Liputan6.com, Jakarta - Kasus seorang polisi wanita (polwan) berinisial Briptu FN yang membakar suaminya yang juga berprofesi sebagai polisi sedang menjadi sorotan publik. Hal itu juga menjadi perhatian Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi.
Polwan di Mojokerto, Jawa Timur itu membakar suaminya lantaran judi online. Akibatnya, Briptu FN emosi dan berakhir dengan insiden nahas tersebut. Suaminya akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Baca Juga
Kejadian itu membuat DPR kembali menyoroti soal judi online dan memanggil Menkominfo. Budi Arie Setiadi pun dicecar Komisi I DPR RI saat rapat kerja soal judi online karena sudah banyak menelan korban jiwa.
Advertisement
Budi mengaku, pihaknya berduka atas insiden tersebut. Dia turut menyinggung seorang prajurit TNI yang tewas karena bunuh diri buntut terlilit utang ratusan juta. Namun ada perkataannya yang membuat sejumlah warganet tidak berkenan.
"Selanjutnya ini juga hot ini soal judi online, kita harus berduka cita karena ada polisi yang ketika saya baca beritanya siapa yang membakar siapa, itu ternyata istrinya ya, ternyata perempuan itu lebih kejam dari lelaki ya. Ini tanpa gender stereotip loh. Yang istrinya membunuh suaminya polisi," kata Budi, saat rapat di Senayan, Jakarta, Senin, 10 Juni 2024, dikutip dari kanal News Liputan6.com.
"Walaupun sekitar 3 minggu lalu Letkol TNI bunuh diri, karena utang judi online Rp 900 juta," sambungnya.
Pernyataan Budi Arie itu sepertinya membuat warganet emosi. Menkominfo itu dianggap terlalu mengurusi gender daripada masalah judi online yang menjadi akar penyebab kasus istri membakar suaminya sesama polisi itu.
Mengurus Judi Online, Bukan Gender
Hal itu diketahui melalui unggahan akun X @ARSIPAJA. Banyak warganet yang mengkritik Budi Arie karena pernyataannya dinilai fokus mengurusi persoalan gender daripada judi online yang membuat rakyat sengsara seperti kasus Briptu FN.
"Akar masalah: karena suami kecanduan jud0l berakibat pada terancamnya ekonomi keluarga. Yang disalahin: PEREMPUAN. Yg begini kalian sebut kualitas seorang menteri? Otakmu bersihkan dulu!," komentar seorang warganet.
"Kan tugas bapak berantas platform judi onlen malah komen bgt," tulis warganet yang lain.
"Memang kalo memilih bukan berdasarkan kompetensi, kecerdasannya ga perlu dipertanyakan," imbuh yang lain.
"Bro duduk sebagai mentri tapi tidak bisa mengidentifikasi sebuah masalah,” ujar warganet lainnya.
Briptu FN, Polisi Wanita (Polwan) yang diduga membakar suaminya Briptu Rian Dwi Wicaksono (RDW) disebut mengalami trauma yang mendalam atas kejadian tersebut. Dia bahkan disebut sempat meminta maaf pada sang suami saat masih hidup.
Advertisement
Trauma Polwan Bakar Suami
Trauma yang dialami oleh Briptu FN ini disampaikan oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kombes Pol Dirmanto. Ia menyatakan, saat ini Briptu FN yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tengah mengalami trauma mendalam.
"Yang bersangkutan saat ini Briptu FN yang selaku tersangka yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka masih trauma mendalam terkait dengan peristiwa itu," katanya, Minggu, 9 Juni 2024.
Dia menambahkan, saat peristiwa itu terjadi, tersangka lah yang disebutnya menolong korban dan membawanya ke rumah sakit dibantu oleh para tetangga. Sesampainya di rumah sakit itu lah, tersangka semat meminta maaf pada sang suami atas perilakunya ini.
"Jadi FN ini juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menolong yang bersangkutan membawa ke rumah sakit dibantu oleh beberapa tetangga. Sampai rumah sakit, FN juga minta maaf kepada sang suami atas perilaku ini," kata Dirmanto.
Meski berstatus sebagai tersangka, Briptu FN saat ini tengah mendapatkan trauma healing dari Polda Jatim akibat trauma yang dialaminya. Kejadian itu membuat Polri diminta untuk melakukan evaluasi terhadap mental para anggota.
Arogansi dan Penyalahgunaan Kewenangan
Hal itu disampaikan Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto yang meminta Polri untuk memperhatikan psikis setiap anggota, tidak hanya pada awal proses rekrutmen.
"Yang harus dievaluasi di kepolisian itu banyak, bukan hanya rekrutmen. Tetapi juga pembinaan mental anggota, maupun kontrol dan pengawasan yang efektif dan efisien,” kata Bambang, Senin, 10 Juni 2024. Sebab, Bambang menyoroti kewenangan yang besar diampu setiap anggota Polri bisa membuat mental dan psikis anggota jadi gagap.
Hal itu berujung timbulnya rasa arogansi dan penyalahgunaan kewenangan. "Kewenangan yang diberikan negara itu sangat besar, tanpa ada itu yang terjadi adalah gagap budaya, yang memunculkan arogansi dan penyalahgunaan kewenangan,” ucapnya.
"Polwannya arogan, polisi (korban) nya tidak menjalankan kewenangannya sebagai penegak hukum, malah menjadi pelanggar hukum yakni judol (judi online)," tambahnya.
Dari kasus ini, Bambang menyoroti bahwa setiap personel Polri masih memerlukan adanya pembinaan mental secara berkala. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga kesehatan baik mental dan psikis setiap anggota.
Advertisement