Liputan6.com, Jakarta - Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akan menggelar ruwatan akbar untuk memperingati 1 Suro. Tradisi penyucian diri itu akan berlangsung pada Minggu, 7 Juli 2024, yang bertempat di Bale Bundar.
Dalam rilis yang diterima Tim Lifestyle Liputan6.com, Selasa, 4 Juni 2024, upacara ruwatan akbar akan berkolaborasi dengan Museum Indonesia TMII dan berlangsung dari pukul 07.00--12.00 WIB. Ruwatan kali ini mengundang Dalang Ruwat Ki Slamet Hadi Santoso yang akan memainkan lakon "MURWOKOLO".
Baca Juga
Ki Slamet Hadi Santoso juga akan membimbing para peserta ruwatan atau disebut sukerta selama prosesi berlangsung. Diharapkan Ruwatan Akbar yang diadakan TMII itu dapat mewadahi masyarakat di daerah Jakarta dan sekitarnya.
Advertisement
Ruwatan adalah salah satu tradisi budaya yang dilestarikan oleh TMII dari tahun ke tahun. Ruwatan menjadi kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Museum Pusaka setiap bulan Suro penanggalan Jawa atau bertepatan juga dengan peringatan 1 Muharam.
Ruwatan dalam bahasa Jawa bermakna "dilepas" atau "dibebaskan". Karena itu, ruwatan bertujuan membebaskan seseorang yang diruwat dari hukuman atau kutukan dewa yang membawa bahaya atau lebih tepatnya sarana pembebasan dan penyucian diri dari segala malapetaka dan kesialan hidup/sukerta.
Mereka yang telah melakoni ruwatan dipercaya akan terbebas dari sukerta. Terdapat beberapa persyaratan untuk peserta yang termasuk dalam jenis sukerta yang detailnya bisa mengontak narahubung Sherry di nomor 0818 0252 8490 dan Yuni dengan nomor telepon 0813 1573 7414. Pendaftaran terakhir dilakukan pada 30 Juni 2024. Peserta akan diminta membayar biaya tertentu.
Tradisi Masyarakat Jawa
Mengutip dari Tim Citizen Liputan6.com, 18 Juli 2023, malam 1 Suro menjadi salah satu hari yang paling dinantikan bagi masyarakat Jawa karena 1 Suro adalah tanggal tahun baru pada kalender Jawa. Berdasarkan kalender Islam atau Hijriah, 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram atau bulan pertama di kalender Hijriah.
Malam 1 Suro diperingati pada malam setelah magrib pada hari sebelum tanggal 1 Suro. Dalam penanggalan Jawa, pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam sebagaimana pergantian hari dalam kalender Masehi.
Malam 1 Suro diperingati di berbagai daerah di Jawa, seperti di Solo, Jawa Tengah. Warga memeringatinya dengan tradisi arak-arakan atau kirab hewan kerbau yang bernama kebo bule atau Kebo Kiai Slamet.
Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam 1 Suro. Bedanya, kirab malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lain.
Tradisi 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu, masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.
Advertisement
Pantangan di Malam 1 Suro
Sementara, umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem Kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, Sultan Agung mengawinkan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharam sebagai tahun baru Jawa.
Ada pantangan bagi masyarakat Jawa untuk keluar rumah di malam 1 Suro. Hal ini lantaran beberapa orang percaya ada energi buruk yang bisa membawa kesialan bagi siapa saja yang keluar rumah di malam itu.
Itu sebabnya ada larangan untuk menghindari keluar rumah saat tengah malam pada 1 Suro untuk menjaga keselamatan dan menghindari kemungkinan bertemu dengan hal-hal yang tidak diinginkan. Selain keluar rumah, ada pula larangan untuk berbicara atau berisik di malam 1 Suro.
Maka itu, tidak sedikit orang Jawa melakukan ritual bisu. Ritual ini sering kali dilakukan di area Keraton Yogyakarta. Ketika melakoni ritual ini, warga dilarang makan, minum, bahkan merokok. Masyarakat pun dilarang untuk berbicara tentang hal yang buruk yang dianggap dapat memicu kesialan.
Pantangan Menikah di Bulan Muharram, Benarkah Menurut Islam?
Pantangan selanjutnya ialah menggelar pernikahan di malam 1 Suro. Sebagian orang Jawa meyakini menikah di bulan Suro, terutama malam 1 Suro, berisiko mendapatkan kesialan atau nasib buruk, seperti masalah keuangan, kecelakaan, penyakit serius, hingga kematian.
Namun, dalam perspektif Islam, apakah benar-benar ada larangan untuk menikah di bulan Muharram? Dalam pandangan Islam, menganggap adanya hari sial, termasuk pantangan menikah di bulan Muharram, sama saja mencela Allah. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فإنَّ اللَّهَ هو الدَّهْرُ“Jangan mencela ad-dahr (waktu), karena Allah adalah ad-dahr” (HR. Muslim no. 2246).
Maksud dari “Allah adalah ad-dahr” dijelaskan dalam hadis lain. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تسبوا الدهر، فإن الله عز وجل قال: أنا الدهر: الأيام والليالي لي أجددها وأبليها وآتي بملوك بعد ملوك“Jangan mencela ad-dahr (waktu), karena Allah ‘azza wa jalla berfirman: Aku adalah ad-dahr, siang dan malam adalah kepunyaan-Ku, Aku yang memperbaharuinya dan membuatnya usang. Dan Aku pula yang mendatangkan para raja yang saling bergantian berkuasa” (HR. Ahmad no.22605, dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 532).
Advertisement