Pengakuan Kadmi, Masuk Penjara Hanya karena Nari Genjer-Genjer

Sekitar Oktober 1965, Theresia Kadmiyanti dipenjara paksa karena dianggap terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Sep 2017, 06:11 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2017, 06:11 WIB
Theresia Kadmiyanti
Theresia Kadmiyanti merupakan eks tapol yang ditahan hanya karena ikut menarikan Tari Genjer-Genjer.

Liputan6.com, Jakarta Theresia Kadmiyanti di sekitar Oktober 1965 adalah siswa Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sejak kelas 3, dirinya sudah mulai praktik mengajar di TK Melati, yaitu TK yang dibangunnya sendiri di halaman rumah dibantu ibu-ibu Gerwani. Cita-cita dirinya yang paling luhur adalah mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Namun, sebelum cita-cita tersebut terwujud, dirinya keburu dipenjara, karena dianggap ikut kegiatan seni di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Saya ikut pentas tari Genjer-Genjer, waktu itu bapak saya juga dicari, dan dia sempat melarikan diri. Tapi ketika dia mendengar saya ditangkap, bapak menyerahkan diri,” ungkap Kadmi seperti dikutip dari majalah Bhinneka, Jumat (29/9/2017).

Tak hanya itu, seperti yang dituturkan Theresia, kakak keduanya juga “diambil”. Sang ibu yang mengalami kejadian ini pontang-panting tidak karuan. Saat itu juga, perekonomian keluarga hancur. Adik-adiknya semua berhenti sekolah.

“Saya diambil pertama akhir tahun 1965 dan dipenjara di Bantul. Saya diinterogasi di kamp dan ditelanjangi di sana. Kemaluan saya sampai dipermainkan tidak karuan, saya tidak bisa cerita lagi detilnya. Terlalu pahit,” ungkap Theresia.

Baru pada 1969, Theresia dibebaskan. Setelah bebas, dirinya berusaha membantu lagi memulihkan keadaan ekonomi keluarga. Dirinya berjualan jagung rebus di pasar. Tiap pukul tiga pagi, Kadmi harus sudah siap dengan barang dagangannya, karena dia harus berjalan kaki ke pasar yang jaraknya mencapai 10 km.

Kadmi mengakui dirinya tidak pernah merasa dendam dan menyimpan dendam terhadap apa yang pernah dialaminya. "Dendam tidak ada artinya, hanya menambah masalah," ungkap Kadmi, saat dihubungi Liputan6.com

Kini Kadmi yang semakin tua membuka usaha kerajinan kreatif. Dari rumahnya dia menerima pesanan pembuatan tas dan dompet. Meski sulit dalam hal pemasaran karena harus bersaing dengan pedagang besar, Kadmi masih berharap bisnisnya mampu menghidupinya di tengah stigma yang terus menjerat. 

Kisah Lainnya

Lain halnya dengan Kadmi, Prih Setyo Widodo masih berumur dua bulan dalam kandungan saat ayahnya "dijemput" tentara. Menurut penuturan sang ibu yang dikutip dari majalah Bhinneka, ayahnya yang bernama Soetardjo alias Inthuk diciduk paksa RPKAD. 

Soetardjo yang berprofesi sebagai penjahit kala itu mendapat order pesanan jahitan dari PKI. Saat dirinya ditangkap pesanan jahitannya belum selesai. 

Sang ibu menceritakan, waktu itu dirinya disuruh jongkok, sambil mendekap Inthuk, tubuhnya gemetar. "Menangis saja tidak berani, apalagi melarang tentara mengobrak-abrik rumah," ungkapnya, seperti yang diceritakan majalah Bhinneka. Kejadian itu membuat ibu trauma melihat seragam tentara. 

Soetardjo dibebaskan sementara pada 30 Juli 1971. Hingga Suharto lengser, KTP yang dibawa-bawanya ada tanda khusus "ET". Yang lebih mengenaskan, beasiswa yang didapat Prih Setyo di sekolah langsung dicabut begitu saja karena dianggap anak PKI. Entah sampai kapan cap "anak PKI" menempel pada diri Prih Setyo. (Maria/ Ninuk)

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya