Liputan6.com, Jakarta - Sampah dapur nyatanya tidak hanya bisa diolah menjadi kompos atau pakan maggot. Oleh Humbang Kriya, sebuah UMKM binaan Sinar Mas, sampah tersebut diolah menjadi bahan pewarna ramah lingkungan untuk produk-produk kerajinan.
Dumasi Marisina M. Samosir, Direktur PT Asuransi Sinar Mas dan pembina Rumah Kreatif Sinar Mas, menjelaskan sampah dapur yang dimaksud berasal dari hotel. Kulit kunyit, daun pandan, jahe dan sebagainya dimanfaatkan sebagai pewarna alami untuk Humbang Sibori.Â
Advertisement
"Setiap pagi, kami mengumpulkan bahan-bahan sisa dari sarapan tamu hotel, seperti semangka, pepaya, dan nanas. Bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam wadah untuk direbus. setelah itu, kain-kain yang akan diwarnai diikat terlebih dahulu sebelum direndam dalam larutan pewarna. Prosesnya cukup panjang tapi kami tetap buat agar tidak sia-sia," kata Dumasi kepada Lifestyle Liputan6.com saat diwawancarai di Jakarta pada Sabtu, 16 November 2024.
Advertisement
Pewarna alami kemudian dimanfaatkan para perajin di Rumah Kreatif di Dolok Sanggul. Hal itu menunjang proyek yang berljalan sejak 2016 untuk memberdayakan masyarakat Danau Toba melalui kerajinan tangan ramah lingkungan. Kemitraan dibuat hitam di atas putih dengan menandatangani nota kesepahaman (MOU) antara Kementerian Pariwisata dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendukung lima destinasi super prioritas, termasuk Danau Toba.
"Humbang kriya menciptakan produk ramah lingkungan seperti songket, ecoprint, batik, dan lainnya, untuk produk unggulannya kami terdapator Humbang Sibori, menggunakan teknik pewarnaan dan motif khas yang membedakannya dari produk serupa di daerah lain," tambahnya.
Â
Baik untuk Badan dan Lingkungan
Dumasi mengaku nyaman menggunakan Humbang Sibori, terutama karena menggunakan pewarna alami. Menurutnya, dengan menggunakan warna alam dapat membuatnya lebih sehat.
"Pewarna alami, seperti yang digunakan dalam produk Humbang Kriya termasuk Humbang Sibori, memang lebih ramah bagi tubuh. Kain yang bisa diwarnai dengan pewarna alam, seperti sutra sifon atau katun, menyerap lebih baik. Namun, bahan-bahan sintetis seperti nylon tidak bisa menyerap pewarna alami dengan baik," ia menerangkan.
"Bahkan untuk mencuci kain ini, kami menyarankan menggunakan sampo bayi. Walaupun bisa dicuci dengan dry clean, namun itu menggunakan bahan kimia, sementara kami ingin agar Humbang Sibori ini tetap alami dan terjaga bagi pemakainya," lanjutnya.Â
Ia menyarankan agar bahan tidak dicuci dengan keras, tetapi hati-hati, untuk merawat kain lebih lama. Hal itu terutama karena proses pewarnaan kain tersebut cukup lama dan penuh perjuangan untuk membentuknya.Â
"Humbang Kriya menghasilkan produk yang beda dengan yang lainnya, banyak orang yang mengapresiasi kualitas kain kami, karena selain ramah lingkungan, bahan-bahannya juga unik," kata Dumasi.
Â
Advertisement
Berkolaborasi dengan Merdi Sihombing
Untuk memaksimalkan karya Humbang Kriya, pihaknya berkolaborasi dengan Merdi Sihombing menggelar fashion show di Museum Nasional Indonesia pada Sabtu, 16 November 2024. Para model mengenakan fesyen ramah lingkungan yang  dipadukan dengan aksesori tas berbahan purun dan pernak-pernik unik dari Merdi.Â
Suasana fashion show meriah denganmodel yang berjalan penuh ekspresi, memancarkan energi dan kepercayaan diri. Musik tradisional daerah Toba mengiringi setiap langkah mereka, membawa suasana yang kental dengan nuansa budaya lokal.Â
Langkah-langkah para model seakan menghidupkan kisah dan kehidupan yang tergambar dalam karya Humbang Kriya. Mereka menampilkan harmoni antara desain fesyen menyatu dengan keindahan alam Danau Toba yang penuh makna.Â
Dumasi menyampaikan mulai berkolaborasi dengan Merdi Sihombing pada 2016 untuk mengembangkan Humbang Sibori, salah satu produk unggulan Humbang Kriya. Produk tersebut awalnya menggunakan bahan alami, seperti rumput, tanaman tak terpakai, dan kayu. Inovasi terus diciptakan untuk semakin mendukung konsep keberlanjutan (sustainability) yang diusung.
Memberdayakan Para Perempuan Perajin
Menurut Dumasi, para perajin yang bergabung di Humbang Kriya menjadikan pekerjaan itu sebagai sampingan. Meski begitu, ia tak ingin menawar-nawar soal kualitas.Â
"Kami terus melatih seperti pengrajin lansia mulai kembali memproduksi kerajinan setelah berhenti selama 40 tahun. Sebelumnya, kerajinan tangan mereka terhenti karena masuknya produk murah seperti tikar plastik dari China dan tanduk plastik. Keadaan ekonomi yang sulit, dengan upah sangat rendah, membuat mereka berhenti memproduksi kerajinan," kata Dumasi.
"Dengan kesempatan kerja di Humbang Kriya, mereka sekarang membuat kerajinan ini dan mendapatkan penghasilan. Ini menjadi berkah bagi mereka, terutama bagi nenek-nenek yang sudah tidak bisa lagi ke ladang," lanjutnya.
Dumasi juga menceritakan salah satu pekerja yang dulu bekerja keras namun mempeorleh upah yang cukup hanya untuk makan. Humbang Kriya pun mengajaknya untuk menjadi perajin. "Dulu Yeni bekerja dari jam 5 pagi sampai jam 2 subuh, hanya untuk makan. Namun, setelah dia terlibat dalam pelatihan kami, kehidupannya mulai berubah. Rumah papanya yang dulunya hanya terbuat dari kayu, sekarang sudah dibangun dari beton," kata Dumasi.
"Sekarang dia sudah bisa menghidupi dirinya dan keluarganya dengan kerajinan ini. Ini adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi," lanjut Dumasi.
Advertisement