Formappi: Pengawasan DPR Tumpul dan Tak Transparan

Dari 4.900 dugaan kasus yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hanya 17 kasus yang ditindaklanjuti DPR.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 24 Mar 2015, 15:38 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2015, 15:38 WIB
Gedung DPR
Gedung DPR

Liputan6.com, Jakarta - Pengawasan yang dilakukan DPR pada masa sidang II dinilai masih tumpul dan tak transparan. Dari 4.900 dugaan kasus yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hanya 17 kasus yang ditindaklanjuti DPR, padahal ada 64 kasus yang berpotensi pidana.

"Pengawasan DPR tumpul dan kurang transparan," tegas Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Djadiono di kantornya, Jakarta, Selasa (24/3/2015).

Dia mengatakan, hal itu dapat dilihat dari tidak banyak komisi di DPR yang menindaklanjuti temuan BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK semester I 2014. Padahal, jumlah potensi kerugian negara dalam kasus itu cukup besar.

"Hanya 17 kasus yang ditindaklanjuti. Padahal ada 4.900 kasus senilai Rp 25,74 triliun yang berpotensi mengakibatkan kerugian negara, dan mengurangi penerimaan negara," beber dia.

Djadiono menambahkan, ada laporan kasus pelanggaran pengelolaan uang negara yang berpotensi pidana korupsi. Tapi, sikap DPR terbilang biasa-biasa saja.

"Ada 64 kasus pengaduan. Dan komisi III hanya meminta Kejaksaan Agung untuk mempercepat penanganan kasus, tanpa dicantumkan batas waktu penyelesaian. Rekomendasi ini menunjukan Komisi III setengah-setengah menangani masalah penegakan hukum," imbuh dia.

Rekomendasi setengah hati ini juga terjadi di beberapa permasalahan yang harusnya ditangani DPR. Misalnya saja dalam pemilihan Kapolri, permintaan terhadap Kementerian EDSM untuk menentukan harga elpiji per bulan, dan kenaikan harga elpiji 12 kg yang dinilai memberatkan masyarakat.

"DPR harus lebih tegas dalam bersikap, resposif masalah penegakan hukum, mengawasi lebih tajam dan transparan, dan lebih sensitif dengan lonjakan harga yang membebani masyarakat," tandas Djadiono.

Produktivitas Kurang

Masa sidang II DPR hanya menyelesaikan 7 RUU menjadi undang-undang. Undang-undang yang lahir pun masih berkutat di bidang politik.

"Capaian DPR di legislasi masih di bidang politik yang condong mewakili kepentingan parpol bukan kepentingan rakyat," ujar peneliti Formappi Lucius Karus.

Dari 7 RUU yang sudah dihasilkan anggota DPR menjadi undang-undang, 2 di antaranya merupakan warisan DPR periode sebelumnya. Sedangkan, 5 lainnya bersifat kumulatif terbuka.

"2 RUU ini membahas Pilkada dan Pemda yang sudah tinggal disahkan. Sedangkan 5 lagi bersifat kumulatif terbuka, seperti APBNP dan ratifikasi undang-undang yang hanya membutuhkan kesepakatan untuk pengesahan," jelas dia.

Lambatnya kinerja DPR dalam menetapkan prolegnas prioritas, sambung Lucius, juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi. Sebab, hal itu menurunkan produktifitas anggota dewan.

"Undang-undang pilkada itu pun disahkan pada masa sidang II dan faktor pendorongnya karena tekanan publik," imbuh dia.

Untuk meningkatkan kinerjanya, DPR harus membuka ruang publik untuk berpartisipasi. Agar hasilnya tidak melenceng dari harapan publik. (Mut)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya