Liputan6.com, Serang - Meski berada dekat ibukota negara, namun angka kemiskinan di Kabupaten Serang, Banten, masih tinggi. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya rumah yang tidak layak huni di daerah tersebut.
Setidaknya tercatat 12.500 rumah tidak layak huni (RTLH) berada di wilayah Bupati Achmad Taufik Nuriman tersebut. Salah satu rumah itu merupakan milik Ambari, 51 tahun, dan Rohmayati, 49 tahun. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan atap dari daun kelapa itu terletak di Kampung Pasirlame RT 13/RW 05, Desa Pasir Buyut, Kecamatan Jawilana, Serang.
Di rumah ini, Ambari dan Rohmayati hidup bersama 5 anak mereka. Tapi pada Sabtu, 14 Februari kemarin, rumah bilik bambu itu ambruk setelah diterpa hujan deras dan angin kencang.
"Saya mau wudhu, lihat di dapur ambruk, langsung saya lari ke kamar ngambil anak yang masih tidur dan lari ke luar rumah," kata Rohmayati saat ditemui di kediamannya yang kini sudah tak bisa dihuni, Senin (16/2/2015).
Angin dan hujan merobohkan dapur dan sebagian depan rumah. "Pas saya ke luar rumah berlari, malah rubuh lagi. Saya hanya pasrah dengan kejadian ini, mungkin sudah nasib keluarga saya," terang dia.
Rohmayati tinggal di gubuk bambu karena sang suami, Ambari, tak punya banyak penghasilan untuk memperbaiki rumah. Sehari-hari Ambari hanya mendapat penghasilan antara Rp 15.000 - Rp 30.000 dari pekerjaan sebagai buruh bongkar muat pasir di Desa Cemplang, Serang.
Rohmayati memang tidak sendirian. Di Kabupaten Serang, tercatat 71.707 kepala keluarga (KK) dari 350 ribu KK masuk dalam kategori rumah tangga sangat miskin (RTSM). Data di akhir 2014, jumlah itu tersebar di 29 kecamatan.
"Itu data akhir 2014 kemarin. Sebenarnya yang termasuk kategori miskin itu terdapat 14 indikator. Namun tidak bisa saya sebutkan, tetapi untuk saat ini, itu disamakan namanya kategori RTM (rumah tangga miskin), bukan rumah tangga sangat miskin (RTSM) lagi," kata Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Serang Dadang Hermawan.
Kondisi Rumah Bukan Ukuran Menilai Kemiskinan
Menurut Dadang, kondisi rumah tidak dijadikan tolak ukur untuk menilai seorang warga miskin atau tidak. "Yang disebut rumah tangga miskin itu kebutuhan dasarnya Rp 218.000 per kapita per bulannya. Jadi, jika lebih dari nominal itu, sebenarnya bukan masuk dalam kategori rumah tangga miskin," tegas dia.
Dengan tolak ukur ini, tak heran jika banyak warga miskin di Serang tidak masuk dalam data. Sejauh ini, Dinsos Banten mengatakan baru memberikan bantuan sosial pembangunan rumah RTLH melalui program keluarga harapan (PKH) untuk 904 rumah. Untuk tahun ini, Dinsos Banten hanya memberikan bantuan kepada 850 RTLH.
"Program bantuan ini pun diprioritaskan untuk para pemegang Jaminan Sosial dan Jamsosratu," kata Kadinsos Banten, Nandi S Mulya.
Masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya, telah diungkapkan sebelumnya oleh Presiden Jokowi saat menutup Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VI di Yogyakarta, Rabu 11 Februari 2015.
Presiden Jokowi menegaskan, seringkali data yang dimuat kantor pemerintah dan fakta di lapangan sangat berbeda. Misalnya data dan klasifikasi warga miskin, dari mulai rentan miskin hingga diduga miskin.
Jokowi menyampaikan ketidaksepakatannya dengan pengklasifikasian warga miskin. Sebab, hal itu sering mengaburkan data. Padahal data yang akurat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga. Karena itu, ujar Jokowi, aksi blusukan perlu dilakukan untuk memeriksa kembali apakah fakta di lapangan sesuai dengan data di kantor pemerintah.
"Data statistik sampai 11% tapi kelihatannya kok berbeda ya. Data saat saya jadi Gubernur (Jakarta), ada 3,8% kemiskinan di Jakarta. Saya nggak percaya. Diberi data lagi. Saya baca yang miskin 3% yang rentan miskin 7%. Jangan bikin kata-kata yang sumir. Masa ada istilah diduga miskin dan lain-lain? Sudah miskin saja," tegas Presiden Jokowi. (Sun)