Menurut Pakar, Ada Sederet Asumsi Keliru soal Orang Utan

Selain perubahan iklim, orang utan yang merupakan satwa langka menghadapi masalah lain.

oleh Asnida Riani diperbarui 14 Jan 2020, 07:01 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2020, 07:01 WIB
Ilustrasi. (dok. James Lee/Unsplash/Adhita Diansyavira)
Ilustrasi. (dok. James Lee/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Liputan6.com, Jakarta - Berita tentang populasi orang utan yang kian sedikit dan terancam punah disangkal oleh Pakar Biodiversitas, Barita O. Manulang. Ia mengungkapkan saat ini banyak asumsi keliru tentang orang utan yang tersebar di masyarakat.

Barita menjelaskan jumlah populasi orang utan kurang akurat jika diukur dengan angka, karena di alam tersebar di berbagai wilayah.

"Ada tiga hal yang sering disalahpahami, pertama sebaran orangutan kemudian jumlah dan ancamannya," kata Barita pada acara Indonesian Primates Conservation and Climate Change Symposium, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020.

Sebaran orang utan di Kalimantan memang nomaden, terutama untuk orang utan jantan yang punya kebiasaan berpindah dan mencari betina untuk berkembang biak. Sementara orang utan betina cenderung tidak berpindahan seaktif orang utan jantan.

Hal ini menjadi salah satu alasan, jumlah orang utan terhitung tidak pasti. Apalagi dengan adanya kebakaran hutan yang terjadi beberapa waktu lalu. Hal ini bisa berpotensi jumlah orang utan yang selamat adalah orang utan jantan.

Di samping penjelasnnya mengenai jumlah orang utan, Barita tetap mengajak masyarakat untuk melindungi satwa langka ini dari ancaman terbesar mereka, yaitu perubahan iklim. Hal ini dibenarkan oleh Direktur Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia, Jatna Supriatna.

"Ancaman terbesar bagi primata ke depan ini adalah habitat loss (kehilangan habitat). Habitat loss disebabkan oleh climate change (perubahan iklim) salah satunya," ujar Jatna Supriatna yang juga pakar biologi konservasi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pentingnya Regenerasi

Jito Sugarjito (kiri), Susan Cheyne, Erin Vogel, Rosichon Ubaidillah dan Gusti Zakaria Anshari dalam acara Indonesian Primates Coservation & Climate Change Symposium, Kamis, 9 Januari 2020. (dok. Liputan6.com/Adhita Diansyavira)
Sugardjito (kiri), Susan Cheyne, Erin Vogel, Rosichon Ubaidillah dan Gusti Zakaria Anshari dalam acara Indonesian Primates Conservation and Climate Change Symposium, Kamis, 9 Januari 2020. (dok. Liputan6.com/Adhita Diansyavira)

Selain perubahan iklim, ternyata Indonesia dihadapkan masalah lain terkait regenerasi pakar tentang orang utan. Hal ini juga menjadi perhatian Barita, ia mengungkapkan masalah krisis kepemimpinan dan regenerasi pakar orang utan di Indonesia.

Ia juga berpendapat jika para generasi selanjutnya mendalami tentang orang utan dan menyuarakan fakta-fakta yang ada kepada dunia, maka tiga asumsi keliru tentang orang utan yaitu populasi, persebaran dan ancamannya akan mendapat dipahami dengan tepat.

Krisis tenaga peneliti ini dibenarkan oleh direktur Pusat Studi Energi Berkelanjutan dan Manajemen Sumber Daya Alam (CSERM) Universitas Nasional, Sugardjito. Menurutnya, hal ini karena cara mendidik yang kurang mendekatkan diri pada alam. "Orang itu paling efektif dididik usia lima sampai sebelas tahun," ujarnya. 

Jika sedari kecil memang interaksi dengan alam, maka sulit untuk menemukan regenerasi terkait satwa terutama orang utan. Sugardjito juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap bencana kebakaran yang melanda Kalimantan beberapa waktu lalu.

"Hutan gambut itu paling parah, kebakaran tidak bisa hilang dengan seminggu atau dua minggu, apalagi dampaknya, bisa berbulan-bulan," sambungnya. (Adhita Diansyavira)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya