Liputan6.com, Jakarta - "Sudah waktunya membangun apresiasi di negara kita," begitu semangat yang digelorakan Direktur Artistik Bumi Purnati Indonesia, Restu Kusumaningrum, saat memboyong pertunjukan teater Under the Volcano ke Jakarta. Ini merupakan pertunjukan ke-4 lakon tersebut, katanya dalam jumpa pers di bilangan Jakarta Selatan, Kamis, 18 Agustus 2022.
Under the Volcano pertama kali dihadirkan dalam acara Olimpiade Teater ke-6 di Dayin Theatre, Beijing, Tiongkok pada 7 dan 8 November 2014. Selanjutnya pada 21--23 April 2016 saat pementasan di TheatreWorks, Singapura dan dalam perhelatan budaya Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2018 di Panggung Akshobya Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 24 November 2018.
Advertisement
Baca Juga
Pertunjukan itu adalah hasil kolaborasi Bumi Purnati Indonesia dan Komunitas Seni Hitam Putih Sumatra Barat, yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation, Bumi Purnati Indonesia, dan Ciputra Artpreneur. Pementasan yang disutradarai Yusril Katil ini mengangkat tema bencana alam, terinspirasi dari syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh yang ditulis pada 1883.
"Kami sudah punya cerita dan ketika baca syair Lampu Karang, kok nyambung," Yusril mengatakan di kesempatan yang sama. "Kami berasal dari kota kecil di Sumatra Barat: Padang Panjang. Seumur hidup kami harus waspada terhadap bencana alam karena kampung kami dikelilingi gunung berapi."
Jika dilihat dalam konteks lebih jauh, Yusril menyambung, Under the Volcano juga merupakan sebuah pengingat bagi masyarakat Indonesia bahwa bencana alam akan selalu jadi bagian dari kehidupan karena negara ini terletak di lintasan ring of fire. "Bagi saya, (lakon) teater memang datang dari kegelisahan," katanya.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tangga Sebagai Unsur Utama
Yusril mengatakan, tangga adalah unsur utama dalam pementasan teater tersebut. "Minangkabau, dan Indonesia secara general, punya banyak sekali filosofi yang diistilahkan melalui tangga. Di budaya Minang, tangga berarti kekuasaan," katanya.
Ia juga menuturkan, selain konsekuensi bencana alam yang umum, lakon ini juga menangkap fenomena bencana kemanusiaan di tengah kondisi yang sudah teramat sulit. Yusil berkata, "Kami ingin berbicara tentang bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Kengerian harus bertahan karena walau rawan bencana, itu adalah rumah kita."
Sama seperti tiga pertunjukan sebelumnya, mereka akan membawakan pertunjukan tersebut dalam sepenuhnya berbahasa Minang. "Dialog yang diambil dari syair (Lampung Karam) pun diterjemahkan ke dalam bahasa Minang," ia mengatakan.
"Saat membahasakan (dialog) dengan bahasa kami, itu lebih dapat," imbuhnya. "Bahasa daerah membuat ekspresi lebih kuat karena ada artikulasi tertentu yang terpakai. Bahasa daerah pun membuat kita lebih Indonesia karena Indonesia adalah tentang keberagaman."
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Budaya Minang
Selain secara bahasa, sentuhan budaya Minang juga diperkuat melalui unsur tarian piring dan silat dalam lakon Under the Volcano. "Karena akrobatik, tiga tahun pertama, saya bahkan mengasuransikan para pemain karena ada risiko (cedera yang tinggi)," katanya.
Karya yang dikomposeri Elizar Koto dan dramaturgi Rhoda Grauer ini disebut menangkat nuansa Minangkabau yang dinamis nan melankolis, dengan pesan universal: Jika hari ini adalah tahun 1883, untuk bertahan hidup dari bencana alam, seseorang harus bergantung pada bantuan orang lain. Pertunjukan yang dibagi dalam enam babak ini juga akan diperkuat efek visual digital.
"Karena itu kami memilih Ciputra Artpreneur," kata Restu. "Secara kualitas gedung pertunjukan, ini sudah berstandar internasional, sehingga semua efek yang kami gunakan bisa sampai (ke penonton) secara maksimal."
President Director Ciputra Artpreneur, Rina Ciputra Sastrawinata, berkata, "Kami sangat mendukung pertunjukan Under the Volcano kembali dihadirkan karena, selain memiliki alur cerita yang menarik, pertunjukan ini memanjakan mata, serta sarat akan pesan-pesan kemanusiaan."
Â
Berapa Harga Tiketnya?
Pertunjukan berdurasi kurang lebih 80 menit ini dimulai dengan cerita awal sebelum bencana terjadi. Digambarkan suasana kehidupan yang harmonis, masyarakat menjalankan kegiatan sehari-hari secara damai. Tiba-tiba gempa datang, diikuti ledakan gunung dan tsunami.Â
Para penghuni lereng panik dan berusaha menyelamatkan diri. Ketika letusan mereda, timbul masalah baru bagi masyarakat dalam hal sandang, pangan, dan papan yang menyebabkan trauma dan kemiskinan. Sedikit demi sedikit masyarakat membangun kembali rumah dan desa dengan bantuan banyak orang.
Tiket pertunjukan yang akan berlangsung pada Sabtu, 27 Agustus 2022, pukul 16.00 dan 20.00 WIB ini masih bisa dibeli melalui Loket.com atau langsung menghubungi Ciputra Artpreneur. Harganya ditetap berdasarkan kelas: VIP Rp1,35 juta, Diamond Rp1 juta, Gold Rp750 ribu, Silver Rp500 ribu, dan Bronze Rp250 ribu.
Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sapta Nirwandar, yang juga hadir saat itu, mengatakan, "Tidak cukup memuji budaya kita sangat kaya tanpa dua hal, mengepresikan seni pertunjukan dan mengapresiasinya. Bagi publik, mengapresiasi ini dilakukan dengan menonton pertunjukan."
Â
Advertisement