Belanja Kebutuhan Rumah Tangga di Toko Curah, Jaminan Harga Lebih Murah?

Masyarakat Indonesia sebenarnya telah lama lekat dengan praktik beli curah yang dianggap lebih ramah lingkungan. Tapi, apakah selalu berarti lebih murah?

oleh Dinny Mutiah diperbarui 25 Feb 2020, 18:03 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2020, 18:03 WIB
Unilever Refill Station
Salah satu refill station yang diluncurkan Unilever pada Selasa, 25 Februari 2020, di Jakarta. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Ada yang pernah mendengar toko curah? Jika tidak, pernahkah mendengar bulk store? Keduanya merujuk pada hal yang sama, yakni toko yang menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga secara curah alias disesuaikan dengan kebutuhan pembeli.

Konsep tersebut sudah lama dipraktikkan di Indonesia sebelum masifnya pembukaan toko ritel modern seperti saat ini. Para konsumen yang didominasi perempuan membawa keranjang belanja sendiri, bahkan wadah sendiri, untuk menampung barang-barang yang dibelinya. Namun, kehadiran kemasan plastik menggantikan praktik itu karena dianggap lebih praktis.

Namun, makin banyak masyarakat yang menyadari kepraktisan yang didapat dengan membeli produk yang sudah dikemas tak selalu efisien dan efektif. Tak jarang produk berakhir jadi sampah lantaran kebanyakan dan menumpuk hingga lama tak terpakai.

Memanfaatkan hype ramah lingkungan, Adi Asmawan membuka Saruga pada 15 November 2018 di Bintaro, Jakarta Selatan. Toko curah tersebut menyediakan tiga kategori produk, yaitu, bahan pangan, personal care, dan home care. Konsumen yang datang harus membawa wadah sendiri meski toko menjual wadah sebagai kemasan dalam jumlah terbatas.

"Ke depan, kita akan mengurangi kemasan. Jadi, mereka yang enggak punya wadah sendiri, mereka enggak bisa belanja," kata Adi ditemui di Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Meski konsep jual belinya sama, kemasannya dibuat lebih modern. Barang-barang yang dijual sementara ini didominasi produk lokal dan organik. Rentang harganya mulai dari Rp26 per gram hingga Rp5.400 per gram.

Mayoritas konsumen datang dengan kesadaran bahwa mereka bisa berbuat lebih ramah lingkungan ketika berbelanja. Pasalnya, mereka datang membawa wadah isi ulang sendiri dan membeli sesuai keperluan.

Saat ditanya apakah belanja curah dijamin murah? Adi menyebut itu sebagai mindset yang perlu diluruskan. 

"Belanja lebih murah itu salah. Tapi, seberapa besar kebutuhan kita di-organize. Harga mahal jadi relatif enggak diperhatikan lagi," kata Adi.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Uji Coba dengan Produsen Besar

Unilever Refill Station
Salah satu refill station yang diluncurkan Unilever pada Selasa, 25 Februari 2020, di Jakarta. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Setelah beberapa lama hanya menjual produk organik, Saruga kini mulai menjual produk massal dari produsen besar. Unilever bahkan menjadikan toko tersebut sebagai tempat proyek uji coba stasiun pengisian ulang sebelas brand yang ada di bawah perusahaan multinasional tersebut.

Dimulai pada November 2019, Saruga menyediakan refill station bagi konsumen yang ingin membeli produk pembersih rumah. Ada sabun cuci, pelembut pakaian, dan larutan pembersih lantai. Kemudian mulai Desember 2019, produk isi ulang bertambah dengan produk kecap. Dalam waktu dekat, Unilever akan mulai menjual produk sampo secara curah di toko itu.

"Sekitar awal Maret 2020," ujar Adi.

Sejak menghadirkan produk yang dipakai banyak keluarga, pelanggan toko curahnya melonjak drastis. "Sampai 400 persen. Sebelum ada refill station, pengunjung paling sekitar 40-50 orang sebulan," terangnya.

Dengan respons yang baik dari konsumen, ia optimistis makin banyak yang akan mengikuti. Apalagi, makin banyak orang yang peduli terhadap isu sampah plastik. Membeli di toko curah menjadi salah satu upaya menekan jumlah sampah karena praktis Anda tak menghasilkan sampah baru.

"Rencananya kami akan membuka lima toko lagi. Di seputar Jakarta," kata Adi tanpa menyebut detailnya.

Tanggung Jawab Produsen

Hari Peduli Sampah Nasional 2020
Unilever menguji coba program refill station. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Ujang Solihin Sidik, Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan, Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut rata-rata produksi sampah per orang di Indonesia sebesar 0,7 kilogram per hari. Jumlahnya bisa lebih besar bila orang tersebut merupakan kelompok masyarakat urban. Sementara, yang tinggal di pedesaan produksi sampahnya bisa lebih rendah.

"Produksi sampah orang yang di Jakarta bisa sampai 1 kilogram per hari," kata dia.

Persoalan sampah menjadi semakin pelik saat program 3R tidak berjalan dengan baik. Dalam reduce, masih banyak yang memproduksi sampah berlebih padahal bisa diantisipasi. Sedangkan, dalam reuse, masih banyak yang menggunakan produk sekali pakai, meski kesadaran untuk mengatasinya juga diakui mulai tumbuh. Sementara, pada R yang ketiga, yakni recycle, tidak berjalan sempurna karena proses pengumpulan sampah tidak ditangani dengan baik.

"Ini PR besar pemerintah ... kami akan meminta Pemda untuk memilah dari rumah. Apakah angkutannya dipilah atau jadwal pengambilannya dipisah agar pekerjaan semua orang yang sudah memilah di rumah, tidak sia-sia," kata dia.

Pemerintah menargetkan pada 2030, jumlah sampah yang diproduksi oleh produsen berkurang 30 persen. Angka tersebut berdasarkan peta jalan yang dibuat pemerintah dan tercantum dalam PermenLHK Nomor P75/2019.

Menanggapi hal itu, Nurdiana Darus, Head of Corporate Affair & Sustainability Unilever Indonesia, menyatakan penyediaan refill station menjadi salah satu strategi perusahaannya untuk mengurangi jumlah produksi sampah. Namun, ia tak menyebut sampai kapan proyek uji coba itu akan berlangsung.

"Kami masih memonitor... Ada beberapa hal yang akan kami pantau, termasuk dari sisi bisnis. Bila kehadiran masyarakat masih kurang, kami akan galakkan edukasi. Ajak masyarakat mencoba refill station ini," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya