Minim Sosialisasi Wajib Halal untuk PKL Makanan dan Minuman yang Dendanya Capai Rp2 Miliar

Sejumlah PKL makanan dan minuman mengaku belum tahu soal aturan wajib halal Oktober 2024. Lalu, bagaimana sosialisasi dilakukan selama ini padahal UU yang memayunginya sudah berlaku sejak Oktober 2017.

oleh Rusmia Nely diperbarui 23 Mar 2024, 08:31 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2024, 08:31 WIB
Dilema Wajib Sertifikasi Halal untuk PKL dan Usaha Mikro
Pedagang sempol ayam di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan mengaku tidak tahu soal peraturan wajib Sertifikat Halal bagi seluruh pelaku UMKM, tak terkecuali PKL. (dok. Liputan6.com/Rusmia Nely)

Liputan6.com, Jakarta - Pada 2 Februari 2021, pemerintah menetapkan PP Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Berdasarkan peraturan tersebut, seluruh produk makanan dan minuman yang dijual, termasuk oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) diwajibkan untuk memiliki Sertifikat Halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) maksimal pada 17 Oktober 2024.

Berdasarkan aturan tersebut, selain makanan dan minuman siap konsumsi, seluruh bahan yang terlibat juga wajib disertifikasi halal, seperti bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong. Kewajiban itu berlaku pula untuk hasil sembelihan dan jasa sembelihan.

Jika terlambat, pelaku usaha yang tidak mendaftarkan produknya akan dikenakan sanksi teguran hingga larangan edar produk. Berdasarkan Pasal 149 PP Nomor 39 Tahun 2021, denda administratif yang bisa dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar maksimal Rp2 miliar.

Melihat batas waktu yang semakin dekat, Tim Lifestyle Liputan6.com mewawancarai sejumlah PKL di lapangan. "Saya belum dengar soal peraturan tersebut sama sekali," kata Imam (43), seorang pedagang nasi goreng di daerah Kukusan, Depok, ketika diwawancarai Minggu, 17 Maret 2024. Ia mengaku tidak pernah melihat informasi itu tersebar di internet.

Senada dengan Imam, Rafi (20), seorang pedagang sempol ayam gerobak yang biasa mangkal di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan menyatakan hal serupa. Ia mengaku baru tahu ada peraturan yang seperti itu ketika didatangi di tempat jualannya, Senin, 18 Maret 2024.

Keadaan di lapangan yang demikian menimbulkan dilema soal penerapan kebijakan yang juga menyasar para pedagang kecil ini. Bagaimana solusi dari BPJPH jika per 18 Oktober 2024, mayoritas UMKM Indonesia masih belum bersertifikat halal?

PKL Belum Tahu Soal Peraturan Sertifikasi Halal

Dilema Wajib Sertifikasi Halal untuk PKL dan Usaha Mikro
Para PKL makanan dan minuman yang berjualan di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. (dok. Liputan6.com/Rusmia Nely)

Siti Aminah, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH mengatakan bahwa lembaganya akan menggencarkan sosialisi Wajib Halal Oktober 2024 (WHO 2024) di 415 titik di Indonesia, ketika ditemui di Jakarta, Kamis, 14 Maret 2024. Ia pun menyampaikan bahwa BPJPH akan membantu para pedagang kecil yang belum mengurus Nomor Izin Berusaha yang diperlukan sebagai syarat mendaftar sertifikasi halal pada layanan daftar on the spot.

Lain hal yang ditemukan di lapangan, Imam dan Rafi mengaku bahwa tak ada informasi soal kegiatan sosialisasi ini. Mereka juga mengaku bahwa tidak pernah ada pejabat terkait yang menyambangi area tempat mereka berjualan untuk menyosialisasikan peraturan tersebut atau sekadar mengingatkan soal izin dagang.

"Belum pernah ada orang kasih sosialisasi ke sini," jawab Imam, yang mengaku sudah puluhan tahun berjualan nasi goreng di daerah tersebut.

Rafi menuturkan hal yang sama. Walau ia baru berjualan sekitar tiga bulan di lokasi tersebut, tak ada pedagang lain yang menyampaikan soal sosialisasi atau peraturan sertifikasi halal untuk PKL kepada dirinya.

Takut Dipersulit

Dilema Wajib Sertifikasi Halal untuk PKL dan Usaha Mikro
Pedagang nasi goreng di Kukusan, Depok tak menolak keputusan wajib sertifikasi halal asalkan prosedurnya bisa dipermudah bagi PKL. (dok. Liputan6.com/Rusmia Nely)

Di sisi lain, para PKL khawatir proses pengurusan izin dagang dan sertifikasi halal malah akan mempersulit mereka. "Kita (pedagang kecil) nggak selalu punya waktu untuk mengurus surat-surat seperti itu. Kita setiap hari harus berdagang dan tidak sempat untuk mengurus surat perizinan yang semacam itu," tutur Rafi, menjelaskan.

Namun, mereka tidak pula menolak peraturan tersebut. Keduanya merasa bahwa Wajib Sertifikasi Halal adalah usulan yang baik untuk menjamin kualitas dan kehalalan produk makanan dan minuman. Ia mengaku akan ikut mengurusnya asalkan ada jaminan tidak akan dipersulit soal surat-menyurat. Sedangkan, Rafi memikirkan soal harga yang dipatok untuk mengurus sertifikat halal tersebut.

"Kalau biayanya tinggi sih susah ya, kalau gratis mungkin saya mau," jawabnya. Ketika dijelaskan soal prosedur pendaftaran sertifikasi yang dapat dilakukan via online dan kuota gratis yang diberikan oleh BPJPH, keduanya memilih diam.

Dilansir dari kanal Bisnis Liputan6.com, Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (AkuMandiri), Hermawati Setyorinny memprotes kebijakan pemerintah yang mewajibkan sertifikat halal bagi pedagang makanan dan minuman mulai 18 Oktober 2024. Hermawati memandang pemerintah sangat terburu-buru untuk mewajibkan aturan ini kepada PKL.

 

Diprotes Keras Asosiasi UMKM

Geliat UMKM di Malang yang Makin Menggiurkan
Berbagai makanan ringan produksi UMKM di salah satu pusat oleh - oleh di Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Ia menilai bahwa keputusan ini tidak pertimbangkan dengan matang, mengingat sosialisasi yang dilakukan belum merata. "Pelaku usaha mikro, ultra mikro, PKL itu yang kecil-kecil pasti kaget lah, kalau pemerintah mewajibkan harus sertifikat halal tapi tak ada sosialisasi kan," ujar Hermawati kepada wartawan Merdeka.com di Jakarta, Jumat, 2 Februari 2024.

Terlebih lagi para PKL dan UMKM perlu membayar harga Rp230 ribu untuk memperoleh sertifikat tersebut. Hermawati mengusulkan agar pemerintah menggratiskan saja sertifikasi halal bagi para PKL dan pelaku usaha mikro agar tidak menyulitkan mereka. Upaya ini sekaligus dapat menjadi momentum pemerintah untuk meningkatkan akurasi data jumlah pelaku UMKM di Indonesia, tutupnya.

Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa seluruh pemangku kepentingan harus siap dan bekerja sama dalam menghadapi kewajiban halal. Terlebih, aturan tersebut bukan bermaksud memberatkan, melainkan untuk mendorong produk halal Indonesia semakin terdepan.

"Regulasi JPH diharapkan mampu mendorong produk halal Indonesia semakin terdepan. Berbagai pihak, termasuk LPH LPPOM MUI, perlu mempersiapkan Oktober 2024, agar perubahan sifat sertifikasi halal dari voluntary ke mandatory ini berjalan dengan lancar," ucap Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

 

Infografis Prosedur Pengajuan Sertifikat Halal
Infografis Prosedur Pengajuan Sertifikat Halal. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya