Jika Tes DNA Terbukti Ayah Biologis, Apakah Ridwan Kamil Wajib Nafkahi Anak Lisa Mariana? Perspektif Hukum Islam

Jika tes DNA terbukti Ridwan Kamil adalah ayah biologis anak Lisa Mariana, apakah RK wajib menafkahi? Simak penjelasan para ulama.

oleh Muhamad Husni Tamami Diperbarui 15 Apr 2025, 01:30 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2025, 01:30 WIB
Ridwan Kamil
Ridwan Kamil saat menghadiri acara Climate Talk, Bisnis Karbon, Solusi Atau Perangkap Bagi Indonesia di gedung KLY Jakarta, Rabu 26 Februari 2025. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil diisukan memiliki anak dari hasil hubungannya dengan Lisa Mariana. Lisa Mariana beberapa waktu mengklaim jika ia hamil anaknya Ridwan Kamil. Kabar ini menyita perhatian setidaknya dalam sepekan terakhir ini.

Tim kuasa hukum Ridwan Kamil, Muslim Butarbutar menegaskan bahwa kliennya siap menjalani tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) untuk membuktikan identitas anak dari Lisa Mariana. Namun, tes DNA itu harus berdasarkan perintah pengadilan.

"Tes DNA seyogyanya dilakukan sebagai implikasi dalam proses hukum yang berlaku. Tes DNA bukan sekadar tuntutan sepihak, melainkan harus berdasarkan perintah pengadilan dalam gugatan perdata atau dalam proses penyidikan permintaan penyidik," kata Muslim saat konferensi pers di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (4/3/2025).

Pihak Ridwan Kamil berkenan untuk melakukan tes DNA tanpa perintah pengadilan. Ia menegaskan bahwa kliennya siap melakukan tes DNA kapanpun jika dibutuhkan dengan mengajukan permohonan ke DVI Mabes Polri.

"Tes DNA hanya salah satu bukti ilmiah yang tentu wajib dihukum, bukti-bukti lain, saksi dan bukti lain-lainnya," terangnya.

Jika tes DNA terbukti Ridwan Kamil adalah ayah biologis anak Lisa Mariana, apakah RK wajib menafkahi? 

Jika merujuk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan anak luar kawin mempunyai hubungan hukum perdata dengan ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain. Artinya, sang ayah memiliki kewajiban menafkahi anak tersebut.

Lantas, bagaimana dengan hukum Islam? Siapa yang bertanggung jawab soal nafkah anak hasil zina? Simak penjelasannya mengutip beberapa pendapat ustadz dan sejumlah ulama mazhab.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Penjelasan UAS dan Ustadz Ali Nur Medan

Ustaz Abdul Somad atau karib disapa UAS (https://www.instagram.com/p/CV5K-BnvdgE/))
Ustaz Abdul Somad atau karib disapa UAS (https://www.instagram.com/p/CV5K-BnvdgE/))... Selengkapnya

UAS pernah mendapat pertanyaan serupa. UAH mengatakan bahwa dalam Islam laki-laki tidak memiliki kewajiban menafkahi anak hasil zina. 

“Maaf-maaf cakap. Ada laki-laki berzina dengan perempuan. Habis itu punya anak. Apakah anak itu anak dia? Tidak. Wajib dinafkahi? Tidak. Kalau dia meninggal, anak itu dapat  harta warisan? tidak. Sedih sekali anak hasil zina,” kata UAS dikutip dari YouTube @Kultum1375, Senin (14/4/2025).

Penjelasan UAS juga senada dengan Ustadz Ali Nur Medan. Ustadz Ali mengatakan bahwa menurut pandangan imam empat mazhab, nasab anak hasil zina tidak dinisbatkan kepada ayah biologisnya atau kepada laki-laki yang sudah menzinahi ibunya, sehingga ayah biologisnya tidak wajib menafkahinya.

“Tapi kaum musliminnya harus memberikan nafkah, harus memberi anaknya infak, karena dia termasuk dalam hukum salah satu anak yatim, gak ada bapaknya. Bapaknya sih ada, tapi bapak gak sah, gak dianggap bapaknya dalam Islam, karena bapak dalam Islam itu adalah ketika yang melakukan hubungan suami istri dalam keadaan yang sudah sah akad pernikahannya. Kalau nggak sah, maka tidak,” katanya dikutip dari YouTube Rasyaad TV.

“Artinya, tidak ada kewajiban si bapak yang menghamili si perempuan itu untuk memberi anak tersebut nafkah karena bukan anak dia. Secara syar'i, dia bukan anaknya,” jelasnya.

Penjelasan UAH

Ustadz Adi Hidayat (UAH). (YT Adi Hidayat Official)
Ustadz Adi Hidayat (UAH). (YT Adi Hidayat Official)... Selengkapnya

Ustadz Adi Hidayat atau UAH juga mengatakan bahwa anak yang lahir di luar proses pernikahan tidak dinisbatkan kepada ayahnya, tapi dinisbatkan kepada ibunya.

Anak hasil zina juga terputus hak perwalian dan waris dari ayahnya. Akan tetapi, menurut UAH, anak tersebut tetap boleh mendapatkan hak nafkah dari ayah biologisnya.

“Dia boleh mendapatkan hak dari nafkahnya untuk diberikan kepada ibunya, sah. Tapi, binnya gak ke ayah, tapi ke ibu. Dan bin itu dipahami bukan sekadar nisbat, bin itu anak laki-laki. Makanya Maryam tidak punya suami, dengan izin Allah mengandung dan melahirkan. Disebut Isa bin Maryam, Isya anak laki-lakinya Maryam. Kalau binti perempuan, Aisyah binti Muhammad,” jelas UAH dikutip dari YouTube Ceramah Pendek.

Penjelasan Ulama

Ilustrasi bulan purnama, masjid, Islami
Ilustrasi bulan purnama, masjid, Islami. (Photo by Yasir Gürbüz from Pexels)... Selengkapnya

Mengutip NU Online, mayoritas ulama berpendapat bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya tetapi dinasabkan kepada ibunya. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa anak tersebut dianggap tidak memiliki pertalian darah dengan ayah biologisnya, sehingga tanggung jawab sepenuhnya berada di pundak sang ibu, termasuk di dalamnya adalah memberi nafkah. 

Menurut Imam Malik, dan Imam Syafi'i yang masyhur di kalangan madzhabnya, anak tersebut boleh dinikahi ayah biologisnya karena dianggap tidak memiliki pertalian darah dengannya. Di samping itu ayah biologisnya tidak berkewajiban memberi nafkah dan warisan.

Namun menurut mayoritas fuqaha, meskipun dianggap tidak memiliki pertalian darah, sang ayah biologis tetap diharamkan untuk menikahinya. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.

 وَيَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ نِكَاحُ ابْنَتِهِ مِنَ الزِّنَا وَاُخْتِهِ وَبِنْتِ ابْنِهِ وَبِنْتِ بِنْتِهِ وَبِنْتِ أَخِيهِ وَاُخْتِهِ مِنَ الزِّنَا فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ وَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ فِي الْمَشْهُورِ مِنْ مَذْهَبِهِ يَجُوزُ لَهُ لِاَنَّهَا اَجْنَبِيَّةٌ مِنْهُ وَلَا تُنْسَبُ إِلَيْهِ شَرْعًا وَلَا يَجْرِى التَّوَارُثُ بَيْنَهُمَا وَلَا تَعْتِقُ عَلَيْهِ إِذَا مَلَكَهَا وَلَا يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهَا فَلَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْاَجَانِبِ    

Artinya, “Menurut mayoritas fuqaha, haram bagi lelaki menikahi anak perempuannyanya yang dihasilkan dari perzinahan, saudara perempuannya, anak perempuan dari anak laki-lakinya, anak perempuan dari anak perempuannya, anak perempuan saudara laki-lakinya, dan saudara perempuanya. Sedang menurut Imam Malik dan Imam Syafii dalam pendapat yang masyhur di kalangan madzhabnya, boleh bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuanya karena ia adalah ajnabiyyah (tidak memiliki hubungan darah), tidak dinasabkan kepadanya secara syar’i, tidak berlaku di antara keduanya hukum kewarisan, dan ia tidak bebas dari laki-laki yang menjadi ayah biologisnya ketika sang yang memilikinya sebagai budak, dan tidak ada keharus bagi sang ayah untuk member nafkah kepadanya. Karenanya, ia tidak haram bagi ayah biologisnya (untuk menikahinya) sebagaimana perempuan-perempuan lain”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 7, h. 485). 

Namun, menurut sebagian ulama dari kalangan madzhab Maliki seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian perempuan hamil dan melahirkan seorang anak perempuan, maka si lelaki tersebut tidak boleh menikahi anak perempuan tersebut. Ketidakbolehan menikahinya adalah karena di antara keduanya dianggap ada pertalian darah (nasab). Dasar yang digunakan adalah hadits berikut ini.

   عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَجُلٌ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ يُصَلِّي فَجَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَهَا فَقَالَ أُجِيبُهَا أَوْ أُصَلِّي ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ وُجُوهَ الْمُومِسَاتِ وَكَانَ جُرَيْجٌ فِي صَوْمَعَتِهِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ لَأَفْتِنَنَّ جُرَيْجًا فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَكَلَّمَتْهُ فَأَبَى فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا فَقَالَتْ هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ فَأَتَوْهُ وَكَسَرُوا صَوْمَعَتَهُ فَأَنْزَلُوهُ وَسَبُّوهُ فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الْغُلَامَ فَقَالَ مَنْ أَبُوكَ يَا غُلَامُ قَالَ الرَّاعِي قَالُوا نَبْنِي صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ طِينٍ رواه البخاري 

Artinya, “Dari Abi Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, dahulu di Bani Israil terdapat seorang laki-laki yang bernama Juraij. Ketika ia sedang menjalankan shalat, sang ibu datang dan memanggilnya. Ia pun dalam hati berkata, apakah saya menjawab panggilan ibu atau tetap meneruskan shalat. Kemudian sang ibu mendatanginya dan berdoa, ‘Ya Allah jangan engkau matikan dia sampai Engkau memperlihatkan wajah-wajah wanita pelacur kepadanya. 

Pada suatu hari Juraij sedang berada di biaranya, lantas ada seorang perempuan berkata (dalam hatinya), ‘sungguh aku akan membuat fitnah kepada Juraij’, ia pun menawarkan dirinya kepada Juraij kemudian mengajak bicara. Akan tetapi Juraij tidak menggubrisnya. Lantas si perempuan tersebut pun mendatangi seorang penggembala dan menyerahkan dirinya kepadanya (untuk mezinahinya). 

Setelah beberapa waktu perempuan itu pun mengandung kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Perempuan itu pun kemudian mengatakan bahwa anak laki-laki yang telah dilahirkan adalah anak Juraij. Ketika orang-orang mendengarkan hal tersebut, mereka beramai-ramai mendatangi Juraij, menghancurkan biaranya, kemudian menyeret dan mencaci-makinya. Maka Juraij pun berwudlu dan melakukan shalat, setelah itu mendatangi bayi laki-laki tersebut dan berkata, ‘siapa sebenarnya ayahmu wahai anak bayi laki-laki?’. Si bayi lantas menjawab, ‘(ayahku) adalah si penggembala’. 

Akhirnya mereka pun berkata kepada Juraij, ‘kami akan membangun kembali biaramu dari emas’. Juraij pun berkata, ‘tidak usah, tetapi  bangunlah kembali biaraku dari tanah.’’ (H.R. Bukhari) 

Penjelasan Ulama Lebih Lanjut

Ilustrasi masjid, Islami
Ilustrasi masjid, Islami. (Photo created by kjpargeter on www.freepik.com)... Selengkapnya

Pertanyaan Juraij kepada si bayi laki-laki, “siapa sebenarnya ayahmu wahai anak bayi laki-laki?” dijadikan dalil oleh mereka untuk mendukung pendapatnya. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani wajhud dilalah-nya adalah bahwa Juraij menasabkan anak hasil zina kepada si pezina dan Allah membenarkan penasaban tersebut dengan sesuatu yang keluar dari kebiasaannya dalam ucapan si bayi laki-laki yang memberikan kesaksiannya bahwa sebenarnya Juraij itu bukan ayahnya. 

Lebih lanjut menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, jawaban si anak bahwa ‘ayahku adalah fulan si pengembala’, menunjukkan bahwa penasaban tersebut adalah sahih. Karenanya, di antara keduanya, yaitu si anak dan si pengembala berlaku hukum anak-bapak kecuali dalam hal pewarisan dan wala` yaitu pewarisan yang diperoleh dari budak yang pernah dimerdekakan ketika bekas budak tersebut meninggal dan tidak memiliki ahli waris yang akan mewarisi harta peninggalannya. Pengecualian terhadap pewarisan dan wala` ini didasarkan kepada dalil lain. Karenanya, selain kedua hal tersebut hukumnya tetap berlaku.

  وَاسْتَدَلَّ بَعْضُ الْمَالِكِيَّة بِقَوْلِ جُرَيْجٍ مَنْ أَبُوك يَا غُلَامُ بِأَنَّ مَنْ زَنَى بِامْرَأَةِ فَوَلَدَتْ بِنْتًا لَا يَحِلّ لَهُ التَّزَوُّج بِتِلْكَ الْبِنْت خِلَافًا لِلشَّافِعِيَّةِ وَلِابْنِ الْمَاجِشُونِ مِنْ الْمَالِكِيَّة . وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ أَنَّ جُرَيْجًا نَسَبَ اِبْنَ الزِّنَا لِلزَّانِي وَصَدَّقَ اللَّه نِسْبَتَهُ بِمَا خَرَقَ لَهُ مِنْ الْعَادَة فِي نُطْق الْمَوْلُود بِشَهَادَتِهِ لَهُ بِذَلِكَ ، وَقَوْلُهُ أَبِي فُلَانٌ الرَّاعِي ، فَكَانَتْ تِلْكَ النِّسْبَة صَحِيحَةً فَيَلْزَمُ أَنْ يَجْرِي بَيْنهمَا أَحْكَامُ الْأُبُوَّةِ وَالْبُنُوَّةِ ، خَرَجَ التَّوَارُث وَالْوَلَاء بِدَلِيلٍ فَبَقِيَ مَا عَدَا ذَلِكَ عَلَى حُكْمِهِ 

Artinya, “Sebagian ulama dari kalangan madzhab malik berdalili dengan perkataan Juraij, ‘siapa sebenarnya ayahmu wahai anak bayi laki-laki?’ bahwa laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian si perempuan tersebut melahirkan seorang anak perempuan maka tidak halal bagi si laki-laki tersebut untuk menikahinya, berbeda dengan pandangan madzhab syafi’i dan Ibn al-Majisyun ulama dari kalangan madzhab maliki. Dan wajhud dilalah-nya adalah bahwa Juraij menasabkan anak zina kepada si pezina dan Allah swt membenarkan penasaban tersebut dengan sesuatu yang keluar dari kebiasaannya dan tampak dalam perkataan si anak yang memberikan kesaksiannya kepada Juraij atas hal tersebut. Dan pernyataan, ‘ayahku adalah fulan si pengembali’ maka menunjukkan bahwa penasaban tersebut adalah sahih. Karenanya, berlaku di antara keduanya (si anak dan si pengembala) hukum bapak-anak kecuali dalam hal pewarisan dan wala` karena ada dalil lain. Maka selain keduanya (pewarisan dan wala`) status hukumnya masih tetap”. (Ibnu  Hajar al-Asqalani, Fathul-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Bairut-Dar al-Ma’rifah, 1379 H, juz, 6, h. 483) 

Konsekuensi dari pandangan ini bahwa nafkah termasuk di dalamnya biaya pendidikan si anak menjadi tanggung jawab ayah biologisnya, kecuali terkait soal pewarisan dan wala`. Dan penjelasan ini jika ditarik dalam konteks pertanyaan di atas maka jawabnya adalah ada pandangan ulama yang menyatakan bahwa nafkah anak zina atau anak luar nikah dibebankan kepada ayah biologisnya. 

Wallahu a’lam. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya