Refleksi SBY Dalam Pidato Kenegaraan Terakhirnya

Presiden SBY menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan parlemen untuk yang terakhir kalinya.

oleh Sugeng Triono diperbarui 15 Agu 2014, 11:30 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2014, 11:30 WIB
pidato-1-130816b.jpg
Dalam pidatonya, SBY menegaskan tentang kedaulatan NKRI dan harapan Pemilu 2014 bisa berlangsung lancar dan damai (Liputan6.com/ Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden SBY menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan parlemen untuk yang terakhir kalinya. Pada kesempatan itu, Presiden SBY pun menyampaikan refleksi pribadi kepada rakyat Indonesia.

Pertama, ungkap SBY, jangan pernah lupa bahwa yang paling penting kita bangun adalah sistem. Yakni sistem demokrasi, sistem politik, dan sistem ekonomi.

Demokrasi tidak boleh bergantung pada figur seseorang, namun harus bergantung pada lembaga, pada peraturan, pada hukum dan norma. Sejarah mengajarkan kita, selama sistem itu kuat, maka negara akan kuat, rakyat juga kuat.  

"Tetapi, jika sistem itu lemah dan keropos, demokrasi kita akan kembali labil dan mengalami kemunduran," kata SBY di Gedung MPR-DPR, Jakarta, Jumat (15/8/2014).

Kedua, lanjut dia, harus menjaga ke-Indonesia-an. Perjuangan di abad ke-21 tidak lagi menjaga kemerdekaan, namun menjaga ke-Indonesia-an. Tidak ada gunanya menjadi semakin makmur dan modern, namun kehilangan yang amat fundamendal dan terbaik dari bangsa kita, yakni Pancasila, ke-Bhinnekaan, semangat persatuan, toleransi, kesantunan, pluralisme, dan kemanusiaan.  

"Jika para pendiri bangsa dulu mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan, bagi generasi kita kini ke-Indonesia-anlah yang harus kita pertahankan mati-matian. Karena itu pulalah, Pemerintah dengan tegas menolak penyebaran paham sesat ISIS di tanah air karena sangat bertentangan dan bahkan berbahaya bagi jati diri kita," ungkap SBY.

"Para pemimpin di seluruh tanah air, saya minta untuk tegas mengambil sikap mengenai tantangan ini. Ini adalah ujian bagi kebangsaan kita, ke-Indonesia-an kita.  Indonesia adalah negara berketuhanan, bukan negara agama."

Ketiga, sambung SBY, semua rakyat mempunyai tanggung jawab untuk mencegah agar jangan sampai demokrasi kita menjadi elitis. Reformasi dimulai sebagai gerakan akar rumput, sebagai ekspresi aspirasi rakyat, yang kemudian dijelmakan dalam sistem politik yang sekarang kita anut. Alangkah malangnya kalau demokrasi tersebut akhirnya kehilangan jiwa kerakyatannya, dan kemudian panggung politik hanya didominasi oleh segelintir elit yang berjiwa transaksional, apalagi bila dicampur dengan nasionalisme yang sempit.

"Kalau itu terjadi, maka malapetaka akan kembali menimpa Negara yang kita cintai ini. Kita harus terus menjaga agar gravitasi demokrasi Indonesia terus berkisar pada rakyat," imbuh SBY.

Keempat, SBY mengajak untuk jaga momentum bangsa yang positif dan prospektif ini, yang dengan susah payah telah diperoleh. Setelah 69 tahun merdeka, Indonesia telah tampil menjadi demokrasi yang besar, ekonomi yang kuat, dan pemain internasional yang disegani, serta dengan masa depan yang menjanjikan. Dunia melihat Indonesia bukan saja sebagai kawan, namun sering pula sebagai rujukan yang positif.  

"Terlepas dari segala permasalahan dalam negeri yang masih kita hadapi, kita bisa membuktikan kepada dunia bahwa di bumi Indonesia, demokrasi, Islam dan modernitas dapat tumbuh bersama; kita bisa menunjuk-kan bahwa konflik dapat diselesaikan secara damai dan demokratis; kita bisa bangkit dari berbagai krisis yang beruntun menerpa kita; dan kita bisa memperlihatkan bahwa bangsa yang majemuk seperti kita juga dapat menjadi bangsa yang rukun," beber SBY.

"Ini bukan capaian pribadi saya, bukan pula capaian Pemerintah semata. Ini adalah prestasi sejarah bangsa Indonesia. Kita semua wajib menjaga momentum bangsa yang baik ini, dan bahkan meningkatkannya. Jangan lupa, dunia penuh dengan contoh bangsa yang sedang naik daun kemudian tersandung dan jatuh seketika.  Jangan sampai hal itu terjadi pada bangsa kita," tukas SBY.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya