Liputan6.com, Jakarta - Para ilmuwan menyebut Juli 2023 sebagai "bulan terpanas sepanjang sejarah." Studi yang diterbitkan Dr Karsten Haustein, seorang ilmuwan iklim di Universitas Leipzig, Jerman, Kamis, 27 Juli 2023, memperkirakan Juli 2023 jadi bulan terpanas dalam 120 ribu tahun terakhir.
Suhu global rata-rata naik sekitar 1,5 derajat celcius akibat "pembakaran batu bara, minyak, dan gas, serta aktivitas manusia lain." Ini lebih panas dari rekor sebelumnya, Juli 2019, mencatat kenaikan 0,2 derajat celcius.
"Rekor (suhu terpanas) muncul saat El Nino baru saja diumumkan di Pasifik tropis," kata Dr Haustein, dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Jumat (28/7/2023). "Selain berkontribusi terhadap panas, alasan mendasar kita melihat catatan seperti itu adalah pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah besar secara terus-menerus."
Advertisement
"Karena efek El Nino baru sepenuhnya muncul pada paruh kedua tahun ini, Juni dan Juli (2023), kemungkinan akan diikuti rekor bulan-bulan hangat lain hingga setidaknya awal 2024," imbuhnya.
Selain Dr Karsten Haustein, beberapa ilmuwan iklim juga memperingatkan bahwa Juli 2023 kemungkinan jadi bulan terpanas sepanjang sejarah. "Ini tidak mengherankan," sebut Dr Zachary M Labe, ilmuwan iklim di Universitas Princeton.
Ia melanjutkan, "Banyak prediksi (sejak) puluhan tahun (lalu) dari para ilmuwan yang memperingatkan suhu meningkat dengan cepat karena perubahan iklim yang disebabkan manusia. Dampak dan akibatnya dirasakan masyarakat dan ekosistem di seluruh dunia, terutama bagi yang paling rentan."
"Tanpa pengurangan emisi gas rumah kaca, panas dan risiko selanjutnya akan terus meningkat," katanya lagi.
Rekor Suhu Ekstrem di Dunia
Narasi serupa diungkap ilmuwan riset di Berkeley Earth, Dr Zeke Hausfather. Ia berbagi, "Tahun-tahun dengan peristiwa El Nino cenderung lebih hangat daripada tahun-tahun lainnya, tapi peningkatan suhu yang tidak terhindarkan terjadi karena perubahan iklim menambah panas El Nino permanen ke atmosfer bumi setiap 5 hingga 10 tahun."
Perubahan iklim yang dramatis, menurut Dr Haustein, juga memicu gelombang panas laut dan benua yang belum pernah terjadi sebelumnya, meningkatkan risiko suhu ekstrem yang memecahkan rekor di seluruh dunia. "China, Eropa Selatan, dan Amerika Utara semuanya mengalami rekor atau mendekati rekor suhu beberapa minggu terakhir ini," ujar dia.
Death Valley, Amerika Serikat (AS) mengalami malam terpanas yang pernah tercatat secara global, sedangkan Aljazair mencatat rekor malam terpanas di Benua Afrika. Sementara itu, China mengalami suhu tertinggi yang pernah tercatat.
Di Phoenix, Arizona, AS, rekor suhu yang mencapai 43,3 derajat celcius terjadi dalam 21 hari berturut-turut. Roma, Italia juga memecahkan rekor panas tahun lalu. Rekor suhu lokal sepanjang masa juga dipecahkan di setidaknya 15 negara.
Advertisement
Tidak Hanya Panas Ekstrem
Selain panas ekstrem, Juli 2023 juga membawa rekor hujan dan banjir mematikan di sejumlah negara, termasuk Korea Selatan, Jepang, China, India, Pakistan, dan AS. Adapun, es di Antartika terus mencapai rekor terendah sepanjang tahun.
Di Korea Selatan, 13 orang tewas saat mobil mereka terjebak di terowongan yang terendam banjir. Lalu di Pakistan, rekor hujan Monsun menyebabkan tanah longsor yang mengubur 15 anak dan menewaskan 8 anak lain dalam pertandingan kriket.
Sementara di bagian selatan Negeri Paman Sam, setidaknya 10 migran tewas karena suhu panas ekstrem dalam satu akhir pekan. Hal serupa juga terjadi di Meksiko, ketika seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang bekerja di ladang nanas di Oaxaca meninggal dunia karena kepanasan.
Di Italia, unit darurat dipenuhi orang-orang yang menderita paparan panas, beberapa rumah sakit melaporkan sejumlah pasien mirip pandemi COVID-19. Dampak panas ekstrem ini dilaporkan masih terus mengintai manusia yang belum merasakan secara langsung hingga akhir tahun, karena tanaman pangan kini tengah dilanda cuaca tersebut.
Perlu Rencana Lebih Ambisius
Menurut PBB, kebijakan pemerintah-pemerintah dunia saat ini mengarah pada kenaikan suhu rata-rata 2,8 derajat celcius dari sebelum masa pra-industri. Fakta ini menggarisbawahi perlunya target dan rencana lebih ambisius dari negara-negara pencemar utama pada KTT Iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir tahun nanti.
Demi menjaga tingkat pemanasan pada batas 1,5 derajat celcius, panel ilmuwan iklim PBB, IPCC, menegaskan bahwa emisi gas rumah kaca global harus mencapai puncaknya paling lambat sebelum tahun 2050 dan dikurangi 43 persen pada 2030.
Menurut IPCC, kenaikan suhu 2,8 derajat celcius yang diakibatkan kebijakan saat ini akan mengancam produksi pangan, persediaan air, kesehatan manusia, warga pesisir, ekonomi nasional, dan kelangsungan sebagian besar sumber daya alam dunia.
Laporan IPCC tahun lalu menyimpulkan, "Perubahan iklim merupakan ancaman bagi kesejahteraan manusia dan kesehatan planet. Penundaan lebih lanjut dalam aksi global antisipatif tentang adaptasi dan mitigasi akan membuat kita kehilangan jendela peluang yang singkat dan cepat tertutup untuk mengamankan masa depan yang layak huni serta berkelanjutan bagi semua."
Advertisement