MA: Perbuatan LHI Menjadi Ironi Demokrasi

Menurut MA, kasus LHI merupakan korupsi politik dan kejahatan serius, karena dilakukan terdakwa dalam posisi memegang kekuasaan politik.

oleh Oscar Ferri diperbarui 16 Sep 2014, 12:42 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2014, 12:42 WIB
tuntutan-lhi-2-131128a.jpg
Luthfi Hasan Ishaaq (Liputan6.com/ Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Agung menolak permohonan kasasi Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), terdakwa kasus dugaan suap pengurusan penambahan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Bahkan, majelis menambah hukuman pada pengadilan sebelumnya yang hanya 16 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara. Selain itu, MA juga mencabut hak LHI untuk dipilih dalam jabatan publik.

Dalam pertimbangan hukumnya, 3 hakim agung yang mengadili kasus ini, yaitu Artidjo Alkostar (Ketua Majelis), M. Askin (Hakim Anggota), dan MS. Lumme (Hakim Anggota) menegaskan alasan memperberat hukuman LHI karena putusan pada pengadilan tingkat pertama dan banding kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan.

"Judex Facti kurang dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd), karena kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan sebagaimana disyaratkan dalam pasal 197 ayat (1)f KUHAP. Perbutan terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi untuk mendapatkan imbalan/fee dari pengusaha daging sapi," bunyi pertimbangan dalam petikan putusan Perkara Kasasi No.1195 K/Pid.Sus/2014 yang diterima Liputan6.com, Selasa (16/9/2014).

Alasan lainnya, perbuatan terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan transaksional dinilai majelis telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya masyarakat pemilih yang telah memilih terdakwa menjadi anggota DPR RI.

"Perbuatan terdakwa menjadi ironi demokrasi, karena tidak melindungi dan tidak memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional," bunyi pertimbangan lainnya dalam putusan itu.

Majelis juga menilai, hubungan transaksional antara terdakwa dengan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik dan kejahatan yang serius, karena dilakukan terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik.

"Terdakwa telah menerima janji pemberian uang Rp40.000.000.000,- yang sebagian daripadanya yaitu sebesar Rp.1.300.000.000 telah diterima melalui saksi Ahmad Fatanah. Saksi Maria Elizabeth Liman tidak akan memberikan uang tersebut tanpa keterlibatan terdakwa untuk membantunya," bunyi pertimbangan lainnya.

Dan pada bagian akhir, majelis dalam putusannya menyatakan mengabulkan kasasi penuntut umum dan menolak kasasi terdakwa karena hanya merupakan pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.

"Memperbaiki putusan PN/PT Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 18 (delapan belas) tahun Denda Rp 1 milyar kalau tidak dibayar dijatuhi pidana kurungan selama 6 bulan. Mencabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik," bunyi putusan itu.

Ditegaskan pula, putusan ini diambil majelis hakim kasasi dengan suara bulat tanpa dissenting opinion.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam putusannya menguatkan hukuman 16 tahun penjara kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu sebagaimana vonis di tingkat pertama Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta.

Putusan banding itu diketuk palu pada 16 April 2014 oleh Majelis Hakim Tinggi yang diketuai Marihot Lumban Batu. Dalam putusan itu Majelis Hakim Tinggi menilai pertimbangan hukum yang diambil majelis hakim pada tingkat pertama sudah tepat, benar, dan sesuai. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya