Miniso Minta Maaf karena Berpura-Pura Jadi Merek Jepang, Efek Sentimen Anti-Jepang?

Logo Miniso menampilkan huruf katakana, yang membuat pelanggan tak paham mengiranya sebagai brand Jepang.

oleh Asnida Riani diperbarui 24 Agu 2022, 09:32 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2022, 09:32 WIB
Manfaatkan Ramadan, Miniso Ajak Donasi untuk Korban Banjir Sentani
Ilustrasi gerai miniso. (dok. Miniso)

Liputan6.com, Jakarta - Mengira Miniso sebagai merek Jepang? Tenang, Anda bukan satu-satunya. Pengecer diskon telah mengambil alih dunia dengan menampilkan dirinya sebagai jenama Jepang, dengan lebih dari 5.100 toko, dari ibu kota Korea Utara hingga Broadway Avenue di New York.

Melansir VICE World News, Selasa, 23 Agustus 2022, pihaknya dengan berani meniru estetika dan etalase rantai pakaian kasual UNIQLO. Produk mereka lebih murah, versi tiruan dari barang-barang desainer dari merek peralatan rumah tangga Muji. Logo mereka bahkan menampilkan huruf Katakana Jepang, yang diucapkan sebagai "Meisou."

Kendati demikian, Miniso "terus bangga jadi merek China," kata perusahaan itu minggu lalu. Di kesempatan itu, mereka meminta maaf karena berpura-pura jadi merek Jepang hingga menyakiti perasaan konsumen Tiongkok.

Strategi pemasaran perusahaan yang terdaftar di New York itu telah mendapat sorotan dan memicu kecaman karena ketegangan politik dengan Tokyo memicu sentimen anti-Jepang di China. Dalam sebuah pernyataan di platform media sosial China, Weibo, Miniso mengatakan sangat malu karena telah mempromosikan labelnya sebagai "merek desainer Jepang" pada tahap awal pengembangannya.

Pihaknya menggambarkan keputusan tersebut sebagai "arah yang salah." Perusahaan, yang berbasis di Kota Guangdong di Cina selatan, mengatakan telah mulai "de-Japanisasi" sejak 2019 dan akan menghapus elemen apa pun yang mereferensi ke Jepang dari materi pemasaran dan etalasenya pada Maret tahun depan.

Manajemennya berjanji meminta pertanggungjawaban staf senior atas "kesalahan parah." Miniso juga bersumpah untuk "mengekspor budaya dan nilai-nilai China yang benar."

Awal Mula Kontroversi

Ilustrasi
Ilustrasi gerai Miniso. (dok. pexels/Rossemarie Beringuel)

Pernyataan yang dimaksud muncul setelah perusahaan tersebut menyebabkan reaksi di kalangan warganet China, awal bulan ini. Pemicunya adalah Miniso Spanyol secara keliru menggambarkan Putri Disney yang mengenakan cheongsam Cina dalam koleksi mainan baru-baru ini sebagai geisha Jepang.

Perusahaan China itu kemudian mengeluarkan permintaan maaf dan menuntut agennya di Spanyol menghentikan agensi yang menjalankan akun media sosialnya."Kami mengagumi peradaban sejarah yang panjang dan pencapaian budaya China yang luar biasa," tulis Miniso Spanyol kemudian dalam sebuah unggahan Instagram.

Meski Miniso membuka toko pertamanya di Guangzhou pada 2013 dan sebagian besar produknya diproduksi di China, perusahaan tersebut berulang kali bersikeras bahwa itu adalah merek Jepang dalam beberapa tahun pertama. Pihaknya sempat menyebut desainer Jepang Miyake Junya sebagai salah satu pendiri.

"Lucu bagaimana kemitraan strategis dan kinerja tinggi Miniso di China telah membayangi bisnis di Jepang," kata Junya pada 2016, ketika perusahaan mengoperasikan lebih dari 1.000 outlet di China, tapi hanya empat di Jepang. Ia berharap dapat berbagi filosofi desain Jepang dengan orang-orang di seluruh dunia.

Bukan Kali Pertama

Miniso Store
Mini Store Miniso Fans Festival (dok Liputan6.com/Ossid Duha Jussas Salma)

Pada 2019, ketika perusahaan sedang mempersiapkan pencatatan publiknya di AS, semua penyebutan tentang Junya dan asal-usul Jepangnya telah hilang dari situs dan dokumen mereka. Ini termasuk prospektus IPO, yang mencantumkan pengusaha Cina Ye Guofu sebagai satu-satunya pendiri.

Miniso terlibat dalam 68 tuntutan hukum pada tahun yang sama, dengan lebih dari 40 kasus yang melibatkan pelanggaran hak cipta. Pada 2016, outlet Hong Kong melaporkan bahwa beberapa nama desainer Nordik terkenal ditampilkan di situs web Miniso tanpa persetujuan mereka. Setidaknya dua seniman Hong Kong juga menuduh perusahaan itu merampas desain mereka.

Bisnis Miniso pun bukan satu-satunya sinyal ketegangan antara China dan Jepang. September tahun lalu, pemerintah China menutup Tang Little Kyoto, sebuat tempat komersial bertema Jepang terbesar di negara itu.

Penutupan dipicu tudingan warganet bahwa situs yang baru dibuka sebagian kecilnya pada 21 Agustus 2021 itu sebagai "invasi budaya Jepang ke China." Weibo dipenuhi komentar warganet yang mempermasalahkan lokasi pendirian fasilitas Tang Little Kyoto, yang dulunya wilayah Dalian, daerah pendudukan Jepang.

Reaksi Warga Jepang

Pusat Perbelanjaan Tang Little Kyoto di China Ditutup, Dituding Bagian Invasi Budaya Jepang
Ilustrasi Little Tokyo. (dok. Yoav Aziz/Unsplash.com)

Dirangkum Insider, salah satu pengguna Weibo berkomentar, "Keberadaan tempat perbelanjaan Kyoto ini merupakan pengkhianatan bagi para pedagang lokal demi bisnis Jepang."

Beberapa orang juga berpendapat bahwa kehadiran Tang Little Kyoto merupakan simbol yang mengacu pada sejarah pendudukan Jepang di daerah tersebut pada 1930-an hingga 1940-an. Pengguna Weibo juga mengunggah ulang sebuah pesan yang mengatakan bahwa budaya Jepang sebagai "setan yang harus diusir."

Akun Weibo lain mengatakan bahwa dengan membuka lokasi yang menyerupai Jepang ini, mereka melupakan asal-mula dan pengorbanan nenek moyang zaman penjajahan Jepang. 

"Bagaimana dengan nenek moyang kita yang mati di bawah pembantaian Jepang dan para pahlawan yang berjuang dengan gagah berani melawan Jepang? Proyek boros ini tidak menunjukkan kebanggaan nasional kita," ujar akun Weibo Mo Hong An.

Di sisi lain, penutupan itu memancing reaksi keras warga Jepang. Mereka menilai insiden ini digunakan sebagai tujuan politik Beijing, lapor SCMP.

Menurut para kritikus, peristiwa ini merupakan upaya terbaru Beijing yang kerap menggunakan masa lalu kedua negara untuk merendahkan dan membuat pandangan negatif terhadap Jepang. Sebagai gantinya, mereka menyerukan agar Chinatown yang berada di berbagai kota di Jepang juga ditutup.

Meski begitu, menurut pengembang real estat kompleks Tang Little Kyoto, Dalian Shuyuan Group, pemerintah kota menjadikan kekhawatiran akan menimbulkan kerumunan orang di daerah tersebut selama pandemi sebagai alasan utama penutupan. 

Infografis Aturan di Pusat Perbelanjaan, Mal, Pusat Perdagangan PPKM Level 1 Jawa-Bali
Infografis Aturan di Pusat Perbelanjaan, Mal, Pusat Perdagangan PPKM Level 1 Jawa-Bali (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya