Mengunjungi Desa Gamplong, Pusat Kerajinan Tenun Tradisional di Yogyakarta

Yogyakarta buka hanya memiliki keindahan alam yang memesona, tapi juga punya beragam kebudayaan yang adiluhung.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Mar 2018, 15:03 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2018, 15:03 WIB
Desa Gamplong
Foto: brilio.net/Hira Hilary Aragon

Liputan6.com, Jakarta Jika mendengar kata Yogyakarta, pasti kamu akan teringat dengan Malioboro dan batiknya. Provinsi Yogyakarta memang terkenal dengan wisatanya yang ciamik dan batik-batiknya yang berkualitas bagus.

Namun ternyata banyak orang yang tak mengetahui selain batik, Yogyakarta juga menghasilkan tenun. Ialah Desa Gamplong, desa yang menjadi pusat kerajinan tenun tradisonal di Yogyakarta sejak puluhan tahun silam.

Industri tenun tradisional ini juga masih menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dari tangan-tangan pengrajin andal. Desa ini terletak di Gamplong, Sumberrahayu, Moyudan, Sleman atau lebih tepatnya di Jalan Raya Wates Km 14.

Sejarah tenun di sana sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika itu para leluhur membuat tenunan ikat bagor sebagai pakaian orang pribumi. Mereka juga mencoba membuat tenun stagen, kain kasah, serbet hingga handuk. Semakin berkembang, warga membuat kerajinan anyaman dari serat alam seperti enceng gondok, lidi, mendong.

Kini, usaha kerajinan menggunakan bahan-bahan alami ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, bahkan turis asing. "Mulai saat itu pemuda di sini akhirnya berfikir untuk membangun paguyuban TEGAR, atau singkatan dari Teguh, Ekonomis, Gigih, Aman, Rajin," ujar Giono, Ketua Paguyuban sekaligus Ketua RT setempat.

 

Desa Cinderamata

Potensi ini ditangkap pemerintah daerah dengan ditetapkannya Desa Gamplong sebagai desa cinderamata oleh Bupati Sleman Ibnu Subiyanto pada 2001 silam. Warga pun menyambutnya dengan membentuk paguyuban baru untuk memfasilitasi kuliner, homestay, hingga guide bagi pengunjung.

Saat ini mereka sedang berusaha memantenkan produk-produk khas Gamplong di Kementrian Hukum dan Ham. Sehingga hasil-hasil dari Desa Gamplong memiliki brand dan nama sendiri karena desa ini sudah sangat terkenal dengan ciri khas tenun serat alamnya.

Meski terkenal dengan desa tenun serat alam, namun ternyata bahan baku tenun di sini bukanlah dihasilkan sendiri. Penduduk Gamplong mendapatkan bahan seperti lidi dari Cilacap, Ciamis, hingga Pangadaran Jawa Barat. Sedangkan eceng gondok mereka peroleh dari Semarang dalam keadaan sudah kering hasil dijemur di Pantai Selatan. Adapun akar wangi, didapatkan dari Tasikmalaya. "Di sini cuma ada alat tenun dan SDM saja," sebut Giono.

 

Tenun yang Paling Mahal

Desa Gamplong
Foto: brilio.net/Hira Hilary Aragon

Cara penjualan tenun di daerah ini pun juga beragam, antara lain secara online, konsiniasi ke toko-toko tempat wisata di Yogyakata seperti Malioboro. Untuk pemasaran online, sekarang ini sudah menembus pasar Bali hingga Australia. Bila mendapat orderan dengan sekala besar mereka membuatnya bersama-sama dengan pembagian hasil. Produk kerajinan Gamplong dijual dengan harga terjangkau, antara Rp 2.000 hingga Rp 700 ribu, tergantung tingkat kesulitan, bahan, hingga keunikannya. Sayangnya, jumlah SDM di sana pun semakin terbatas. Kini hanya tinggal belasan penenun berusia 50 tahunan yang masih bertahan. Sedangkan generasi mudanya kurang berminat untuk menekuni pekerjaan ini.

Para pemuda lebih memilih untuk membantu memasarkannya melalui media online ketimbang jadi penenun. Akibatnya banyak tenaga kerja sebagai penenun adalah warga Bantul dan Kulonprogo, tak lagi banyak penduduk asli.

Tenun yang paling sulit dan termasuk mahal di Gamplong sendiri adalah tenun yang dibuat akar wangi. Pasalnya bahan ini sangatlah tipis dan membutuhkan ketelatenan untuk membuatnya. "Mungkin kalo satu orang ngerjain satu hari cuma satu meter," jelas Giono.

Desa ini juga menyediakan paket kerajinan untuk siapapun yang ingin belajar. Seperti untuk anak sekolah dasar bisa mendaftarkan belajar membuat kerajinan seperti kotak pensil, pigura, hingga suvenir.

Bahkan peminat belajar ini juga datang dari luar Jawa. "Kalau orang dari Kalimantan dan Sumatera yang banyak hasil lidi, mereka ke sini belajar bagaimana memanfaatkan dan mengelola jadi kerajinan, nanti mereka terapkan di daerah mereka," tutup pak Giono.

Penulis: Hira Hilary Aragon

Sumber: Brilio.net

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya