'Sarpin Effect', Angin Segar Tersangka Korupsi atau...

Satu per satu tersangka korupsi mengekor keberhasilan Komjen Pol Budi Gunawan yang gugatan praperadilannya dikabulkan hakim Sarpin Rizaldi.

oleh RochmanuddinNadya IsnaeniSugeng TrionoHanz Jimenez SalimOscar FerriMaria Flora diperbarui 25 Feb 2015, 01:21 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2015, 01:21 WIB
'Sarpin Effect', Angin Segar Tersangka Korupsi atau...
Satu per satu tersangka korupsi mengekor keberhasilan Komjen Pol Budi Gunawan yang gugatan praperadilannya dikabulkan hakim Sarpin Rizaldi.

Liputan6.com, Jakarta - Dengan langkah pasti Mukti Ali menuju Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah. Siang itu dengan didampingi pengacara Joko Susilo, ia memasuki ruang kepaniteraan untuk mendaftarkan gugatan praperadilan ke pengadilan setempat.

Sebelumnya ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penyidik Kepolisian Resor Banyumas dalam kasus bantuan sosial (bansos) penyelamatan sapi betina sebesar Rp 440 juta dari Kementerian Pertanian. Sebagai pedagang sapi, ia mengaku heran dikenakan pasal penyalahgunaan wewenang.

"Yang mana pasal itu menurut Mas Joko (pengacara), karena saya orang buta hukum, ditujukan untuk petinggi pelaksana, pejabat negara. Harusnya bukan pasal itu kalau seandainya ada penyelewengan dana, mungkin penggelapanlah. Tapi saya kan tidak menggunakan dana sepersen pun," ucap Mukti Ali, Senin 23 Februari 2015.

Terinspirasi BG

Keberhasilan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan atau BG yang memenangkan gugatan praperadilan, walau dari sisi regulasi tidak mengatur kewenangan penetapan tersangka, agaknya menginspirasi pedagang sapi ini.

(Tersangka kasus bansos Mukti Ali. Liputan6 TV)

"Setelah kami pelajari, mengingat perkembangan hukum yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seperti kasus Budi Gunawan dengan putusan (hakim Sarpin Rizaldi) yang fenomenal, maka kami mencoba menganulir bahwa penetapan tersangka ini cacat hukum dan tidak sah karena dilihat dari data-data yang ada penetapan tersangka ini tidak disertai pembuktian awal yang cukup," ujar kuasa hukum Mukti Ali, Joko Susilo.

Hakim Sarpin Rizaldi dan keputusannya memang sedang menjadi sorotan. Ketokan palunya saat sidang Senin 16 Februari 2015 seolah membuka 'gerbang pengampunan dosa' atau 'angin segar' bagi mereka yang berstatus tersangka. Boleh jadi, mereka mengekor keberhasilan Komjen Pol Budi Gunawan.

Semua berawal saat Sarpin duduk sebagai hakim tunggal pada sidang praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam keputusannya, Sarpin menyatakan, penetapan status tersangka Budi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah.

Seperti efek domino, tak lama setelah keputusan itu, sejumlah orang mengajukan praperadilan atas status tersangkanya. Hari yang sama dengan sang pedagang sapi, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali juga mengajukan praperadilan.

(Suryadharma Ali. Foto: Liputan6.com/Faisal R Syam)

Pria yang karib disapa SDA itu meminta praperadilan atas kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2010-2013 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin 23 Februari 2015. Menurut politisi senior PPP ini langkah tersebut demi mencari keadilan semata.

"Saya mencari keadilan, betapa sakitnya ditetapkan sebagai tersangka," ucap mantan Ketua Umum PPP tersebut.

Dan dengan alasan praperadilan ini pula, SDA tak memenuhi jadwal pemeriksaannya oleh KPK pada Selasa 24 Februari 2015. Dia meminta KPK menghormati keputusannya.

Bukan hanya Mukti Ali dan SDA yang terinspirasi keberhasilan Komjen Budi Gunawan. Beberapa hari sebelumnya, mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron yang menjadi tersangka kasus suap gas alam di Bangkalan, Madura, berancang-ancang menempuh langkah serupa.

(Fuad Amin Imron. Foto: Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Kuasa hukum Fuad, Firman Wijaya mengatakan, mereka tengah menyiapkan strategi untuk mengajukan praperadilan. Mereka bakal mengajukan gugatan atas penetapan tersangka yang menimpa kliennya.

"Itu memang sedang kami upayakan. Hasil praperadilan BG kemarin menjadi konsekuensi logis bagi kami untuk memanfaatkan setiap ruang jalur hukum yang bisa ditempuh," ucap Firman kepada wartawan di Jakarta, Rabu 18 Februari 2015.

KPK pun tak mau kalah set. Beberapa hari kemudian, KPK menyatakan telah menyita harta milik tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Ketua DPRD Bangkalan tersebut hingga lebih dari Rp 250 miliar, plus aset lain berupa properti, tanah, dan mobil.

"Dalam penyidikan TPPU atas nama FAI (Fuad Amin Imron), penyidik sejak Januari 2015 hingga hari ini telah melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset FAI yang berada di Jakarta, Bangkalan, Surabaya dan Bali, berupa uang kurang lebih Rp 250 miliar," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Minggu 22 Februari 2015.

Selain terlibat dalam TPPU, Fuad juga menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan suap dalam jual beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur.

Satu per satu tersangka korupsi memanfaatkan angin segar dari 'Sarpin effect'. Karena itu lembaga pengawas hakim, Komisi Yudisial (KY) berencana menelaah kembali keputusan Sarpin itu. Namun hal tersebut dinilai tak cukup, Mahkamah Agung (MA) juga diminta ikut turun tangan.

>>Upaya Hentikan 'Sarpin Effect'>>

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Upaya Hentikan 'Sarpin Effect'

Upaya Hentikan 'Sarpin Effect'

"Ini keran sudah dibuka, jadi harus tergantung MA. MA yang tahu (bagaimana menghentikannya)," ujar mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono di Jakarta, Selasa 24 Februari 2015.

"Saya sudah menduga kalau dikabulkan praperadilannya akan seperti itu," imbuh dia.

Hal itu, menurut Harjonoi, sudah terbukti. Bekas Menteri Agama Suryadharma Ali baru-baru ini mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2010-2013.

Karena itu, Harjono menyarankan agar MA dapat berpikir jernih jika nanti KPK mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas gugatan praperadilan Budi Gunawan. Sebab, jika nanti MA menolak, maka MA kemungkinan bakal dibanjiri gugatan praperadilan atas penetapan tersangka.

"Kalau ditolak (PK KPK), MA tahu risikonya akan banyak pengikut. Kalau PK ini ditolak mungkin Pak Hadi Purnomo (eks Ketua BPK yang jadi tersangka korupsi) juga pasti bisa ikuti langkah praperadilan itu?" ucap Harjono.

(Hakim Sarpin Rizaldi saat sidang praperadilan. Foto: Liputan6.com/Johan Tallo)

Dianggap 'Kecelakaan Hukum'

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Zulkarnain menyatakan hingga kini lembaganya belum menentukan sikap selanjutnya atas penolakan kasasi yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan.

Menurut Zulkarnain, penolakan kasasi itu tidak dapat dipisahkan dengan hasil putusan praperadilan yang menyatakan lembaganya tidak sah dalam menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan penerimaan gratifikasi.

"Kami pelajari dulu opsi-opsi. Mungkin kita akan diskusikan yang terkait dengan juga dengan hak. yang menjadi perhatian sekarang itu kecelakaan hukum itu. Lembaga praperadilan juga dicederai, kita akan mempelajari lebih mendalam," ujar Zulkarnain di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 24 Februari 2015.

Zulkarnain menjelaskan, kecelakaan hukum atas praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut juga akan berdampak luas terhadap sistem hukum yang telah berlaku selama ini.

"Terkait dengan kecelakaan hukum itu, implikasinya sangat luas terhadap sistem hukum kita. Jadi dari sisi asasnya sudah agak-agak, praperadilan pidana itu tidak berdasarkan sistem hukum asas kita," ucap dia.

Hakim Sarpin Berpotensi Dipecat?

Bukan hanya KPK yang gusar soal putusan hakim Sarpin. Sejumlah pakar hukum dan lembaga swadaya masyarakat turut mempermasalahkan hingga melaporkan kepada Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial (KY).

Hakim Sarpin Rizal diduga melanggar aturan hukum dan etika hakim. Untuk itu, Panel Komisi Yudisial (KY) sedang memeriksa kasus dugaan pelanggaran etik hakim Sarpin, terkait putusan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan terhadap KPK. Sarpin pun berpotensi dipecat secara tidak hormat.

"Kalau terbukti melanggar etik besar, ya diberhentikan dengan tidak dengan hormat," ujar Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri di Gedung KY, Jakarta, Selasa 24 Februari 2015.

(Gedung Komisi Yudisial, Jakarta. Foto: setgab.go.id)

Pria yang akrab disapa Taufiq itu mengatakan, jika panel menemukan bukti-bukti awal dugaan pelanggaran etik hakim maka akan segera dibawa ke pleno. Nanti di pleno akan diputuskan kategori pelanggarannya.

Sanksi yang diberikan, kata Taufiq, tergantung jenis pelanggaran etik yang dilanggar, yakni ringan, sedang, atau berat. Jika memang dalam pleno nanti putusan praperadilan oleh Sarpin dikategorikan sebagai pelanggaran etik berat, KY akan merekomendasikan sanksi pemberhentian dengan membawanya ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

Pada Senin 16 Februari silam, hakim tunggal Sarpin Rizaldi memutuskan menerima sebagian permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan kepada KPK. Di antaranya, hakim Sarpin memutuskan penetapan tersangka Budi oleh KPK tidak sah.

Sarpin juga memutus KPK tidak bisa mengusut kasus yang menjerat Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol) itu. Sebab kasus itu tidak termasuk dalam kualifikasi seperti diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, di mana Budi dinyatakan oleh Sarpin bukan penyelenggara negara saat kasus itu terjadi.

Selain itu, hakim Sarpin Rizaldi juga menyatakan penetapan tersangka Budi masuk sebagai objek gugatan praperadilan. Padahal, dalam Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah jelas disebutkan objek gugatan praperadilan hanya menyangkut soal penahanan, penangkapan, dan ganti rugi, bukan penetapan tersangka.

>>Tabrak Norma KUHAP atau Terobosan Hukum?>>


Tabrak Norma KUHAP atau Terobosan Hukum?

Tabrak Norma KUHAP atau Terobosan Hukum?

Menurut Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri, hakim Sarpin memang melanggar norma KUHAP. Sebab, KUHAP menjadi pegangan hakim dalam menangani perkara pidana. Artinya, Sarpin telah mengubah norma yang tercantum dalam KUHAP, yakni Pasal 77 soal objek gugatan praperadilan.

"Sebetulnya sudah aturannya di KUHAP. Tapi KUHAP diubah sama Sarpin, sudah kayak MK (Mahkamah Konstitusi) ubah norma," ucap Taufiq.

(Hakim Sarpin Rizaldi. Foto: Liputan6.com/Johan Tallo)

Taufiq mengatakan, pada akhirnya norma yang diubah oleh Sarpin bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan masuk sebagai objek gugatan praperadilan dijadikan pegangan oleh pihak-pihak lain untuk mengajukan gugatan serupa. Di mana hal itu sudah dilakukan oleh mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, tersangka dugaan korupsi haji.

"Akhirnya orang-orang pakai norma itu. Itu yang kita katakan ini ada pelanggaran norma atau bisa dikatakan melewati kewenangan hakim praperadilan. Nanti kita akan lihat, apakah putusan itu merupakan terobosan hukum atau singgungan dengan kode etik. Kalaupun terobosan hukum, tapi ada kesalahan terhadap hukum acara," ujar Taufiq.

Ketua Tim 9 Ahmad Syafii Maarif turut angkat bicara soal 'Sarpin effect'. Ia menyayangkan keputusan hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan terhadap penetapan tersangka oleh KPK pada Senin 16 Februari silam.

Dengan dikabulkannya praperadilan itu, menurut tokoh Muhammadiyah yang akrab dengan sapaan Buya Syafii Maarif, banyak dari tersangka korupsi yang mengajukan gugatan praperadilan.

"Harus distop (praperadilan tersangka kasus korupsi). Kan praperadilan bukan untuk dipahami Sarpin, dia memahami sendiri, ini kan subjektif sekali," kata Syafii di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 24 Februari 2015.

Ia menambahkan, MA dan KY berperan dalam meninjau kembali keputusan yang telah dibuat oleh hakim Sarpin di sidang praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan. Tak hanya itu, ia juga meminta kepada MA dan KY agar menyeleksi secara ketat terhadap hakim lainnya, sehingga tidak muncul hakim seperti Sarpin.

Buya Syafii juga khawatir dengan adanya sejumlah tersangka korupsi mengikuti jejak Komjen Pol Budi Gunawan dengan mengajukan praperadilan. Sebab, praperadilan yang dimohonkan oleh tersangka korupsi merupakan suatu bentuk penolakan Indonesia terbebas dari korupsi.

"Penyebab kemiskinan itu salah satu penyebab utamanya korupsi ini. Sangat luar biasa. Sangat dilematis, menggurita, sistematik, masa dibiarkan begitu. Kecuali kita mau menggali kuburan masa depan bangsa ini," pungkas Buya Syafii Maarif. (Ans/Riz)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya