Liputan6.com, Jakarta - Sedih merupakan emosi umum yang tidak mungkin tidak pernah dirasakan. Menerima kesedihan memang penting, dan ada masanya emosi ini terasa begitu "sesak" sampai membuat Anda tiba-tiba berderai air mata.
Kisah haru seorang perawat bernama Jemjem Yap yang kehilangan ayahnya pada Juli 2020 jadi salah satu contohnya. Kala itu, ia sedang bekerja di Singapura dan sang ayah meninggal di Iloilo, Filipina.
Melansir laman AsiaOne Selasa, 9 Maret 2021, seperti kebanyakan tenaga medis, Yap berada di garis depan menanggulangi pandemi COVID-19. Di saat-saat itu, ayahnya sedang terbaring di tempat tidur di unit perawatan ICU setelah mengalami strok.
Advertisement
Baca Juga
"Saya merasa tidak berdaya. Ayah saya adalah pahlawan saya dan satu-satunya keluarga yang saya miliki. Sekarang, bukan hanya karena jarak, saya bahkan tidak bisa memberi pelukan atau ciuman selamat tinggal," kata perempuan 33 tahun itu.
Sedih, cemas, dan stres akibat kondisi tersebut tak lagi bisa dihindari Yap. Ketika itu, Yap menghubungi dua sahabat masa kuliahnya, Marge Andrada, yang tinggal di Filipina, dan Loren Hipolito, yang berada di Amerika Serikat.
Kegiatan harian ketiganya pun dipenuhi dengan panggilan telepon dan obrolan video. Yap pun mencurahkan isi hatinya pada Andrada dan Hipolito.
"Saya merasa seperti kehilangan tujuan. Saya juga mengalami hal-hal dalam hidup yang sangat membebani saya, kedua teman baik saya mendengarkan saya tanpa menghakimi dan menawarkan solusi untuk apa yang saya hadapi. Mereka juga sering bertanya untuk memastikan bahwa saya menjaga diri saya sendiri," tutur Yap.
Â
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Manfaat Secara Mental dan Fisik
Kasus Yap hanya satu dari sekian banyak dampak pandemi COVID-19 terhadap kesejahteraan emosional masyarakat dunia. Dr Shawn Ee, psikolog klinis dan direktur The Psychology Practice di Singapura, mengatakan bahwa berbagi sebenarnya tidak hanya menandakan keinginan seseorang untuk mendapat dukungan atau bantuan.
"Ini juga memiliki manfaat psikologi karena memungkinkan kita berbagi kekhawatiran dan frustrasi dengan aman, tanpa ancaman penolakan atau dihakimi," tuturnya.
Manfaat psikologi ini kemudian juga bisa berpengaruh pada kesehatan fisik. Pasalnya, terdapat hubungan kemarahan atau kecemasan yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh maupun menyebabkan lonjakan stres. Lebih parah, kondisi itu dapat menyebabkan depresi, yang dikaitkan dengan risiko penyakit kronis, seperti penyakit jantung.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Emotion Review pada 2009 menemukan bahwa melepas stres dengan membagikannya pada orang lain adalah mekanisme membantu yang umum dan pada akhirnya dapat mengurangi stres tersebut.
Kendati, Dr. Ee menambahkan bahwa Anda harus selektif mencari teman berbagi. Pasalnya, tidak semua orang bisa berempati terhadap masalah Anda. Salah-salah, Anda malah dibuat makin stres dengan "tuntutan-tuntutan membebani." (Muhammad Thoifur)
Advertisement