmutuskan 'menetap' di negara lain, masih perlu dikaji berapa banyak yang "kabur". "Dan apakah itu merupakan wujud resistensi bahkan perlawanan pada pemerintah?" tanyanya.
Ida pun menyoroti karakter Gen Z yang dikenal sebagai generasi strawberry yang mempesona tapi rapuh. Menurutnya, hal tersebut tidak bisa digeneralisasi, meski data BPS menunjukkan ada sekitar 2O-an persen pada kelompok tersebut yang berstatus Not in Employment, Education, and Training (NEET).
"Pertanyaannya adalah jika Gen Z sebagai pelaku "kabur aja dulu", maka sebetulnya mereka generasi yang tangguh dan berani menghadapi risiko karena bermigrasi ke negara lain bukan hanya butuh daya tahan untuk hidup mandiri, namun juga modal finansial dan juga modal sosial (jaringan, trust, dan lainnya)," kata dia.
Mereka yang ingin hijrah ke negara lain, pada prinsipnya dimungkinkan bermotivasi mencari penghidupan yang lebih baik dan sejahtera serta lingkungannya kondusif. "Aspek terakhir ini yang bisa menjadi pemicunya, kemudian narasi plus tagarnya diviralkan. Secara sosiologis, migrasi bisa dilihat sebagai proses mencari keseimbangan hidup," kata dia.
Ida menilai #KaburAjaDulu belum dikategorikan sebagai gerakan sosial meski bergema di jagad maya. Dalam kasus tertentu, memang media sosial bisa menjadi sarana gerakan sosial yang efektif contohnya adalah gerakan #MeToo.
Gerakan #MeToo adalah kampanye global melawan pelecehan dan kekerasan seksual yang mulai viral pada tahun 2017. Gerakan ini dimulai setelah aktris Alyssa Milano mengajak korban pelecehan seksual untuk membagikan pengalaman mereka dengan menggunakan tagar #MeToo di media sosial.
"Pertanyaan mendasar adalah apa tujuan jangka panjangnya. Perubahan sosial apa yang diharapkan?Dengan demikian Negara, seharusnya mendapat pembelajaran tentang hal-hal tersebut, termasuk juga pembelajaran bagi masyarakat, karena normalisasi masyarakat selama ini, atas hal-hal yang merugikan hak-hak warga bangsa dan warga negara, ikut berkontribusi atas situasi kondisi yang ada," dia menandaskan.
Seperti Dua Mata Pisau
Sementara itu, menurut Psikolog Klinis, Fifi Pramudika, tagar "Kabur Aja Dulu" layaknya dua mata pisau. Artinya, ada sisi positif dan negatifnya.
"Seperti dua mata pisau ya, tagar Kabur Aja Dulu jadi marak terus orang jadi punya aspirasi untuk hidup di luar negeri ya kalau kita lihat mungkin jadi bisa menambah jumlah diaspora-diaspora Indonesia yang ada di luar negeri. Ibaratnya ini jadi kayak diplomasi, memperkenalkan Indonesia di panggung dunia," jelas Fifi kepada Liputan6.com lewat sambungan telepon, Jumat (14/2/2025).
Secara ekonomi, ketika orang kerja di luar negeri maka bisa menyumbangkan devisa untuk Indonesia sehingga menguntungkan negara.
"Tapi di sisi lain ada dampak atau konsekuensinya yang negatif juga. Misalnya, kalau semua orang ke luar negeri, yang membangun Indonesia siapa? Talenta-talenta terbaik pergi ke luar negeri, akhirnya di Indonesia ya udah tinggal orang-orang yang mungkin bukan best of the best untuk membangun negara ini. Jadi ya ada positif negatifnya," terang Fifi.
Fifi menambahkan, #KaburAjaDulu dapat memengaruhi anak-anak atau pemuda lain untuk melakukan gerakan tersebut.
"Bisa nggak memengaruhi anak-anak untuk mengikuti movement ini? Ya bisa-bisa aja ketika mereka melihat bahwa hidup di Indonesia udah enggak promising (menjanjikan) dan bahwa mereka punya talenta untuk bersaing di kancah global."
Hanya saja, sambungnya, untuk pindah ke luar negeri dan mencari kehidupan yang lebih baik maka perlu persiapan yang sangat optimal.
"Supaya tujuan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik itu bisa tercapai," ucap Fifi.
Fifi pun menyoroti soal bahasa atau kata yang digunakan dalam #KaburAjaDulu.
"Kita lihat dari tagarnya aja deh, kan kalau di psikolog juga kadang kita melihat narasi yang digunakan, kata-kata yang dipakai. Di sini kata yang dipakai aja ‘kabur’ kabur itu kan biasanya kita lakukan ketika memang kita mau lari, ada sesuatu yang mau kita hindari."
"Orang kabur itu kan karena menghindari sesuatu yang kurang baik, supaya dia bisa selamat. Nah, apakah ini sama dengan lari dari kenyataan? Â Kalau mereka betul-betul pergi ke luar negeri, maka kemudian yang terjadi mereka akan menghadapi kenyataan yang baru di negara tujuan," urai Fifi.
Sementara, kehidupan di negara tujuan baru pun tak selalu tiba-tiba stabil dan belum tentu nyaman.
"Yang namanya kita merintis, awal-awal itu pasti ada nggak enaknya, masa beradaptasi ini yang kritis. Ketika masa-masa beradaptasi itu bisa jadi enggak enak juga yang dihadapi, tidak sesuai gambaran, tak sesuai bayangan."
Belum lagi soal pajak yang tinggi, nihilnya transportasi daring, mahalnya harga jasa, hingga tantangan empat musim.
"Makanya perlu persiapan, kita bukan lari dari kenyataan tapi ibaratnya kayak kita tetap aja hidup di dunia nyata. Mau hidup di Indonesia, mau di luar negeri kita kan tetap hidup di dunia nyata. Lari dari kenyataan itu kayak kita tidur dan bermimpi, itu kita lari dari realita istilahnya, tapi kalau tinggal di Indonesia atau luar negeri kan yang kita hadapi tetap realita.
Secara sederhana, tagar #KaburAjaDulu merujuk pada keinginan anak muda untuk meninggalkan Indonesia dan mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, baik dari segi karier, pendidikan, maupun standar hidup.
Menurut Fifi tagar "Kabur Aja Dulu" memang sedang trending akhir-akhir ini. Fenomena ini bukan sekadar tren media sosial, tetapi bisa dipahami sebagai bagian dari mekanisme psikologis dalam menghadapi tekanan sosial dan ekonomi.
"Kalau kita lihat, ini sebenarnya bukan sekadar tagar, tapi bentuk respons terhadap kondisi yang sedang tidak menentu, baik secara ekonomi maupun sosial," kata Fifi.
Protes Anak Muda Tak Punya Kuasa
Psikolog Tiara Puspita, M.Psi menilai seruan Kabur Aja Dulu di media sosial sebagian besar dilakukan generasi milenial maupun generasi Z yang memang memiliki kesempatan dari segi usia dan kemampuan untuk bekerja atau belajar di luar negeri.
Namun, tagar kaburajadulu yang terjadi di tengah isu-isu yang ada tampaknya bukan sekadar kabur semata. Melainkan juga bentuk kekecewaan terhadap situasi negara yang tidak baik-baik saja.
"Generasi muda ini menunjukkan rasa tidak berdaya atau tidak ada power untuk mengubah situasi yang sifatnya struktural atau susah diubah, ya udah kabur dulu," tutur Tiara lewat sambungan telepon dengan Liputan6.com pada Jumat, 14 Februari 2025.
"Sehingga ini lebih ke bentuk protes dari perasaan ketidakpastian dan tidak bisa berbuat apa-apa. Daripada stay dan sulit cari kerja lebih baik cari kesempatan di luar," lanjut Tiara.
Orang-orang yang menyerukan tagar tersebut memilih untuk mencari pekerjaan atau sudi yang pasti-pasti saja termasuk soal kesempatan dan kejelasan. Misalnya meski pajak tinggi di negara tersebut diketahui pajak itu menjadi sesuatu yang digunakan untuk kepentingan warga.
Tiara yang aktif praktik di layanan konseling Cognitive Steps ini mengatakan bahwa tidak salah bila melihat kesempatan yang lebih baik bekerja di luar negeri.
"Enggak ada salahnya mencari opportunity yang lebih baik. Enggak salah," tuturnya.
Namun, perlu juga mempertimbangkan beberapa aspek sebelum ke luar negeri agar tidak FOMO alias Fear Of Missing Out semata. Hal ini penting lantaran kehidupan di luar negeri yang jauh ari keluarga dan teman itu menuntut kemandirian tinggi.
"Cek dulu kemampuan kita, kemampuan untuk hidup mandiri," katanya.
Tiara mengingatkan bahwa hal yang tidak disadari hidup di Indonesia adalah punya banyak kemudahan. Mulai dari keluarga, teman, jasa dan layanan seperti transportasi online hingga asisten rumah tangga.
Ia mengatakan bahwa beberapa kliennya mengalami stres saat hidup di luar negeri. Penyebabnya beragam mulai dari tidak ada bantuan hingga merasa kesepian.
Lalu, cek juga dengan penghasilan yang didapat apakah sudah bisa untuk hidup di sana dengan kondisi luar negeri yang biasanya lebih mahal dari Indonesia.
"Ini kan bukan cuma traveling seminggu terus pulang ya tapi untuk hidup tinggal di sana dengan rutinitas baru dan kultur baru."
Tiara mengingatkan bahwa tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa bekerja atau belajar di luar negeri. Bisa jadi karena ada keluarga yang harus dijaga atau situasi lain yang tidak memungkinkan.
"Kalau begini, kuncinya adalah mensyukuri apa yang dipunya sambil be creative," pesan Tiara.
Be creative yang dimaksud Tiara --bagi yang ingin mencari penghasilan tambahan-- bisa dengan mencari penghasilan sampingan atau pekerjaan remote.
"Sekarang banyak opportunity seperti itu sehingga bisa mendapatkan eksposur yang sifatnya internasional tapi masih di dalam negeri," tuturnya.
Sehingga, bagi yang tidak bisa ke luar negeri tidak perlu berbondong-bondong ke luar negeri. Sesuaikan kemampuan diri agar enggak FOMO ikut kabur ke luar negeri.
"Jadi kita punya kelebihan apa, nah itu kreasikan di sini untuk menciptakan peluang," pungkasnya.
Advertisement
Bekerja di Mana pun itu Hak Asasi Manusia
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo memberikan pandangan terhadap tren yang sedang ramai di media sosial saat ini. Menurutnya tren #KaburAjaDulu merupakan bentuk frustasi dari masyarakat kepada situasi yang sedang ada di Indonesia.Â
"Saya kira isu kabur aja dulu itu sebenarnya bukti frustasi ya atas situasi yang ada di dalam negeri dan mereka memilih opsi untuk ke luar negeri," kata Wahyu kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/2025)
Ia juga menambahkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi di kalangan kelas menengah. Fenomena viral di media sosial mencerminkan berbagai pilihan yang bisa diambil masyarakat Indonesia untuk mencari peluang di luar negeri. Beberapa opsi yang umum dilakukan adalah mencari beasiswa atau menggunakan jalur pekerja musiman "seasonal worker".
"Jadi mereka bisa pakai jalur jadi turis dulu terus kabur kemudian cari beasiswa kalau yang agak sistematik terus nanti berpikir lagi apakah akan balik atau tidak, kemudian juga pakai jalur-jalur seasonal worker," jelas Wahyu
Selain itu, jalur ini juga menjadi alternatif, seperti working holiday visa di Australia atau program pekerja musiman di Inggris dan negara lainnya. Ia menilai keputusan seseorang untuk mencari peluang di luar negeri merupakan bagian dari hak asasi manusia.
"Jadi saya kira hak bermobilitas itu termasuk hak asasi manusia, sama juga dengan hak untuk mencari kondisi yang nyaman," kata dia.
Ia menyebut tagar #KaburAjaDulu memiliki kemiripan dengan situasi pada 1998. Namun, perbedaannya terletak pada alasan dan jalur yang ditempuh masyarakat untuk pergi ke luar negeri.
"Situasi ini sebenarnya enggak jauh berbeda dengan di tahun 98 tapi kalau di tahun 98 itu ada reason misalnya teman-teman yang etnis Tionghoa itu bisa pakai opsi suaka politik," katanya
Fenomena ini memungkinkan peningkatan anak muda untuk kerja permanen keluar negeri secara prosedural atau mandiri. Wahyu tidak ingin mengomentari pekerja ilegal karena mereka memiliki hak dan negara tidak ada hak untuk menghambat mereka selama memiliki dokumen yang absah.
"Nah kalau ini juga akan memungkinkan peningkatan orang muda untuk kerja permanen di luar negeri baik secara prosedural ataupun kerja-kerja mandiri,"ujarnya
"Pekerja di luar negeri adalah hak dan tidak ada hak bagi negara untuk menghambat mereka pekerja ke luar negeri selama mereka memiliki dokumen yang absah, mereka memproses melalui visa kerja, apalagi seasonal worker itu visa kerjanya kan bisa diurus sendiri," Tutup Wahyu
Adapun Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding melihat ada sisi positifnya. Dia juga mengingatkan, masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri harus meningkatkan keterampilan dan kemampuannya terlebih dahulu.
Menurut Karding, dengan kemampuan yang mumpuni, pekerja migran Indonesia akan mendapat sambutan hangat negara pemberi kerja. Jangan sampai, kata dia, yang sudah berangkat ke luar negeri menjadi sia-sia karena kompetensi yang tidak memadai.
"Kami melihat ada satu hal yang bisa kita isi di sana, yaitu Anda boleh kabur, tapi Anda bekerja aja di luar negeri, daripada kaburnya percuma sia-sia," kata Karding dalam keterangannya seperti dikutip Jumat (14/2/2025).
Dia berjanji KemenP2MI hadir untuk membantu masyarakat meningkatkan kompetensi agar keinginan bekerja di luar negeri tercapai.
"Kita tingkatkan kapasitas mereka, kita tempatkan mereka bekerja, dapat untung yaitu pekerjaan, dapat gaji, bisa bantu keluarga dan negara," ungkap Karding.
Dia juga mengingatkan, mereka yang sudah mengikuti pelatihan dan memiliki kompetensi yang mumpuni akan dibantu untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri sesuai kemampuan.
"Yang penting pelatihan saja, tinggal mau kerja apa, kita tempatkan di tempat-tempat bekerja itu," pungkasnya.
Â
Cinta Negara Diuji Tak Hanya Saat Senang
Isu #KaburAjaDulu juga menarik perhatian Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dia mengingatkan bahwa mencintai Indonesia bukan sekadar merasa bangga saat keadaan negara dalam kondisi baik, tetapi justru diuji ketika Indonesia menghadapi berbagai masalah dan membutuhkan perubahan.
"Cinta itu diuji saat negara sedang menghadapi banyak tantangan. Wajar jika terkadang kita lelah, karena perjuangan tanpa istirahat itu bisa terasa berat," kata Anies dalam sebuah video yang diunggah di akun X nya.
Menurutnya, rasa lelah dalam memperjuangkan perubahan bukanlah hal yang aneh. Bahkan, dalam perjalanan sejarah, banyak tokoh bangsa yang terus berjuang meskipun mereka tidak sempat melihat hasilnya secara langsung.
"Generasi 1908 dan 1928 terus bergerak maju meskipun saat itu dianggap hanya mimpi di siang bolong. Perjuangan mereka seperti gabungan antara maraton dan estafet, dilakukan secara bergantian tetapi tetap maju," tambahnya.
Menanggapi fenomena masyarakat yang mempertimbangkan untuk tinggal di luar negeri, Anies menyebut bahwa nasionalisme bukan ditentukan oleh tempat tinggal seseorang, tetapi bagaimana seseorang tetap berkontribusi bagi Indonesia di mana pun berada.
"Banyak tokoh bangsa kita yang dulu lama tinggal di luar negeri, tetapi tetap memberikan kontribusi besar bagi Indonesia. Jadi, nasionalisme itu bukan soal di mana kita tinggal, tetapi bagaimana kita tetap memberi manfaat bagi negeri ini, sekecil apa pun," ujarnya.
Anies juga menekankan bahwa bagi mereka yang memilih untuk tinggal di luar negeri karena kebutuhan diri atau keluarga, hal itu merupakan keputusan yang sah. Namun, ia mengingatkan bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk pindah ke luar negeri.
"Bagi yang berkesempatan pergi, gunakan peluang tersebut sebaik-baiknya, tetap berkontribusi untuk Indonesia di mana pun kalian berada. Sementara bagi yang tetap tinggal di Indonesia, mari kita saling mendukung dan menghadapi tantangan ini bersama-sama," pungkasnya.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) juga turut merespons ramainya #KaburAjaDulu di media sosial. Menurut Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu RI Judha Nugraha, semua warga negara memiliki hak untuk mencari penghidupan di mana saja.
"Satu hal yang kita tegaskan, hak setiap warga negara bekerja di luar negeri. Namun, lakukan dengan proses yang benar dan jalur yang legal," demikian pesan dari kepada awak media dalam jumpa pers pada Kamis (13/2/2025).
Menurut Judha, dari 67.297 jumlah kasus WNI pada tahun 2024, mayoritas kasus pelanggaran keimigrasian.
"Artinya apa? Banyak warga negara kita bekerja di luar negeri masih melalui jalur non-prosedural. Jadi, pola imigrasinya belum aman."
"Nah, ke depan kita ingin dorong migrasi aman perlu kita tingkatkan. Jadi, pertama tentunya kita kuatkan tata kelola migrasi yang murah, mudah, dan aman. Kemudian ketika pola migrasinya sudah tercipta, penegakan hukum kita lakukan."
Judha menambahkan, "Kalau kita lihat di media sosial (tagar) ayo kita ke luar negeri, tapi kalau itu dilakukan dengan cara yang tidak aman justru yang terjadi adalah kasus-kasus online scamming."
"Kan banyak bekerja di luar negeri, tapi kemudian tidak dilengkapi dengan visa kerja. Tanda tangan kontrak sejak awal, dia tidak paham kredibilitas perusahaannya."
"Masyarakat harus mematuhi prosedur, kalau sudah tahu ada modus penipuan atau TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang), jangan memaksakan diri untuk ikut tren."
Kemlu RI menyebutkan bahwa jumlah kasus WNI pada 2024 meningkat dibanding tahun sebelumnya, yakni sekitar 53.598 kasus.
Advertisement
Infografis 5 Negara Favorit Pekerja Migran Indonesia
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)