Kalah di Pengadilan, Warga Adat Semende Tetap Bertahan di Hutan

Mereka tetap meyakini tanah itu milik warisan leluhur dan akan diperjuangkan hingga akhir.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 08 Mei 2014, 08:36 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2014, 08:36 WIB
Kawasan penebangan hutan di Jambi, Sumatera. Indonesia dan Australia membentuk Kemitraan Karbon Hutan Sumatera guna mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan.(Antara)

Liputan6.com, Bengkulu - Sebanyak 387 kepala keluarga atau 1.200 warga adat Semende Dusun Lamo, Banding Agung, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, tetap memilih bertahan di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Padahal pada Kamis 24 April lalu, 4 warga setempat telah dijatuhi vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Klas II Bintuhan kurungan penjara 3 tahun dan denda Rp 1,5 miliar dengan tuduhan melakukan aktivitas di kawasan hutan tanpa seizin Menteri Kehutanan.

Ratusan kepala keluarga itu tetap meyakini bahwa lahan milik mereka merupakan warisan leluhur dan akan tetap dipertahankan.

"Tak ada satu pun warga yang mundur, mereka tetap meyakini tanah itu milik warisan mereka dan akan diperjuangkan hingga akhir," ujar Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Defri Tri Hamdi di Bengkulu, Rabu (7/5/2014).

Pascaputusan tersebut, AMAN Bengkulu telah mendaftarkan pengajuan bandingnya ke Pengadilan Tinggi Bengkulu. AMAN berkeyakinan putusan yang dinilai mencederai keberadaan masyarakat adat tersebut akan bisa dimenangkan. Apalagi putusan tersebut disinyalir ada kesalahan prosedural.

"Dasar hukum yang menyebutkan bahwa itu kawasan TNBBS tidak ada. Di persidangan tidak bisa ditunjukkan kala diminta hakim," ujar Defri.

Dalam putusan pengadilan disebutkan, dasar hukum TNBBS hanya merujuk pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.784/Menhut.II/2012 tanggal 27 Desember 2012 yang merevisi Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 420/KPTS-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Tingkat I Bengkulu seluas 930.964 hektare.

Status yang disematkan ke TNBBS pun adalah suaka alam. Dengan kata lain kewenangan untuk pengawasan dan penindakannya adalah tanggung jawab dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

"Ini menunjukkan ada karut-marut penegakan hukum. Resort TNBBS tak memiliki kewenangan untuk menindak warga adat di sana. Kalaupun ingin dipermasalahkan, harusnya BKSDA yang bergerak, bukan TNBBS. Karena bukan wewenangnya," ujar Defftri.

Ia mencontohkan kasus serupa pada tahun 2010. Kala itu terjadi sengketa antara PT Famia Terdionegara dan BKSDA Bengkulu. Yakni soal perizinan tambang pasir besi di kawasan cagar alam Pasar Seluma di Desa Penago Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma.

Dalam persidangan, PT Famia Terdionegara berhasil mengalahkan BKSDA karena status cagar alam yang hendak dijadikan lokasi tambang, baru sebatas penunjukan belum definitif. Karena itu, pengadilan menganggap PT Famia Terdionegara berhak mendapatkan izin tambang di kawasan yang sedang dalam proses penetapan cagar alam.

"Kasus ini hampir serupa, TNBBS belum definitif baru sebatas penunjukan. Sementara warga adat sudah sejak lama menetap dan berkebun. Lantas, apakah dengan status ini, pihak TNBBS bisa menangkap dan memenjarakan warga adat? Kami pikir di sinilah letak karut-marutnya," ucap Defri.

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV Bintuhan Balai Besar TNBBS Jonfa Alhudri didampingi Pelaksana Tugas Kepala Bidang Teknis Konservasi Muniful Hamid, menyebutkan, keputusan vonis atas warga di Desa Banding Agung tersebut memang sudah sepatutnya diberikan.

Menurut dia, sesuai hasil putusan sidang, keempat warga yang telah dijatuhi vonis, yakni Hamidi, Heri, H Rahmat, dan Suraji. Tak bisa dibuktikan sebagai warga adat. Karena itu mereka disangkakan melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

"Kami bukan menangkap orang kubu atau orang yang memang asli tinggal di dalam kawasan hutan. Mereka ini pendatang dan berkebun di dalam kawasan hutan. Terbukti mereka tak bisa menunjukkan kalau memang mereka adalah warga adat," ujarnya.

Terkait status TNBBS, ia mengatakan, dalam SK Kemenhut RI, memang tidak menyebutkan secara tertulis TNBBS. Hanya dirumuskan dalam kawasan konservasi milik negara atau suaka alam yang di dalamnya juga terdiri atas taman nasional. "Jadi secara hukum, status TNBBS sudah definitif. Penyebutan TNBBS itu kan cuma nomenklatur saja. Secara hukum diakui," urai Jonfa. (Mut)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya