Liputan6.com, Jakarta - Konsisten, kukuh, dan keras. Demikian imej yang melekat pada sosok Lee Kuan Yew. Namun, hari itu, saat ditonton jutaan orang lewat layar kaca, ia menangis.
Air mata Lee bercucuran dalam konferensi pers Senin siang, 9 Agustus 1965. Saat mengumumkan perpisahan. Federasi Malaysia ‘menendang’ Singapura.
"Bagi saya, ini adalah momentum sedih, sebab, selama hidupku...," kata Lee kala itu. Ia tak mampu meneruskan kata-katanya, tenggorokannya tercekat. Ia terdiam cukup lama, matanya berkaca-kaca.
Advertisement
Lalu, Lee melanjutkan, "Saya meyakini, penggabungan dan persatuan kedua wilayah. Anda tahu, rakyat, saling terhubung oleh geografi, ekonomi, dan hubungan kekerabatan...Apakah Anda keberatan jika kita berhenti sebentar?" Kalimat terakhir ia sampaikan pada para wartawan yang meliputnya. Lalu hening.
Video: Lee Kuan Yew menangis
Meski sempat emosional, Lee akhirnya menenangkan rakyatnya. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan berjalan seperti biasa. Kita harus tangguh, tetap tenang. Kita akan memiliki bangsa yang multi-ras di Singapura. Bukan hanya milik orang Melayu, Tiongkok, atau India. Setiap warga akan mendapatkan hak yang sama: kesetaraan, bahasa, budaya, agama."
Tak terkira beban yang ditanggung Lee kala itu. Ia memimpin negara baru, dengan secuil wilayah -- kota pelabuhan kecil yang berlumpur dan rentan malaria. Penduduknya pun hanya ‘segelintir’, lagi miskin sumber daya alam. Air saja harus impor dari negara tetangga!
Lee tak menunggu datangnya keajaiban atau keberuntungan. Ia memulai dengan kerja keras.
Ia dan pemerintahannya menjalin hubungan dengan negara-negara maju dan mengundang investor asing.
Suami Kwa Geok Choo itu juga fokus untuk memperbaiki taraf hidup warga Singapura. Sungai-sungai hitam berbau busuk ia ubah jadi aliran air bening. Negeri Singa yang tadinya terbelakang, kini ada dalam daftar negara maju. Tak hanya di Asia, juga di dunia.
Lee pun sadar benar tentang latar belakang negaranya yang mutietnis. Intoleransi niscaya bisa menghancurkan persatuan. "Jangan pernah melakukan kesalahan...siapapun yang memerintah Singapura harus punya besi dalam dirinya -- atau menyerah saja! Ini bukan permainan kartu. Tapi soal hidup Anda dan saya."
Selanjutnya: Langit pun ‘Menangis’...
Langit pun ‘Menangis’
Langit pun ‘Menangis’
Air mata juga bercucuran di hari itu, Minggu, 29 Maret 2015 siang. Bukan Lee Kuan Yew yang menangis, tapi rakyat yang melepas kepergiannya. Ia mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Singapura pada Senin 23 Maret 2015.
Sejak pagi, hujan deras mengguyur Kota Singapura. Petir menggelegar. Namun, orang-orang berdiri tenang di sepanjang jalan. Ada yang membawa payung, lainnya rela basah di tengah guyuran air yang tumpah dari langit. Demi Lee.
Sekitar pukul 12.30 waktu setempat, jenazah Lee Kuan Yew dibawa dari Gedung Parlemen, tempatnya disemayamkan, menuju ke Universal Cultural Centre, Singapura.
Peti mati yang diletakkan di atas kereta artileri dilepas dengan kali dentuman meriam, melewati Tanjong Pagar -- kawasan dermaga yang merupakan daerah pemilihan yang diwakili Lee Kuan Yew sepanjang karir politiknya.
Jet-jet militer terbang rendah dan dua kapal Angkatan Laut Singapura berlayar melintasi Marina Bay, proyek konservasi air raksasa yang dipelopori Lee Kuan Yew.
“Lee Kuan Yew…Lee Kuan Yew….,” warga berkali-kali meneriakkan namanya. Lee bukan sekedar ‘bekas’ pemimpin, ia adalah ‘Bapak Bangsa’ Singapura. “Langit pun menangis melepas kepergiannya," kata Osman Sapawi, seorang warga.
Dalam pidato penghormatan atau eulogi, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong – yang juga putra Lee Kuan Yew mengatakan, kepergian mendiang adalah kehilangan besar bagi bangsanya.
"Minggu ini merupakan minggu yang gelap bagi Singapura. Cahaya yang telah membimbing kami selama ini telah tiada," ujar Lee Hsien Loong di Universal Cultural Centre, Singapura, seperti dimuat Channel News Asia.
"Kita semua telah kehilangan seorang Bapak. Kita semua berduka. Lee Kuan Yew telah membuat negara kecil ini menjadi punya nama besar di dunia internasional," imbuh dia.
Lee Hsien Loong juga mengatakan, meski dirundung duka, kepergian Lee Kuan Yew diharapkan menjadi momen bagi seluruh warga Singapura untuk lebih bersatu, lebih dekat, dan membuat Negeri Singa menjadi lebih kuat. Dia optimistis Singapura akan lebih maju dengan meneruskan prinsip yang selama ini ditanamkan Lee Kuan Yew.
Tak perlu tugu peringatan untuk mengenang Lee Kuan Yew. Bahkan tak ada makam megah, karena jasadnya dikremasi. Singapura yang maju dan besar adalah monumen yang mewakili karya hidupnya.
"Jejak hidup beliau akan terus menginspirasi Singapura dan generasi selanjutnya pada masa mendatang," imbuh Hsien Loong.
Meski sudah lama mundur dari kursi orang nomor satu Singapura – Lee melepas jabatan perdana menteri sejak November 1990 – banyak tamu negara yang melayat.
Presiden Indonesia Joko Widodo, Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah, PM Kamboja Hun Sen, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ada dalam daftar tamu. Selain itu, hadir pula PM Australia Tony Abbott, PM India Narendra Modi dan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.
"Dia adalah negarawan sejati dan pemimpin luar biasa," ujar Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam ucapan dukanya.
Di mata PM Inggris David Cameron, Lee merupakan sosok pemimpin berjiwa besar yang berhasil membawa Singapura maju begitu pesat. "Bahkan Margaret Thatcher (mantan PM Inggris) menilai, Lee merupakan satu-satunya pemimpin yang ia kagumi, karena keyakinan, keteguhan hati, visi, misi, dan pidatonya yang berkesan," ujar Cameron.
Selanjutnya: Bebas Korupsi Minim Demokrasi?...
Advertisement
Bebas Korupsi Minim Demokrasi?
Bebas Korupsi Minim Demokrasi?
Ada banyak prestasi yang ditorehkan Lee Kuan Yew untuk Singapura. Dia merupakan tokoh yang berjasa membawa Singapura menjadi seperti saat ini.
Menurut Lee Hsien Loong, putra Lee Kuan Yew yang juga PM Singapura saat ini, ayahnya mencurahkan segenap jiwa dan raganya untuk Singapura. Ada banyak yang dikorbankan Lee untuk mengubah Temasek, yang berada di pojok sempit Semenanjung Malaya jadi negara yang diperhitungkan dunia.
Dalam wawancara dengan New York Times pada 2007 lalu, Lee Kuan Yew menekankan, sejak awal Singapura membutuhkan model sistem ekonomi baru. Sistem yang tidak meniru negara lain yang sumber daya alamnya begitu berlimpah. Lee pun menyusun strategi demi menciptakan tenaga kerja yang tangguh, memiliki kemampuan dan fasih berbicara bahasa Inggris lewat beasiswa kepada para pelajar, di samping ramah terhadap investor asing sehingga bersedia menanamkan modal di Singapura.
Saat dilanda masalah serius yaitu tingginya pengangguran, kurangnya pemukiman, dan korupsi yang merajalela, Lee Kuan Yew menyiasati dengan memulai program industrialisasi dan program perumahan murah.
Lee Kuan Yew juga dianggap berhasil membawa Singapura menjadi negara yang bersih dari korupsi. Menurut Indeks Korupsi Dunia 2014 yang dirilis Lembaga Transparency International, Singapura menjadi negara yang paling bersih di Asia dengan skor 84.
Untuk skala internasional, negara itu itu menempati posisi ke-7 dalam Indeks yang dikeluarkan Transparansi Internasional. Hasil indeks ini tak jauh berbeda pada tahun sebelumnya.
Lee membuat sistem negara yang berbeda dengan negara lain. Selama memimpin Singapura, Lee menerapkan kebijakan khusus untuk membangun negara. Salah satunya, Lee menerapkan negara yang bebas ideologi dan pemerintahan yang alergi-kritik, efisien, visioner atau berpandangan ke depan.
"Di sini bebas dari ideologi apapun," ujar Lee dalam wawancara dengan The New York Times pada 2007 silam. "Apakah ini berhasil? Jika berhasil, mari kita coba. Jika tidak berjalan, maka coba lagi," imbuh dia.
Dan apa yang ia jalankan berhasil. Singapura menjadi negara besar dengan tingkat korupsi yang sangat minim.
Untuk memberangus korupsi, Lee juga membentuk Biro Penyelidikan Tindakan Korup (CPIB) untuk mencegah praktik penyelewengan. Keluarga Lee juga disebutkan hidup secara sederhana, tak glamor seperti keluarga pemimpin negara lainnya.
Selain itu, Lee Kuan Yew menerapkan UU Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA) untuk mencegah berkembangnya paham komunisme di negara-kota yang saat itu dikuasai Inggris. UU ini sebenarnya sudah berlaku jauh sebelum Lee berkuasa, yaitu 1948. Tapi lelaki kelahiran 16 September 1923 tersebut mewarisi dan melanggengkannya.
Dengan adanya UU ini, seseorang yang dianggap membuat kegaduhan politik bisa ditahan dalam jangka waktu lama, tanpa proses pengadilan. Tokoh oposisi, Chia Thye Poh, misalnya, ditahan selama 23 tahun. Selain itu, siapa pun yang berkumpul untuk membicarakan politik tanpa izin juga merupakan tindak pidana.
Pada 2002, Lee pernah menggugat media Bloomberg lantaran adanya kolom Patrick Smith yang menulis pemimpin Singapura melakukan nepotisme karena menempatkan sang menantu sebagai pimpinan di Temasek, BUMN terbesar Singapura. Bloomberg mengaku bersalah. Lembaga pers itu meminta maaf dan membayar ganti rugi.
Saat ditanya mengapa Lee menggugat Bloomberg. Dia menjelaskan, "Jika orang lain meragukan integritas kita, maka kita harus membersihkan nama baik ini. Jika seorang seperti Patrick Smith dibiarkan, maka bakal ada puluhan Patrick Smith lainnya. Kalau dibiarkan, pemerintah Singapura bakal dibanjiri fitnah."
Atas penerapan hukum itu, baik pihak lokal maupun asing enggan untuk berbicara sembarangan di Singapura. Tak ada yang berani menduga apalagi memfitnah hingga mengacaukan stabilitas negara. Sistem ini yang dipegang teguh oleh Lee hingga membuat negeri singa menjadi raksasa.
Dalam dialog yang dimuat American Society of Newspaper Editors pada 1988 silam, Lee menegaskan, "Kami mengizinkan jurnalis Amerika Serikat di Singapura untuk melaporkan segala hal mengenai Singapura kepada rekan senegaranya. Namun kami tidak dapat membiarkan mereka memainkan gaya media Amerika di Singapura.
Selain "membungkam" kebebasan pers, sejumlah kebijakan kontroversial lain juga ditelurkan Lee, seperti larangan mengonsumsi permen karet, meludah sembarangan, dan aturan yang menerobos masuk ranah privat warganya.
"Saya dituduh mencampuri kehidupan pribadi warga. Itu memang benar. Jika saya tidak melakukan itu, kita semua tidak akan ada seperti ini hari ini. Saya mengatakan ini tanpa rasa menyesal sedikitpun, bahwa kita tidak akan mungkin sampai di titik ini, kita tidak akan mungkin mengalami kemajuan ekonomi," ujar Lee kepada Straits Times, 1987
"Jika kami tidak mengintervensi masalah tiap warga yang sangat personal. Siapa tetangga Anda, bagaimana cara Anda hidup, suara-suara yang ditimbulkan Anda, bagaimana cara Anda meludah, atau bahasa apa yang Anda gunakan. Kami memutuskan hal apa yang benar untuk dilakukan. Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan," imbuh dia.
Lee dianggap sebagai sosok pemimpin yang ditakuti lantaran aturan kontroversialnya tersebut. Tapi ia menekankan tak takut dianggap tak populer atau dibenci rakyatnya.
"Saya tidak pernah khawatir atau terobsesi dengan polling opini atau popularitas. Saya rasa pemimpin yang mengkhawatirkan hal seperti itu, adalah pemimpin lemah. Antara dicintai dan ditakuti, saya selalu meyakini prinsip filsuf Italia Nicolo Machiavelli yang paling benar. Jika tidak ada orang yang takut terhadap saya, maka saya tidak ada artinya," ujar Lee seperti dikutip dari The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew, 1997. (Ein)