Cerita Akhir Pekan: Mempertanyakan Efektivitas Praktik Prokotol Kesehatan di Destinasi Wisata

Seiring masa transisi kenormalan baru, destinasi wisata di sejumlah daerah sudah kembali membuka pintu untuk pelancong dengan memberlakukan protokol kesehatan.

oleh Asnida Riani diperbarui 08 Agu 2020, 08:30 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2020, 08:30 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi travel. (dok. pexels.com/Artem Bali)

Liputan6.com, Jakarta - Sempat sementara tutup, sederet destinasi wisata sudah kembali beroperasi di masa transisi kenormalan baru. Dalam praktiknya, protokol kesehatan wajib diberlakukan demi menjaga kesehatan, serta keamanan pengunjung, pihak pengelola, serta karyawan.

Pertanyaan besarnya, seberapa efektif praktik ragam prosedur ini di destinasi wisata dalam menekan transmisi COVID-19? Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Dampak COVID-19 Kemenparekraf/Baparekraf Ari Juliano Gema mengatakan, bukan keputusan instan untuk membuka sebuah destinasi wisata.

"Sebelum pembukaan, proses pra-kondisi sudah dijalankan. Ada edukasi, sosialisasi, dan simulasi. Bila sudah buka dan dideklarasikan, berarti yakin semua pihak telah menjalankan (protokol kesehatan) dengan baik," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 6 Agustus 2020.

Kemudian, dalam pelaksanaannya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Astindo Pauline Suharno menuturkan, sanksi pelanggaran protokol kesehatan seharusnya diberlakukan untuk memberi efek jera. Kendati, tak dipungkiri Pauline bahwa ada kekhawatiran akan terjadi gelombang kedua, bahkan ketiga penyebaran virus corona baru.

"Kembali lagi, harus disiplin menerapkan protokol CHS (Cleanliness, Health and Safety) akan sangat membantu," ucapnya lewat pesan, Jumat, 7 Agustus 2020.

Ari menyambung, bakal tetap ada pemantauan dan evaluasi secara berkala. "Jadi, semisal ada pelanggaran protokol kesehatan atau ditemukan klaster baru, bisa melakukan pembatasan lebih ketat, bahkan penutupan," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pilih Wisata Alam

[Fimela] Traveling di Bulan Maret
Ilustrasi travel. (dok. Zeno Travel)

Ari menjelaskan, di masa pra-kondisi. setiap daerah yang berniat membuka kembali destinasi wisata harus menyiapkan ragam tindakan. Yang paling utama, imbuhnya, adalah ketersediaan layanan kesehatan. "Rumah sakit dan tenaga kesehatan standby. Jadi, bila ditemukan kasus, bisa langsung melakukan tindakan pada orang dan mereka yang ada di lingkungannya," tutur Ari.

Meminimalisir risiko, kata Ari, tak bisa semata bergantung pada regulasi, namun juga kesadaran masyarakat. Dalam berwisata, Kemenparekraf/Baparekraf mendorong pelancong untuk menghindari kerumunan karena akan sulit menjaga jarak aman.

"Pilih destinasi wisata alam. Lalu, untuk panduan teknis melaksanakan protokol kesehatan yang sudah dipisahkan berdasarkan unit usaha, ada buku panduan yang bisa diunggah di laman resmi Kemenparekraf," ujarnya.

Pihaknya pun mengatakan siap melakukan pendampingan bagi berbagai pihak terkait praktik protokol kesehatan sesuai unit usaha di cangkupan pariwisata dan ekonomi kreatif.

Sedangkan, Pauline berpesan untuk sementara waktu, siap-siap repot dan kurang nyaman dengan berbagai adaptasi kebiasaan baru. "Misal, masuk kamar hotel, harus semprot disinfektan di semua permukaan, makan buffet diambilkan, lalu tempat rekreasi dibatasi jam operasional dan kapasitasnya," ungkapnya.

Belum Waktunya Pariwisata Massal

Ilustrasi traveling
Ilustrasi travel. Sumber foto: unsplash.com/Holly Mandarich.

Travel writer sekaligus photographer, Agustinus Wibowo, beranggapan bahwa sekarang belum saatnya membuka pariwisata massal. "Karena efeknya ke ekonomi akan lebih besar ke depan, seandainya wabah di destinasi wisata sampai merebak lagi," ungkapnya lewat pesan, Rabu, 5 Agustus 2020.

Jadi, bukan tanpa pariwisata sama sekali, melainkan jangan dulu mendorong pariwisata secara massal. "Pariwisata dengan jumlah kecil berbiaya tinggi bisa jadi solusi untuk mengangkat ekonomi," imbuh penulis buku Selimut Debu tersebut.

Agustinus menyontohkan praktik seperti yang dilakukan Thailand dan Maladewa, di mana terdapat pulau-pulau khusus untuk turis. Lalu, mereka pun harus tinggal di hotel mewah sebagai bagian dari proses karantina, tak bercampur dengan warga lokal.

Penulis asal Lumajang, Jawa Timur ini berharap, pemerintah bisa lebih fokus ke masalah kesehatan, yakni tes dan pelacakan lebih masif, juga menggunakan AI untuk pelacakan lebih akurat. Kemudian, mengendalikan pemberitaan di media sosial karena sekarang semakin banyak orang menyepelekan atau meremehkan bahaya COVID-19.

"Suara-suara yang meragukan COVID-19 dibiarkan bebas berkeliaran, akibatnya masyarakat bingung dan tidak disiplin. Dalam keadaan rendahnya kedisiplinan masyarakat lalu membuka pariwisata, itu sangat berbahaya. Apalagi, jika wabah sampai merebak di daerah-daerah destinasi wisata yang fasilitas kesehatannya tidak memadai," ucap Agustinus.

Ekonomi Alternatif

Kafein dan Konsumsi Obat-obatan Tertentu
Ilustrasi Biji Kopi Credit: pexels.com/JuanPablo

Agustinus berpendapat, bagi masyarakat di daerah pariwisata yang belum memungkinkan dibuka lagi, ia menyarankan pemerintah mendorong ekonomi alternatif supaya tak 100 persen bergantung pada sektor pariwisata. "Promosi produk lokal yang dipadukan dengan virtual tour bisa jadi solusi," tuturnya.

Upaya mendorong geliat ekonomi lokal di masa tanpa turis pun sudah dilakukan Sebumi. Founder Sebumi Iben Yuzenho Ismarson, menjelaskan, pihaknya menggagas program pelatihan bagi para pelaku wisata usai gempa Lombok pada 2018.

"Karena destinasi wisata belum bisa buka dan tidak ada turis juga pastinya saat itu, kami coba kasih pelatihan. Mereka punya kebun kopi, tapi sudah lupa berkebun kopi yang baik. Akhirnya saat itu juga donasi mesin roasting," ungkapnya lewat sambungan telepon, Kamis, 6 Agustus 2020.

Hingga kini, kelompok binaan Sebumi sudah jadi kopi roaster. "Mereka menjual dan menerima jasa roasting kopi juga," tutur Iben.

Pelatihan ini sendiri masuk dalam tahap recovery yang dicanangkan. Pelatihan ini pun diikuti peserta Rinjani Coffee Trip, di mana peserta di luar Desa Senaru, tempat pelatihan dilakukan, bisa mengenal kopi lebih dalam.

Ilustrasi laptop | Pixabay
Ilustrasi virtual tour.| Pixabay

Pihaknya pun menggelar virtual tour untuk terus melanjutkan edukasi publik, sekaligus memberi pemasukan pada pramuwisata lokal. "Konsep virtual ini membuat kami bisa menjangkau audiens lebih luas. Kalau trip dengan format konvensional paling 12 orang. Tapi, secara virtual, audiensnya tidak pernah di bawah 100 setiap sesi," ucapnya.

Dengan materi yang matang, pihaknya memanfaatkan medium audio, visual, narasi, bahkan puisi. Pengalaman virtual dihadirkan lewat kamera 360 derajat dan google earth. Sensasinya pun dibuat semirip mungkin seperti sedang melakoni perjalanan.

"Kami memang mau meraih lima indra peserta. Makanya ada efek suara malam, pagi, tambahan suara lain supaya merasa benar-benar, seperti misalnya, ada di jalur pendakian," ucap Iben.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya