Liputan6.com, Jakarta - Menurut riset yang diadakan oleh Urban Institutes Housing Finance Policy Center, hanya 1 dari 3 milenial di bawah usia 25 yang memiliki rumah pada akhir 2018. Ini berarti 8-9 persen lebih rendah daripada generasi sebelumnya.
Di Indonesia, angkanya mungkin jauh lebih rendah lagi.Generasi milenial merupakan golongan demografis yang cenderung memilih tinggal bersama (co-living) karena tren konsumen umum sedang menuju ke arah ekonomi berbagi.
Co-living menjadi lebih dari sekadar model perumahan, dan kini menjadi solusi untuk generasi lebih muda yang makin besar populasinya. Meningkatnya co-living datang dari berbagai faktor, di antaranya karena fasilitasnya yang lengkap dan senangnya tinggal bersama orang lain yang punya minat sama.
Advertisement
Baca Juga
Faktanya, orang cenderung ingin berteman dengan yang lain. Cukup dengan membuka pintu dan memulai pertemanan atau bahkan membuka usaha bersama. Co-living saat ini juga semakin menarik bagi generasi milenial, khususnya para digital nomad -mereka yang bekerja mengandalkan sambungan internet sehingga memungkinkan untuk berada di mana saja.
Mereka juga tidak ingin selalu khawatir dengan pengaturan keuangan jika memutuskan membeli rumah, karena hal itu dianggap membatasi.
Bukan Prioritas
Itu sebabnya membeli rumah tidak menjadi prioritas Nita (25). Seperti banyak generasi milenial sekarang ini, ia memilih cara hidup yang fleksibel. Nita tidak ingin terikat pada satu lokasi, sedangkan membeli rumah berarti membatasi dirinya untuk tinggal di satu lokasi saja.
Statusnya yang masih lajang merupakan salah satu alasan mengapa Nita belum ingin membeli rumah. Ia bisa berganti pekerjaan, atau pindah ke lokasi atau kota lain kapan saja. Dengan demikian menyewa apartemen dinilainya lebih baik daripada membeli rumah.
“Pekerjaan saya menguras waktu, dan saya jarang menghabiskan waktu di rumah, sedangkan memiliki rumah itu butuh pemeliharaan yang lebih besar daripada apartemen. Lagipula, bagi orang yang suka travelling, saya merasa lebih aman meninggalkan apartemen kalau sedang bepergian,” tutur Nita memberi alasan.
Joice (28) punya pendapat yang tak jauh berbeda. Memiliki rumah sendiri sama sekali bukan hal yang penting baginya. Ia memilih untuk menyewa apartemen karena tidak ingin terkurung di satu tempat selama periode waktu tertentu.
Kalau pun suatu saat memiliki rumah, hal itu hanya akan dilakukannya untuk tujuan investasi.Lagipula, menurutnya menyewa apartemen saat ini lebih menguntungkan karena masa sewa yang lebih pendek.
“Situasi saya saat ini bisa berubah kapan saja, jadi bagus juga sih punya pilihan untuk pindah dalam rentang waktu yang cukup panjang,” ucap founder sebuah perusahaan rintisan ini.
Ia memilih untuk menyewa apartemen melalui Flokq daripada membeli rumah, mengontrak, atau tinggal di kos-kosan premium. Apartemen Senopati di mana ia tinggal berada di lokasi yang strategis, stylish, dan memiliki komunitas yang menyenangkan. Ia bisa memilih masa sewa yang pendek (tiga bulan), yang bisa dibayar setiap bulan.
“Harga yang kami bayar sebagai Flokqer itu sudah menyeluruh, termasuk harga untuk kamar dan semua isinya. Tidak ada biaya tambahan untuk internet, air, listrik, dan sejenisnya,” lanjut perempuan yang sebelumnya tinggal di London ini.
Kesibukan kerja juga menjadi alasan Nita untuk menyewa apartemen di Casa Grande, Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, ketimbang menyicil rumah. Setelah membayar uang sewa, kebersihan rumah pun sudah diurus oleh pengelola. Maklum saja, sehari-hari ia sudah sibuk bekerja sehingga tidak mau direpotkan dengan pekerjaan rumah tangga.
“Flokq juga menemukan kamar yang sesuai budget saya. Saya ingin membayar satu harga tanpa biaya tambahan. Itu membuat saya nyaman mengatur keuangan bulanan,” ujar perempuan yang bekerja sebagai marketing specialist ini.
Investasi Lain
Biaya-biaya lain yang berhasil dihematnya dengan tinggal di apartemen Flokq adalah keanggotaan gym, yang menjadi salah satu fasilitas apartemen. Selain itu juga transportasi ke kantor, karena Flokq berhasil menemukan apartemen yang sangat dekat dengan tempat kerjanya.
Untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, ia cukup mampir ke Mall Kota Kasablanka yang bersebelahan dengan apartemennya. Hal lain yang membuatnya happy dengan menyewa apartemen melalui layanan penyedia co-living space ini adalah komunitas. Nita datang ke Jakarta seorang diri dan tidak punya banyak teman di sekitar kantornya.
Melalui Flokq, ia bisa berjumpa dengan banyak orang yang sepemikiran, dan komunitas ini membuatnya merasa diterima.Dengan segala kemudahan tersebut, Joyce dan Nita belum ingin membuat keputusan untuk membeli rumah walaupun harga rumah semakin meroket. Apalagi, Joyce belum menetap di satu kota.
Ia justru berpikir untuk tetap menyewa apartemen apabila kariernya makin permanen, dalam satu atau dua tahun. Hanya saja jika suatu saat menikah dan punya anak, ia berharap bisa memiliki apartemen sendiri dengan catatan: masih punya pilihan untuk memiliki komunitas di gedung yang sama.
Keputusan yang sama dipilih oleh Nita. Diakuinya, kaum milenial tidak mampu membeli rumah mengingat harganya yang makin tak terjangkau. Namun Nita tak khawatir dengan kenyataan tersebut, terutama jika ada yang berusaha mempengaruhinya bahwa membeli rumah adalah investasi.
Toh, investasi tidak harus dalam bentuk rumah. Ia bisa mengejar bentuk investasi yang lebih terjangkau, entah itu saham, surat berharga, mata uang asing, emas, dan lain sebagainya.