Liputan6.com, Jakarta - Pelecehan seksual, apapun bentuknya, tidak bisa ditoleransi, termasuk bila terjadi di ranah digital. Bukan hanya saat kita menjadi korban, tetapi juga sebagai saksi peristiwa itu, harus bertindak untuk mencegah hal itu terus berlanjut.
Anindya Restuviani, Site Leader & Co-Director of Hollaback! Jakarta, menerangkan beberapa jenis kekerasan kekerasan di ruang online yang dominan. Satu di antaranya adalah penyebaran konten seksual yang tidak dikehendaki. Ada pula perundungan bernada seksual, eksibisionis yang memperlihatkan alat kelamin kepada korban melalui pesan Whatsapp atau panggilan vido, hingga doxxing.
"Di mana pelaku menyebarkan identitas korban melalui media sosial," sambung perempuan yang akrab disapa Vivi kepada Liputan6.com, Kamis, 2 September 2021.
Advertisement
Baca Juga
Temuan Hollaback! Jakarta itu sejalan dengan hasil riset SafeNET dan Never Okay Project terkait kekerasan berbasis gender online selama work from home. Riset itu menyimpulkan bentuk kekerasan seksual paling tinggi yang terjadi di antaranya menerima candaan atau lelucon seksual, mendapat konten seksual yang tidak diinginkan, dan body shaming yang bernada seksual.
"Lebih dari 90 persen laporan yang masuk ke kami adalah perempuan, tapi ini tidak menutupi kemungkinan bahwa laki-laki juga mengalami kekerasan seksual di ruang online," ungkap Vivi.
Terkait laporan lelaki sebagai korban, kata Vivi, memang jarang diterimanya. Ia berpendapat hal itu karena stigma yang sangat patriarkis yang menyebabkan lelaki yang mengalami kekerasan seksual sulit untuk mengungkapkan apa yang terjadi kepada mereka.Â
"Banyak sekali yang malah menyepelekan kasus tersebut," ucapnya. Kondisi itu juga terjadi pada kasus pelecehan seksual yang dialami pegawai KPI berinisial MS saat ini. Komnas HAM menyebut ada dugaan pembiaran dalam kasus tersebut.
"Tapi jika ditanya siapa yang lebih rentan, Koalisi Ruang Publik Aman berdasarkan surveinya di tahun 2018 tentang kekerasan di ruang publik menyebutkan bahwa perempuan 13 kali lebih rentan mengalami kekerasan di ruang publik, termasuk di ruang digital/online," kata Vivi.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bagaimana Kita Harus Bersikap?
Vivi menyatakan siapa pun yang menyaksikan kekerasan seksual terjadi, baik secara offline maupun online, sebaiknya mengintervensi. Intervensi tidak melulu harus frontal, melain ada cara yang aman dan efektif tanpa harus berhadapan langsung dengan pelaku.
Hollaback! Jakarta memperkenalkan metode intervensi yang disebut 5 D. D yang pertama adalah Dialihkan, yaitu dengan mengalihkan perhatian pelaku/orang yang mengalami kekerasan. "Seperti apabila kita melihat ada yang mulai melontarkan candaan seksual di grup Whatsapp, kita bisa mengalihkan pembicaraan ke hal lain sehingga candaan tersebut tidak berlanjut," ujarnya.
Kedua adalah Ditenangkan. Caranya, kita menjangkau orang yang mengalami pelecehan, seperti menanyakan apakah mereka baik-baik saja atau menawarkan bantuan untuk menolong mereka. Dengan ditenangkan, kita secara tidak langsung turut memberi dukungan kepada korban kekerasan.
"Hal ini sering sekali disepelekan karena kita terlalu sering lebih fokus kepada pelaku sehingga lupa dengan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh orang yang mengalami kekerasan," kata dia.Â
Ketiga adalah mendokumentasikan kejadian. Jika ranahnya online, Anda bisa menangkap layar sebagai bukti telah terjadi kekerasan seksual. "Yang harus diingat adalah kita tidak boleh sembarang menyebarkannya ke publik, termasuk melalui media sosial. Baiknya, kita tanyakan kepada orang yang mengalami kekerasan terkait tangkapan layar tersebut dan tanyakan keinginan mereka," Vivi menekankan.
Keempat adalah Delegasi dengan meminta bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa siapa pun, termasuk melaporkan konten yang melecehkan ke pihak media sosial sebagai konten yang telah melanggar kode etik platform mereka. "Kita juga dapat membantu dengan melaporkan kejadian ke lembaga-lembaga layanan yang dapat membantu perkara pelecehan seksual di ranah online. Lembaga layanan tersebut dapat ditemukan melalui carilayanan.com," ia menerangkan.
Intervensi terakhir adalah Ditegur, yakni menegur pelaku secara langsung. Sebelum melakukannya, pastikan bahwa Anda aman, baik secara fisik maupun digital. "Kita bisa memilih dari 5 D tadi metode mana yang paling efektif dan aman bagi kita dan mereka yang mengalami pelecehan," kata dia.
Advertisement
Jangan Menyalahkan Korban
Terlepas dari posisi saksi atau korban, Vivi mengingatkan bahwa masyarakat umum juga harus bijak menyikapi berita pelecehan seksual, terutama bila menimpa lelaki. Hal pertama yang terpenting adalah berempati pada korban, apapun gendernya.
"Menyalahkan korban atau bahkan menyangsikan pertanyaan korban sama saja memberikan trauma baru bagi korban. Siapa pun korbannya,kita harus membantu untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan haknya sebagai korban. Dengarkan, dan percaya korban sudah cukup bagi mereka yang sedang mengalami masa-masa traumatis seperti ini," ia mengingatkan.
Hollaback! Jakarta juga bekerja sama dengan berbagai perusahaan di Indonesia, seperti L'Oreal Indonesia dan Alfamart, menggelar pelatihan metode intervensi 5 D untuk memberdayakan perempuan melawan pelecehan seksual di ruang publik. Â
"Ini long term journey, kami mulai dari lima bulan lalu. Isu ini masih dianggap remeh, tapi sangat berdampak pada self-worth, merasakan dirinya jadi kecil...Kami ingin melatih, terutama the bystander, untuk bisa lakukan sesuatu, prevent something from happening," kata Maria Adina, Brand General Manager L’Oréal Paris Indonesia, dalam diskusi virtual, akhir Agustus 2021 lalu.
"Emang isu ini harus diomongin terus. Obrolan ini memang kurang comfortable untuk banyak kelompok, tapi harus buka diskusi ini, mulai dari kelompok kita sendiri," imbuh Adinia Wirasti, aktris sekaligus aktivis pemberdayaan perempuan.
6 Tips Lindungi Diri dari Pelecehan Seksual
Advertisement