Liputan6.com, Jakarta - Penulis kontoversial Salman Rushdie secara terang-terangan membela Israel. Mengutip Middle East Eye pada Rabu, 29 Mei 2024, dalam sebuah wawancara dengan lembaga penyiaran Jerman Rundfunk Berlin-Brandenburg, Rushdie mengutuk protes mahasiswa dalam solidaritas untuk Palestina.
Ia beralasan dalam banyak kasus, protes terhadap Israel "meluncur ke dalam wacana antisemit", dan dengan sinis menolak seruan boikot budaya terhadap Israel sebagai "masalah universal". Ia juga mengatakan bahwa "orang normal mana pun pasti terkejut dengan apa yang terjadi di Gaza saat ini, namun dengan banyaknya korban jiwa yang tidak bersalah, saya pikir para demonstran juga bisa menyebut Hamas."
Novelis kelahiran India ini mengatakan bahwa "aneh" jika pemuda progresif mendukung "kelompok teroris fasis" seperti Hamas karena menurutnya semua ini terjadi awalnya karena ulah mereka. "Hamas adalah organisasi teroris dan lucu sekali bahwa kebijakan mahasiswa progresif muda mendukung kelompok teroris fasis, karena itulah yang mereka lakukan. Mereka menuntut 'bebaskan Palestina', bebaskan Palestina," ujarnya.
Advertisement
Mengingat tuntutan para pengunjuk rasa "untuk membebaskan Palestina," Rushdie mengatakan dia sudah lama mendukung negara Palestina. Namun, ia mengklaim bahwa negara itu akan menjadi rezim Islam otoriter seperti Afghanistan.
"Tetapi jika ada negara Palestina sekarang, negara itu akan dijalankan oleh Hamas dan kita akan memiliki negara seperti Taliban. Negara satelit Iran. Inikah yang ingin diciptakan oleh gerakan progresif sayap kiri barat?" ucapnya dalam wawancara.
Komentar Rushdie Dinilai Mengerikan
Rushdie mengaku memahami protes tersebut sebagai reaksi emosional terhadap kematian warga Palestina, dan bahwa setiap orang normal hanya akan terkejut dengan apa yang terjadi di Gaza saat ini. Terlepas dari komentarnya, Rushdie mengakui jumlah korban tewas yang sangat besar di Jalur Gaza yang dilanda perang, mencapai 35.562 orang per Senin, 21 Mei 2024, mengutip The New Arab pada Rabu, 29 Mei 2024.
Seorang akademisi, Gerry Hassan, mengatakan komentar Rushdie "mengerikan" dan "kenegaraan Palestina diakui oleh dunia dan ditolak oleh Israel sejak 1948". Aktivis berdarah Yahudi-Hungaria pro-Palestina, Anita Zsurzsan, pun turut memberikan komentar.
"Elit budaya seperti Salman Rushdie dan Zadie Smith perlu mempertahankan tatanan dunia hegemoni liberal Barat, bahkan jika itu mencakup genosida literal karena ini adalah sistem yang memberi penghargaan kepada mereka. Mereka adalah bagian dari struktur dominasi imperialis."
Dengan pengakuan negara Palestina oleh Irlandia, Norwegia, dan Spanyol, Rushdie semakin tidak sejalan dengan banyak pemerintahan negara-negara Barat, dan semakin menggemakan sayap kanan yang pernah ia kecam.
Advertisement
Rushdie Gembar-gemborkan Islam Sebagai Ancaman
Percakapannya dengan aktivis politik dan kritikus budaya Palestina-Amerika, Edward W Said, yang diadakan di Institut Seni Kontemporer (ICA) London pada September 1986, merupakan salah satu wawancara paling mengasyikkan dan menyenangkan di abad ke-20. Wawancara Rushdie-Said tersebut kembali diputar di ICA baru-baru ini sebagai bagian dari kegiatan solidaritas untuk Palestina.
Penonton menertawakan tindakan Said yang menghapus propaganda Israel yang menggelikan pada 1980-an dan bertepuk tangan di akhir video. Ada juga yang menghela nafas lelah ketika ironisnya mengingat pernyataannya baru-baru ini bahwa Rushdie mengeluhkan "kesulitan dalam membuat kritik apapun terhadap Zionisme tanpa langsung dituduh antisemitisme".
Meskipun kesulitan tersebut belum berubah, politik Rushdie jelas berubah. Pada tahun-tahun setelah fatwa tersebut, Rushdie berubah menjadi selebritis bagi politisi barat dengan agenda Islamofobia dan imperialis.
Rushdie mendukung invasi Barat ke Afghanistan dan Irak. Ia juga menjadi tokoh neokonservatif dan agitator (orang yang melakukan penghasutan) sayap kanan yang berpendapat bahwa Islam adalah ancaman dan Barat adalah peradaban yang unggul.
Sosok Penulis Kontroversial
Rushdie adalah sosok penulis yang kontroversial. Banyak karya Rushdie yang menjadi subyek kontroversi selama beberapa dekade. Salah satu karyanya yang menuai kotroversi adalah Ayat-Ayat Setan atau Satanic Verses pada 1988.
Mengutip Kanal Islami Liputan6.com pada Rabu, 29 Mei 2024, buku tersebut menuai kecamatan komunitas muslim dunia karena dianggap penistaan. Demonstrasi publik menentang buku tersebut menyebar ke Pakistan pada Januari 1989, hingga pada 14 Februari 1989, pemimpin spiritual revolusioner Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, secara terbuka mengutuk buku tersebut dan mengeluarkan fatwa terhadap Rushdie: hadiah ditawarkan pada siapa saja yang akan mengeksekusinya.
Beberapa tokoh dunia lainnya juga menyediakan hadiah bagi yang bisa membunuh Salman Rushdie. Namun, selama puluhan tahun Salman selamat hingga akhirnya terluka dalam serangan di New York dan kehilangan sebelah matanya.
Terlepas dari ancaman pembunuhan, Rushdie terus menulis. Ia salah satunya memproduksi Imaginary Homelands (1991), kumpulan esai dan kritik. Ia bahkan menulis novel anak-anak, Haroun and the Sea of ​​Stories (1990).
Advertisement