Di Balik Dapur Lini Kebaya Premium Lokal yang Tidak Sekadar Berharga Mahal

Bagaimana kenaikan popularitas kebaya memengaruhi pengembangan produk kebaya premium?

oleh Asnida Riani diperbarui 20 Jul 2024, 10:37 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2024, 10:00 WIB
Manikan dan Menggah Agung
Koleksi kebaya dari Manikan dan Menggah Agung. (dok. Instagram @wearemanikan/https://www.instagram.com/p/CyNUQLsvrbB/)

Liputan6.com, Jakarta - Titel "warisan" tidak membuat kebaya semata diarsipkan, namun digerakkan ke arah arus utama dengan segala pengembangannya. Popularitas busana perempuan Indonesia ini membuat sederet lini fesyen lokal, termasuk dalam kubu premium, jadi lebih visibel, termasuk secara daring.

Pemilik Manikan dan Menggah Agung Bagus Galih Hastosa mengatakan, pihaknya menyambut baik kenaikan popularitas kebaya beberapa tahun belakangan. "Kami senang kebaya jadi populer, apalagi di kalangan muda. Namun, kami juga paham masih banyak orang yang merasa berpenampilan formal saat berkebaya," ungkapnya melalui pesan teks pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 19 Juli 2024.

Maka itu, Bagus menambahkan, Manikan mengambil peran mengedukasi pengunaan kebaya kasual untuk sehari-hari. "Bagaimana kebaya dipadu dengan jeans atau sekadar berkain menggunakan atasan kasual," ujarnya. "Di sisi lain, Menggah Agung hadir sebagai pengingat bagaimana kebaya klasik nan elegan bisa dipakai di acara-acara kasual."

Sementara itu, pemilik Santi Galeri Santi Zaidan bercerita bahwa popularitas kebaya telah sangat berpengaruh pada pengembangan produk mereka. "Kebetulan, ada beberapa influencer dan selebritas yang pakai produk kami dan mengunggahnya di Instagram. Itu bukan sesuatu yang saya rencanakan, karena kami tidak pernah endorse berbayar. Ini membuat produk kami kian diminati," ungkapnya melalui pesan suara, Jumat.

Sambil menjaga pakem-pakem tertentu, rumah jahit berbasis di Yogyakarta ini melakukan modifikasi pada produk kebaya premium mereka. "Kebanyakan modifikasi di lengan, kami buat jadi pendek, jadi puff. Selain, kami tambahkan aksen tertentu, seperti bordir maupun sulam."

Mengapa Harganya Lebih Mahal?

Santi Galeri
Produk kebaya modifikasi dari Santi Galeri. (dok. Instagram @santigaleri.katalog/https://www.instagram.com/p/C4LEnGhR8IF/)

Pendekatan serupa dilakukan Manikan dan Menggah Agung. Bagus berkata, "Kami menaruh twist untuk mengembangkan potongan (kebaya dalam pakem), karena kami percaya, fesyen bukan untuk disakralkan, tapi dikembangkan."

Soal harga jual lebih mahal, Santi menjelaskan, itu karena tingginya biaya produksi. "Semua tidak dikerjakan dengan sistem konveksi, tapi dijahit satu per satu, mulai dari pemotongan pola sampai proses jahit. Ini termasuk detail bordir atau sulam di kebaya yang semuanya dikerjakan dengan tangan dalam waktu yang lama."

Ia menyebut, "Sistem ini tidak memungkinkan (produk kebaya) dibuat dalam jumlah banyak karena semua dikerjakan dengan tangan. Belum lagi kalau ada satu produk yang disulam di Bukittinggi, kemudian dibordir di Tasikmalaya, itu lebih lama lagi (proses pengerjaannya)."

Di sisi lain, Bagus mengaku bahwa awalnya, brand asal Bali ini tidak berniat memasarkan kebaya dengan harga premium. "Namun karena kami berusaha menghormati pelanggan kami dengan menggunakan bahan yang baik, serta membayar penjahit kami dengan upah yang layak, harga (produksinya) cukup tinggi," ia menjelaskan.

Mengamini narasi itu, fashion guru, sekaligus desainer kenamaan Musa Widyatmodjo mengatakan bahwa mahalnya harga kebaya tentu akibat dari kualitas bahan dan teknik pengerjaan yang memakan waktu maupun keahlian tertentu. "Diferensiasi segmen produk akan selalu ada," ia berkata melalui pesan, Jumat.

"Karena itu bicara selera dan kemampuan ekonomi yang berbeda. Selain, menunjukkan bahwa kebaya bisa berevolusi menyesuaikan kesempatan dan acara," imbuhnya.

Perayaan Hari Kebaya Nasional

Manikan dan Menggah Agung
Produk kebaya dari Manikan dan Menggah Agung yang bisa menunjang penampilan kasual. (dok. Instagram @wearemanikan/https://www.instagram.com/p/C9l56-bPiAA/)

Santi bercerita bahwa idealismenya membuat harga produksi kebaya tidak bisa dikurangi. "Kualitas harus tetap terjaga," ia menegaskan. "Atas dasar-dasar itu, tidak memungkinkan harganya rendah. Selain, saya sadar untuk membuat produk yang tidak menghasilkan limbah kain secara berlebihan. Makanya tidak buat ready stock yang terlalu banyak," bebernya.

Menurut Bagus, sudah terlalu banyak jenama dan pemain tekstil yang selalu "perang harga murah." Maka itu, mereka ingin dihargai karena kualitas dan desain mumpuni.

Terkait peringatan perdana Hari Kebaya Nasional (HKN) yang akan jatuh pada 24 Juli 2024, Bagus berkata, perayaan itu tidak akan berpengaruh besar jika tidak ada pergerakan dari masayarakat untuk menggunakan kebaya. Sementara menurut Musa, HKN adalah langkah konkret untuk melestarikan eksistensi kebaya.

Menambahkan itu, Santi memaknainya sebagai respons positif terhadap kehadiran kebaya. "(Karena kebaya) dianggap sebagai aset yang dihargai, dirayakan, dan dicintai. Tapi semoga bukan hanya selebrasi, tapi jadi perilaku yang menyadari bahwa kebaya adalah bagian dari identitas bangsa," ungkapnya.

 

Kebaya Bukan Sekadar Tren Fesyen

Santi Galeri
Rania Yamin memakai kebaya lengan pendek dari Santi Galeri. (dok. Instagram @santigaleri.katalog/https://www.instagram.com/p/CwZNF-MSNsY/)

Kampanye pembiasaan berkebaya sehari-hari yang didorong peringatan Hari Kebaya Nasional sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan Santi Galeri. "Kami pakai bahan yang nyaman digunakan sehari-hari, meski kami tetap punya bahan-bahan yang lebih cocok dipakai ke acara formal. Modelnya juga memudahkan pemakainya bergerak," ungkap dia.

Senada dengan itu, Bagus mengatakan, Manikan dan Menggah Agung telah melakukan edukasi serupa di media sosial. Ia berbagi, "Kami kerap membuat konten cara menggunakan kain, bagaimana cara padu padan kebaya untuk pergi ke coffee shop atau tempat kerja."

"Bila lebih banyak konten media sosial tentang menggunakan kain atau kebaya ke konser maupun kafe, mungkin pelan-pelan masyarakat akan memiliki pandangan berbeda," lanjutnya. 

Sebagai penutup, Santi berharap kebaya tidak jadi tren fesyen sementara yang kemudian tenggelam dan dilupakan. "Semoga ini jadi momen kesadaran bagi kita semua untuk mengenal diri kita sebagai bangsa, karena kebaya adalah identitas, lebih dari sekadar tren fesyen," tandasnya.

Sedangkan Bagus berkata, "Banyak sekali masyarakat yang terlalu mensakralkan kebaya dan kain, sehingga merasa pakaian tersebut hanya pantas untuk acara formal, padahal kebaya dipakai para leluhur kita untuk ke pasar atau sekadar berkumpul dengan teman-teman di taman."

"Ada keinginan besar kami agar cuttingan kebaya bisa sebesar kimono, di mana siluet kimono sekarang sudah jadi sangat kasual, sehingga bisa dijual di toko-toko besar, digunakan secara kasual tanpa terasa aneh," tutupnya.

 

Infografis: Asal-usul Kata Kebaya
Asal kata kebaya dari berbagai pengaruh bangsa. (dok. Abdillah/Liputan6.com)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya