Liputan6.com, Jakarta - Timbunan sampah perkotaan diperkirakan akan meningkat dari 2,3 miliar ton pada 2023, menjadi 3,8 miliar ton pada 2050. Tanpa tindakan segera dalam pengelolaan sampah, pada 2050 biaya tahunan global ini bisa mencapai dua kali lipat hingga mencapai 640,3 miliar dolar AS.
Sementara itu, masih terdapat 38 persen sampah global yang tidak terkelola dengan baik yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) digadang bisa mengatasi masalah tumpukan sampah, sekaligus untuk mengeksekusi capaian target nol emisi gas rumah kaca pada 2050.
Namun untuk mencapai itu, ekosistem pengelolaan sampah di Indonesia harus matang. "Kalau ekosistemnya tidak terbangun maka akan mangkrak," ungkap Rosa Vivien Ratnawati Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (Dirjen PSLB), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ditemui usai pemaparan hasil studi pemetaan potensi off-taker RDF di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (1/10/2024).
Advertisement
Ia pun menyebut teknologi RDF harus ada hulu dan hilirnya. Diperlukan konsistensi dan komitmen antara penyedia sampah yang akan dikelola dan juga off-taker atau perusahaan pengolahnya.
"Karena memang teknologi RDF ini sangat tergantung pada offtaker. Kalau kita sudah ngumpulin sampah kemudian kita buat jadi RDF ternyata off-taker-nya tidak bisa menerima atau off-taker-nya ada tapi jumlahnya tidak konsisten juga nggak bisa berjalan," papar Rosa.
Inilah yang membuat pemerintah dalam hal ini KLHK menggandeng swasta untuk membuat studi tentang visibilitas TPA dan off-taker. "Tujuan studi ini adalah untuk melihat satu ekosistem besar yang harus kita siapkan, daerah-daerah mana yang harus kita siapkan tindak lanjut atau pelaksanaan RDF ini," jelasnya lagi.
Langkah Lanjutan Studi
Direktur Penanganan Sampah dari KLHK, Novrizal Tahar menambahkan tentang langkah selanjut dalam temuan studi. Dengan luasnya wilayah Indonesia, masing-masing daerah harus mengidentifikasi kesiapannya untuk penerapan RDF.
"Melakukan visibilitas tadi untuk bisa dilaksanakan dan kendalanya harus bisa dianalisis dalam studi lanjutan," kata Novrizal, saat ditemui di kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa penggunaan teknologi RDF bertujuan mengatasi permasalahan sampah dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sedangkan pemetaan off-taker RDF adalah untuk mendukung penerapan prinsip energi recovery dalam pengelolaan sampah di Indonesia.
Capaian sampah terkelola di Indonesia belum mencapai 100 persen. Sementara, TPA Open Dumping masih menjadi sistem utama pengelolaan sampah di Indonesia. Teknologi RDF merupakan salah satu opsi teknologi waste to energy yang memiliki potensi besar untuk diterapkan di Indonesia.
Pemerintah berencana untuk memakai determinan sistem pengelolaan sampah di Indonesia ke depan adalah recycling dan energi recovery. Saat ini off-taker utama untuk produk RDF/SRF di Indonesia adalah Pabrik Semen dan PLTU. Terdapat potensi industri lainnya yang dapat menjadi off-taker dari RDF.
Advertisement
Potensi RDF di Indonesia
"Ada potensi yang sangat tinggi kalau kita mau menerapkan RDF," ungkap Adrian Rusdiansyah, Technical Advisor dari Tim Peneliti studi pemetaan potensi off-taker RDF pada kesempatan yang sama.
Namun ada banyak persyaratan untuk perusahaan agar bisa menerapkan standar, serta dibutuhkan pilot project yang realistis agar bisa diwujudkan. Pemetaan TPA yang ada di seluruh provinsi dianalisis kemudian dibuatkan kluster untuk mempermudah pengumpulan bagi off-taker.
Studi tersebut juga sudah memetakan industri lainnya yang berpotensi untuk diolah sampahnya, yakni di luar Industri Semendan PLTU, yang berpotensi menjadi off-taker di Indonesia. Hasil studi tersebut menjadi dasar untuk pengembangan fasilitas pengolahan sampah menjadi RDF di daerah.
Studi sendiri dilakukan berdasarkan data yang dihimpun pada 2023 dari KLHK. Cakupan studi meliputi 180 TPA di 16 provinsi di Indonesia, jumlah ini mengambil 15 persen sampel TPA di seluruh Indonesia yaitu Jawa, Sumatera, hingga Sulawesi dan Kalimantan. Hasilnya terdapat 75 off-taker di industri yang potensial.
Pengelolaan Sampah Terkait Krisis Planet Bumi
Pengelolaan Sampah terkait dengan triple planetary crisis yaitu climate change, kehilangan biodiversity, dan polusi. Dari sisi perubahan iklim, Pengumpulan, pengolahandan pembuangan sampah menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya serta polutan udara, termasuk metana (CH4) yang dilepaskan dari landfill dan karbon hitam (black carbon) yang dihasilkan dari pembakaran sampah terbuka (open burning).
Dari sisi kehilangan biodiversity, pencemaran jangka panjang terhadap ekosistem daratan dan perairan oleh sampah telah diketahui sebagai salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati dan membahayakan integritas seluruh ekosistem. Kemudian terkait dengan polusi, sampah yang dibuang ke darat dapat menyebabkanpencemaran air dalam jangka panjang olehpatogen, logam berat, dan senyawa berbahayalainnya.
Faktanya sekitar 400 ribu dan 1 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan pengelolaan sampah yang salah seperti diare, malaria, penyakit jantung dan kanker. Indonesia memiliki target nol emisi pada 2050.
Pengelolaan TPA dengan metode lahan urug saniter atau terkendali dengan dilengkapi fasilitas penangkapan dan pemanfaatan gas metan. Tidak ada pembangunan TPA Baru sejak Tahun 2030 dengan memanfaatkan landfill eksisting dengan optimal dan memulai landfill mining.
Sampah yang diangkut ke landfill berkurang dengan target menuju zero di 2040 hanya menerima residu. Indonesia juga menargetkan Zero Open Burning di tahun 2031.
Advertisement