Liputan6.com, Jakarta - Hari beranjak malam, ketika Presiden Jokowi tampil di depan podium di Istananya. Sementara di belakang pria kurus berbaju putih itu berdiri sosok-sosok yang menyimak secara seksama kata per kata yang keluar dari bibirnya.
Kali ini, Jokowi melakukan langkah yang sama yang pernah diambil mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat 2009 lalu. Turun tangan membentuk tim independen untuk menengahi ketegangan antara 2 lembaga hukum, Polri dan KPK.
Keputusan ini diambil setelah 2 lembaga penegak hukum itu ‘menawan’ masing-masing pimpinannya. KPK menjerat calon Kapolri tunggal Komjen Pol Budi Gunawan. Dan Polri membidik Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.
Advertisement
“Kita sepakat, institusi KPK dan Polri harus menjaga kewibawaan sebagai institusi sebagai penegak hukum. Jangan ada kriminalisasi,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Minggu malam (25/1/2015).
“Dan proses hukum yang terjadi pada proses hukum KPK dan Polri harus dibuat transparan dan terang benderang,” imbuh dia.
Tak perlu waktu lama bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu untuk menyelesaikan kalimat-kalimatnya. Sesudah 3 menit, dia mundur dari podiumnya. Dan memberikan tempat bagi sosok-sosok yang sebelumnya berdiri di belakangnya.
Meskipun belum dibentuk secara resmi, merekalah para anggota Tim Independen yang diberikan mandat oleh Jokowi untuk memastikan KPK dan Polri menegakkan hukum dengan objektif. Masing-masing kubu, Polri maupun KPK terwakili di dalamnya.
Anggotanya, yakni mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Harjapamekas, mantan Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Lalu mantan Wakapolri Komjen Pol Oegroseno, guru besar hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwono, tokoh Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, serta pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar.
“Kami diminta memberikan masukan terkait dengan perkara antara KPK dan Polri. Kami diundang secara pribadi,” ucap Jimly Asshiddiqie.
Desakan untuk membuat tim serupa yang pernah dibuat SBY ini sebelumnya mengemuka dari berbagai kalangan. Dengan kehadiran tim ini diharapkan dapat memperlihatkan mana pihak yang memang bertindak sesuai hukum yang berlaku.
Namun pembentukan Tim Independen ini sempat dipertanyakan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Komisioner Kompolnas Adrianus Meliala menilai, akan lebih baik jika masing-masing pihak, yakni KPK dan Polri menyelesaikan tugas masing-masing. Seperti imbauan Jokowi beberapa waktu lalu.
"Kenapa harus membuat Tim Independen segala? Kenapa sekarang berubah lagi?" tanya Adrianus.
Namun, dia mengatakan, hal ini merupakan kewenangan Jokowi sebagai Presiden. Dia pun berharap, mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan memilih pihak-pihak yang netral untuk mengisi Tim Independen.
KPK dan Polri kembali bergesekan setelah calon tunggal Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh Abraham Samad cs. Menyusul kemudian, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri meski penahanannya ditangguhkan.
Tim Bentukan SBY
6 Tahun lalu, November 2009, setelah didesak banyak pihak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya turun tangan. Pria yang karib disapa SBY itu akhirnya membentuk tim pencari fakta demi mengungkap kasus tuduhan menyalahgunakan kewenangan yang membelit 2 pimpinan KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
Saat itu, istilah kriminalisasi pimpinan KPK banyak disebut dan menjadi kian populer. Banyak tokoh masyarakat mengecam aksi Polri dan mendesak Presiden SBY saat itu turun tangan.
Karena terus didesak masyarakat, akhirnya SBY membentuk suatu tim pencari fakta dari kasus ini.
Tim ini dibentuk pada 2 November 2009 dan dinamai Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Chandra-Bibit. Dengan beranggotakan 8 orang, yaitu Adnan Buyung Nasution (ketua), Koesparmono Irsan (wakil ketua), Denny Indrayana (sekretaris), Todung Mulya Lubis, Amir Syamsuddin, Hikmahanto Juwana, Anies Baswedan, dan Komaruddin Hidayat.
Tim ini juga sering disebut Tim 8 dan diberi waktu 2 pekan untuk memverifikasi fakta dan proses hukum kasus ini. Sehari sesudah pembentukan Tim 8, pada 3 November 2009, MK membuka rekaman penyadapan yang berisi pembicaraan mengenai rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK.
Dalam rekaman berdurasi 4,5 jam itu memang terlihat ada suatu skenario dari beberapa pihak untuk menghancurkan KPK. Sesudah rekaman itu diputar, maka Polri beberapa saat kemudian mengeluarkan penangguhan penahanan terhadap Bibit dan Chandra. (Ndy/Ans)