Liputan6.com, Yogyakarta - Ketika publik dihebohkan dengan dugaan adanya jenderal polisi yang memiliki rekening gendut dengan nilai yang tidak wajar, seorang polisi berpangkat brigadir polisi dua (bripda) di Sleman, Yogyakarta tetap hidup dalam kesederhanaan. Jangankan punya rekening, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, dia harus memutar otak.
Polisi muda bersahaja itu bernama Muhammad Taufik Hidayat. Menamatkan pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Selopamioro akhir 2014 lalu, Taufik menegaskan bergabung dengan korps kepolisian adalah cita-citanya sejak lama.
"Cita-cita saya memang jadi anggota Polri. Insya Allah bisa memberi kebanggaan pada keluarga," ucap Taufik saat ditemui di rumahnya di Desa Jongke Tengah, Sendangadi, Mlati, Sleman, Kamis (15/1/2015).
Polisi yang sehari-hari bertugas di Direktorat Sabhara Polda DIY ini mengaku dengan menjadi polisi dirinya berharap bisa membantu ekonomi keluarga yang selama ini sangat pas-pasan. "Saya tak mau terpuruk oleh keadaan dan harus bisa bangkit," tegas anggota polisi kelahiran 20 Maret 1995 ini.
Rumah Bekas Kandang Sapi
Wajar kalau Taufik ingin mengubah hidup. Dilihat dari kondisinya saat ini, kehidupan Taufik bersama ayah dan 3 adiknya bisa dibilang memprihatinkan. Bayangkan, rumah kontrakan yang ditempati Taufik adalah bangunan semi permanen yang dulunya digunakan sebagai kandang sapi oleh kelompok peternak di kampungnya. Dengan sewa Rp 170 ribu per tahun, bisa dibayangkan kondisi kediaman Taufik.
Bahkan, tak jauh dari rumahnya terlihat beberapa kandang sapi lain milik warga. Aroma khas kandang sapi pun menjadi pewangi seisi rumah. Batako yang melapisi rumah itu tidak mampu menutup seluruh bangunan rumah. Bahkan, banyak rongga di dinding yang tak bisa ditutupi.
Tak terlihat pula daun pintu, selain kain seadanya yang digantung untuk menutupi jalan masuk ke dalam rumah. Selain itu, jika hujan turun, dipastikan air akan gampang masuk karena atap rumah yang sudah banyak bocor.
Di dalam rumah kondisinya tak kurang memprihatinkan. Selain ruangan yang sempit, hanya satu kasur yang tersedia untuk ditiduri penghuni rumah. Seragam dinas Taufik pun hanya digantungkan di seutas kabel yang melintang di tengah rumah.
Kini, bangunan berukuran 3x4 meter itu menjadi istana bagi Taufik bersama ayahnya Priyanto dan ketiga adiknya Muhammad Agus Prasetyo (kelas 2 SD), Muhammad Hafis Hidayat (kelas 3 SD) dan Latifah Nur Hidayah (kelas 1 SMK).
"Rumah sudah nggak muat buat ditiduri. Saya sering sedih, soalnya kalau saya tidur di dalam rumah, Bapak terpaksa tidur di luar rumah," jelas Taufik.
Bangga Jadi Anggota Polri
Namun, semua itu tak membuat semangatnya menjalankan tugas sebagai anggota Polri menjadi tergerus. Sebaliknya, setiap pagi dengan langkah tegap dia menyusuri jalan menuju tempat tugasnya.
"Ya, kadang jalan kaki, kadang berlari ke Polda (DI Yogyakarta) sekitar 5-7 kilometer. Pernah juga saya dihukum karena terlambat," ucap Taufik yang mengaku tak punya kendaraan sendiri menuju tempatnya bertugas.
Kendati demikian, semua kondisi itu diterimanya dengan lapang dada lantaran kebanggaan menjadi anggota polisi telah mengalahkan semua kekurangan yang ada.
"Waktu baru jadi polisi saya sempat nggak percaya. Bahkan, setelah dilantik juga belum percaya, sampai-sampai saya minta Bapak untuk menampar saya biar yakin kalau ini bukan mimpi," cerita Taufik.
Semangatnya makin bertambah karena dia tahu sang ayah dan adik-adiknya sangat mendukung serta memiliki kebanggaan yang sama atas profesi yang kini dia jalani. Hingga kini, Taufik masih ingat dengan ucapan ayahnya yang seorang buruh bangunan itu.
"Waktu dilantik (jadi polisi) saya dipeluk Ayah. Kata Ayah saya, kalau seorang anak jadi lebih baik dari orangtuanya, itu akan membuat bangga orangtua manapun," ujar Taufik dengan mata berkaca-kaca. (Ado/Ein)
Advertisement