Liputan6.com, Jakarta - "Orang bisa seperti kami belum pernah ada di situasi lockdown sebelumnya. Jadi, saat itu terjadi, saya luar biasa takut," kata Lin Runqiao, seorang warga Hong Kong yang sempat terjebak di Wuhan saat lockdown demi menekan penyebaran corona COVID-19.
Mengutip laman video South China Morning Post, Sabtu, 11 April 2020, lelaki 62 tahun tersebut bertandang ke Wuhan pada 7 Januari 2020. Sementara, pemerintah mulai memberlakukan lockdown pada 23 Januari, dan Lin masih berada di dalam kota, terjebak tak bisa pulang ke Hong Kong.
"Saat itu saya sangat kaget karena tidak mendengar peringatan sebelumnya," kata Lin. Apalagi, sambungnya, kala itu pemerintah Tiongkok terus-menerus meyakinkan publik bahwa virus SARS-CoV-2 tak akan menyebar luas ke manusia. "Itu dikatakan di (siaran) televisi," imbuhnya.
Advertisement
Baca Juga
Maka dari itu, Lin menganggap penyebaran wabah tersebut bukanlah dalam kondisi darurat dan ia hanya ingin merayakan Imlek senormal mungkin dengan keluarga di Wuhan.
"Saat dinyatakan lockdown, saya tak ingin menyetok banyak makanan karena takut mubazir. Saya juga berpikir bakal bisa tetap berbelanja dalam kondisi itu. Tapi, ternyata semua toko tutup," tuturnya.
Lin tak menyangkal bahwa dirinya sempat bingung, lantaran kurang informasi. Yang bisa ia lakukan adalah mengandalkan apa yang ada di rumah dan hanya bisa bergantung pada diri sendiri, juga keluarga di situasi krisis penyebaran corona COVID-19.
Â
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Persediaan Makanan yang Mengkhawatirkan
Lin mengatakan, selama lockdown, mengingat terbatasnya persediaan makanan, ia hanya makan layak satu kali sehari. "Sarapan dan makan malam saya hanya makan makanan ringan atau mi instan," ucapnya.
Pemberitahuan lockdown yang semula disebut hanya satu atau dua minggu pun terus diperpanjang, dan Lin mulai tambah khawatir melihat persediaan makanan di rumah.
"Beruntung, saya baru saja membeli sebotol besar kecap asin. Jadi, saya campur itu (kecap asin) dan nasi. Itulah menu makanan saya di sekian banyak hari," katanya.
Anak perempuannya, juga mengalami kondisi serupa, menanyakan apakah Lin butuh sesuatu. Tapi, mengurangi dilema sang putri, Lin mengatakan bahwa ia sudah punya semua yang dibutuhkan untuk bertahan.
Satu hari, ada staf komunitas yang memberi ayah Lin sayuran. "Walau kondisinya (sayuran) kurang baik, ayah saya tak mau menyia-nyiakam makanan. Karenanya, itu tetap ia olah," sebut Lin.
Memasuki bulan Februari, mereka sudah kehabisan bahan makanan sama sekali. Lin pun nekat berteriak di sekitar kediaman orangtuanya apakah ada orang yang menjual bahan makanan.
"Beruntungnya hari itu ada yang sedang mengantar sayuran. Ia menjual beberapa ke saya walau dengan harga yang sangat mahal. Tapi, apa yang mau diharapkan dalam kondisi lockdown," ujarnya.
Lin baru bisa keluar dari Wuhan pada 4 Maret saat pemerintah Hong Kong menjemput warga mereka yang berada di Wuhan.
"Jujur, saya sangat kecewa dengan pemerintah yang tak transparan sejak awal. Orang-orang di Wuhan sangat menderita karena mereka tak diberi waktu untuk menyiapkan diri," ucap Lin.
Advertisement