Mengenal Ritual Kirab Malam 1 Suro di Keraton Surakarta, Ada Tradisi Ambil Kotoran Kebo Bule

Ritual kirab Malam 1 Suro di Keraton Surakarta sudah berlangsung selama ratusan tahun dan dilakukan secara turun-temurun.

oleh Asnida Riani diperbarui 18 Jul 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2023, 15:00 WIB
Kerbau Bule Hingga Sedekah Merapi Saat Malam 1 Suro
Kawanan Kerbau Bule keturunan Kerbau Pusaka Keraton Kiai Slamet membuka jalan bagi rombongan Kirab Peringatan Malam 1 Suro Keraton Surakarta Hadiningrat di Jalan Mangkubumen Sasono Mulyo, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/10/2014). (Antara Foto/Maulana Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Sarat akan ritual sakral, begitulah kesan Tahun Baru Hijriah, yang juga dikenal sebagai perayaan malam 1 Suro, bagi masyarakat Jawa. Ya, memang ada sederet tradisi yang menyertai Malam 1 Suro, termasuk ritual kirab di Keraton Surakarta.

Sesuai namanya, melansir laman Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, Selasa (18/7/2023), kirab Malam Satu Suro dilaksanakan pada malam sebelum 1 Muharram, yang berarti terselengga malam nanti. Ritual ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan dilaksanakan di Solo secara turun-temurun.

Makna ritual Malam Satu Suro adalah refleksi diri dengan mengingat kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat selama satu tahun terakhir. Malam satu suro menandai bergantinya tahun, sehingga pada lembaran baru ini, diharapkan sifat seseorang berubah jadi lebih baik.

Ritual Kirab Malam Satu Suro di Keraton Surakarta umumnya diikuti ribuan partisipan, mulai dari keluarga keraton dan kerabat, abdi dalam wilayah Solo Raya, hingga masyarakat umum. Di antaranya, tidak lengkap rasanya berbicara tentang ritual kirab Malam Satu Suro Keraton Surakarta tanpa menyinggung kebo bule sebagai cucuk lampah kirab yang diceritakan sebagai keturunan dari Kebo Kyai Slamet.

Bukan kerbau biasa, kawanan kebo bule konon merupakan pusaka yang amat berharga bagi Sri Susuhunan Pakubuwono II, yang diberikan Bupati Ponorogo. Kerbau itu diberikan pada Sri Susuhunan PB II bersamaan dengan pusaka bernama Kyai Slamet, sehingga kebo bule ini dinamakan Kebo Kyai Slamet.

Kebo bule, yang sekarang berada di kawasan keraton, adalah keturunan dari Kebo Kyai Slamet yang sudah eksis sejak ratusan tahun silam. Semua peserta kirab menggunakan pakaian warna hitam.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Kirab Malam 1 Suro

Kirab Laku Bisu Pura Mangkunegaran
Abdi keraton membawa pusaka saat mengikuti upacara ritual Kirab Pusaka dan Tapa Bisu di Solo, Sabtu (31/8/2019) malam. Kirab tersebut dalam rangka memperingati pergantian tahun baru Hijriah yand dalam penanggalan Jawa disebut satu Suro. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Secara tradisional, laki-laki memakai pakaian adat Jawa berwarna hitam, atau yang dikenal dengan busana Jawi jangkep. Sementara itu, perempuan akan menggunakan kebaya hitam. Barisan kebo bule berada di paling depan beserta pawangnya.

Barisan kedua dan selanjutnya adalah abdi dalem bersama putra-putri Sinuwun dan Pembesar Keraton yang membawa sepuluh pusaka Keraton. Selama prosesi kirab berlangsung, peserta kirab tidak akan mengucapkan satu patah kata pun. Hal tersebut bermakna perenungan diri terhadap apa yang sudah dilakukan selama setahun ke belakang.

Yang unik, seselesainya ritual ini dilaksanakan, banyak masyarakat yang mengambil kotoran kebo bule. Bagi sebagian orang, hal ini dipercaya membawa keberkahan dan kemakmuran.

Selain Solo, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam 1 Suro. Bedanya, kirab malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lain, lapor kanal News Liputan6.com per 13 Juli 2023.

Sejarah peringatan malam 1 Suro dimulai sejak abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram. Kala itu, sultan mengubah penanggalan Saka, yang merupakan penanggalan Hindu jadi penanggalan Jawa.


Serajah Perayaan Malam 1 Suro

Malam Satu Suro
Kirab pusaka Malam Satu Suro di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Fajar Abrori)

Selain dari penanggalan Saka, penanggalan Jawa juga mengadopsi kalender Islam, sehingga memiliki persamaan pada permulaan awal tahun. Nama 1 Suro diambil dari bahasa Arab, yakni Asy-Syura yang berarti tanggal 10.

Karena itu, sebetulnya hari yang penting dalam kebudayaan Jawa adalah tanggal 10 Suro, yang bertepatan dengan 10 Muharam dalam kalender Islam. Namun, peringatan justru digelar pada malam satu Suro, alih-alih malam 10 Suro.

Sumber lain mengisahkan, sejarah perayaan malam satu suro berasal dari keinginan Sultan Agung untuk menyatukan rakyatnya. Ia menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin menyatukan Pulau Jawa.

Karenanya, ia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Kala itu, setiap hari Jumat legi, diselenggarakan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan para penghulu kabupaten.

Di kesempatan itu, mereka pun berziarah kubur dan haul ke makam Sunan Ampel dan Giri. Dari situ, 1 Muharam yang dimulai pada Jumat Legi turut dikeramatkan pula. Bahkan, dianggap sial jika ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.


Amalan Malam 1 Suro

Kirab Malam 1 Suro di Pura Mangkunegaran
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengikuti prosesi kirab pusaka malam 1 Suro yang digelar di Pura Mangkunegaran, Solo, Jumat malam (29/7).(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Melakukan siraman jadi salah satu amalan malam 1 Suro. Ini berupa ritual mandi besar dengan menggunakan air dicampur kembang setaman. Siraman sama dengan bentuk "sembah raga" dengan tujuan menyucikan raga sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Suro.

Ini dimaknai sebagai upaya menjaga dan menyucikan hati, pikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Amalan malam 1 Suro ini dilakukan sambil berdoa memohon keselamatan pada Tuhan agar dijaga dari bencana, musibah, kecelakaan.

Doanya dalam satu fokus, yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Praktiknya, yakni mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak tujuh kali siraman gayung. Tujuh dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan.

Bisa juga 11 kali, yang mana 11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan atau belas kasih. Atau 17 kali yang dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberi pitulungan dan kawelasan.

Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah, langsung "beratap langit." Maksudnya agar secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.

Infografis Macam-Macam Alat Musik Tradisional
Infografis Macam-Macam Alat Musik Tradisional. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya