Liputan6.com, Jakarta - Pengawasan yang dilakukan DPR pada masa sidang II dinilai masih tumpul dan tak transparan. Dari 4.900 dugaan kasus yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hanya 17 kasus yang ditindaklanjuti DPR, padahal ada 64 kasus yang berpotensi pidana.
"Pengawasan DPR tumpul dan kurang transparan," tegas Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Djadiono di kantornya, Jakarta, Selasa (24/3/2015).
Dia mengatakan, hal itu dapat dilihat dari tidak banyak komisi di DPR yang menindaklanjuti temuan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK semester I 2014. Padahal, jumlah potensi kerugian negara dalam kasus itu cukup besar.
"Hanya 17 kasus yang ditindaklanjuti. Padahal ada 4.900 kasus senilai Rp 25,74 triliun yang berpotensi mengakibatkan kerugian negara, dan mengurangi penerimaan negara," beber dia.
Djadiono menambahkan, ada laporan kasus pelanggaran pengelolaan uang negara yang berpotensi pidana korupsi. Tapi, sikap DPR terbilang biasa-biasa saja.
"Ada 64 kasus pengaduan. Dan komisi III hanya meminta Kejaksaan Agung untuk mempercepat penanganan kasus, tanpa dicantumkan batas waktu penyelesaian. Rekomendasi ini menunjukan Komisi III setengah-setengah menangani masalah penegakan hukum," imbuh dia.
Rekomendasi setengah hati ini juga terjadi di beberapa permasalahan yang harusnya ditangani DPR. Misalnya saja dalam pemilihan Kapolri, permintaan terhadap Kementerian EDSM untuk menentukan harga elpiji per bulan, dan kenaikan harga elpiji 12 kg yang dinilai memberatkan masyarakat.
"DPR harus lebih tegas dalam bersikap, resposif masalah penegakan hukum, mengawasi lebih tajam dan transparan, dan lebih sensitif dengan lonjakan harga yang membebani masyarakat," tandas Djadiono.
Produktivitas Kurang
Masa sidang II DPR hanya menyelesaikan 7 RUU menjadi undang-undang. Undang-undang yang lahir pun masih berkutat di bidang politik.
"Capaian DPR di legislasi masih di bidang politik yang condong mewakili kepentingan parpol bukan kepentingan rakyat," ujar peneliti Formappi Lucius Karus.
Dari 7 RUU yang sudah dihasilkan anggota DPR menjadi undang-undang, 2 di antaranya merupakan warisan DPR periode sebelumnya. Sedangkan, 5 lainnya bersifat kumulatif terbuka.
"2 RUU ini membahas Pilkada dan Pemda yang sudah tinggal disahkan. Sedangkan 5 lagi bersifat kumulatif terbuka, seperti APBNP dan ratifikasi undang-undang yang hanya membutuhkan kesepakatan untuk pengesahan," jelas dia.
Lambatnya kinerja DPR dalam menetapkan prolegnas prioritas, sambung Lucius, juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Sebab, hal itu menurunkan produktifitas anggota dewan.
"Undang-undang pilkada itu pun disahkan pada masa sidang II dan faktor pendorongnya karena tekanan publik," imbuh dia.
Untuk meningkatkan kinerjanya, DPR harus membuka ruang publik untuk berpartisipasi. Agar hasilnya tidak melenceng dari harapan publik. (Mut)
Formappi: Pengawasan DPR Tumpul dan Tak Transparan
Dari 4.900 dugaan kasus yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hanya 17 kasus yang ditindaklanjuti DPR.
diperbarui 24 Mar 2015, 15:38 WIBDiterbitkan 24 Mar 2015, 15:38 WIB
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Relawan Prabowo Dukung Isran Noor, Kode IKN Lanjut?
Jadwal Sholat DKI Jakarta, Jawa dan Seluruh Indonesia Hari Ini Sabtu 23 November 2024
Melihat Desa Kecil di NTB yang Membangkitkan Harapan Hutan Bakau
Pertama di Asia, Hotel Berkonsep Storytelling Resmi Dibuka di Jakarta
Survei PUSKAPI, Banyak Warga Musi Banyuasin Belum Tahu Ada Pilkada Sumsel 2024
Waktu Terbaik Sholat Taubat, Lengkap dengan Bacaan Dzikir dan Doanya
Maruarar Sirait: Jokowi dan Prabowo Hanya Dukung Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta
Jelajah Keunikan dan Pesona Pulau Tikus Bengkulu
Galaksi Hantu NGC 4535 Contoh Sempurna Galaksi Spiral di Alam Semesta
Kemenag Gorontalo Lambat Cairkan Tukin P3K, Mahasiswa Ikut Protes
Cara agar Terkoneksi dengan Allah saat Sholat, Ini Kuncinya Kata UAH
Deretan WAGs Pemain Diaspora Timnas Indonesia, Mulai Atlet hingga Model Internasional