Cerita Salah Asuh dari Cibubur

KPAI juga meminta keluarga dari UP alias T dan NS mengurus kelima anak yang diduga ditelantarkan keduanya.

oleh TaufiqurrohmanAudrey Santoso diperbarui 16 Mei 2015, 00:09 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2015, 00:09 WIB
Ilustrasi Kekerasan Anak
Ilustrasi Kekerasan Anak (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Tim gabungan Polda Metro Jaya dan KPAI mengamankan orangtua yang menelantarkan 5 anaknya di Citra Gran, Cibubur, Jawa Barat pada Kamis 14 Mei 2015. Keduanya menjalani pemeriksaan mendalam di Polda Metro Jaya, sedangkan 5 anaknya dibawa ke safe house Kementerian Sosial

Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia Erlinda mengaku berada pada posisi dilema melihat UP alias T (45) dan NS harus berpisah dengan kelima buah hatinya L (10), C (10), D (8), AL (5) dan DN (4). Namun hal itu terpaksa dilakukan karena perbuatan keduanya.

Bahkan, D yang merupakan anak lelaki satu-satunya juga tidak diizinkan masuk ke dalam rumah selama 1 bulan lebih, hingga hidup menggelandang di sekitar perumahan. Kondisi ini yang membuat KPAI berada pada posisi serba salah.

"Mohon disadari KPAI melakukan hal ini sangat dilematis, satu sisi kami tidak ingin memisahkan kedua orangtua dengan anak-anak mereka," kata Erlinda di depan Kantor Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (15/5/2015)

"Namun, di satu sisi perlakuan-perlakuan ini bisa berpotensi menyebabkan anak-anak ini terganggu fungsi sosialnya, terganggu psikologi yang cukup dalam dan akan membentuk konsep diri yang tidak baik untuk anak-anak ini ke depannya," imbuh dia.

Erlinda menjelaskan, orangtua memiliki hak dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan primer anak-anaknya yang meliputi kebutuhan tempat pakaian, makan sehari-hari, serta tempat tinggal. Orangtua juga berkewajiban memberikan anaknya pendidikan formal kepada anak-anaknya.

Mereka juga wajib menerapkan pola asuh dan didik yang benar sesuai etika, moral, dan nilai agama yang berlaku di tengah masyarakat kepada anak-anaknya.

Pemulihan Psikologis Tidak Mudah

Erlinda mengatakan, upaya pemulihan psikologis kelima anak tersebut tidak mudah dilakukan karena beberapa dari mereka mengalami tekanan yang cukup dalam. Karena itu KPAI menggandeng Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk memberikan bantuan pendampingan dalam masa pemulihan.

"Kita minta bantuan juga P2TP2A untuk pendampingan psikologinya. Karena hasil pemeriksaan sementara kelima anak itu hasil psikologinya berbeda-beda. Ada anak yang mempunyai [kondisi tertekan]( 2232843 "") cukup dalam, ada yang stabil, tapi ada yang kadang stabil, kadang labil. Karena tidak mudah (psikologis) anak ini kembali normal," tegas dia.

Selain itu, KPAI juga meminta keluarga dari UP alias T dan NS mengurus kelima anak yang diduga ditelantarkan keduanya.

"Sekali lagi kami apresiasi jika ada pihak keluarga dari derajat kedua atau derajat ketiga yang mereka memang ingin bertanggung jawab kepada kelima anak ini,"  ujar Erlinda.

Dia menjelaskan, maksud dari pihak keluarga derajat kedua adalah bibi dan paman. Sedangkan derajat ketiga yaitu nenek dan kakek. Namun begitu, dia menyatakan, tak akan menyerahkan begitu saja kelima anak tersebut tanpa melakukan investigasi terlebih dahulu.

"Sebelum menyerahkan hak asuh kepada keluarga orangtuanya, KPAI akan menyelidiki dulu latar belakang keluarga dan kondisinya, apakah memungkinkan mengasuh kelima anak ini. Berbahaya atau tidak jika mereka diasuh oleh keluarga tersebut," ucap Erlinda.

Dia mengungkapkan, setidaknya butuh waktu 3 bulan untuk memulihkan dampak psikologis anak-anak korban kekerasan. Namun, kata dia, jika waktu itu dirasa belum cukup menghilangkan trauma anak, KPAI siap mendampingi mereka hingga betul-betul pulih.

"[Untuk rehabilitasi kelima anak]( 2232956 ""), kami menerapkan dua pola, yaitu tindakan bermain dan tindakan kembali ke lingkungan. Saat ini sudah diberikan tahapan awal rehabilitasi, kita sudah tempatkan di lingkungan sosial, seperti anak-anak lainnya dan kita kondisikan mereka tidak pernah terjadi apapun," ujar Erlinda.

Bukan Petugas Intel

Sedangkan polisi hingga kini masih menyelidiki kasus penelantaran anak ini. Kasubdit Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Polda Metro Jaya AKBP Didi Hayamansyah memastikan ayah bocah D, UP alias T (45) bukanlah anggota intelijen. Tak seperti pengakuannya saat ditangkap polisi pada 14 Mei 2015.

"Yang jelas dia bukan anggota," kata Didi di Cluster Nusa Dua Blok E8 Nomor 37, Perumahan Citra Gran Cibubur, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (15/5/2015).

Namun dia mengatakan masih menyelidiki keterangan T yang mengaku sebagai seorang dosen di universitas swasta. Ijazah sang ayah juga turut diperiksa.

"Kita belum tahu keterangan T benar atau tidak, akan kita dalami juga ijazahnya. Dia lulusan mana," ujar Didi.

Kasus ini boleh dikatakan terungkap secara tak sengaja. Berawal dari sebuah posting-an di Facebook yang memuat kisah miris seorang anak laki-laki usia 8 tahun yang ditelantarkan orangtuanya dengan cara tidak diizinkan masuk rumah selama sebulan. Sang anak juga tidur di pos jaga dan mendapat makanan dari tetangga sekitar rumah.

Setelah ada laporan dari warga, polisi pun bertindak. Saat menggeledah rumah milik pasangan suami istri UP alias T dan NS, selain D polisi mendapati 4 anak perempuan lainnya dalam kondisi fisik yang buruk. Mereka seperti kekurangan gizi dan tertekan.

Saat polisi dan KPAI hendak mengamankan anak-anak malang tersebut, T mencoba menghalau dan bersikeras bahwa ia berhak melakukan perbuatan itu karena ia ayah kandung kelima anak.

Berdasarkan penuturan tetangga korban, Hendro, bocah D tiap hari tidur di pos jaga dan makan-minum dari bantuan tetangga. Dia dilarang masuk rumah oleh orangtuanya sejak sebulan lalu.

Ketua RT setempat, Sugeng menceritakan para tetangga sudah mencium gelagat tidak beres saat mengetahui bocah D dilarang masuk ke rumah sejak sebulan lalu.

Terkait pekerjaan, ayah D pernah mengaku ke beberapa warga sekitar sebagai dosen salah satu universitas di Ibukota. "Ngakunya sih dosen, ya kita sih iya iya saja," kata tetangga D, Winner Aldan saat berbincang dengan Liputan6.com di lokasi pada Kamis 14 Mei 2015.

Selain mengaku sebagai dosen, ‎ayah D juga pernah mengaku bekerja sebagai intel. Namun intel dari kepolisian atau militer, warga tak pernah berani bertanya.

Bantahan Orangtua

Polisi kemudian menangkap UP dan istrinya NS lantaran diduga menelantarkan 5 anaknya di rumahnya di kawasan Citra Gran, Cibubur, Jawa Barat. Dalam pemeriksaan sementara, UP menyangkal penelantaran yang dituduhkan KPAI sebelumnya.

"Sama sekali nggak ada, fitnah itu, susah begini jadinya," kata UP di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis 14 Mei 2015 malam.

UP mengatakan, D (8) merupakan anak lelaki tunggal yang dirawat ibunya hingga berumur 5 tahun. Setelah itu, dia dikembalikan ke rumahnya di Perumahan Citra Grand Cibubur, Bekasi, Jawa Barat. UP baru tinggal di sana dengan keluarganya selama kurang lebih 1 tahun.

Lantaran tidak dirawat sejak kecil, D dan UP kurang ada ikatan batin. Untuk itu, UP dan NS memutuskan agar D dititipkan ke neneknya karena kelahiran D tidak direncanakan.

"Istri saya ini kan lahiran caesar terus, yang cowok ini kebablasan, jadinya lahir lagi. Ya sudah kita minta titipin ke eyangnya saja," tambah UP.

UP menganggap D terlalu manja hingga membuatnya bersikap tegas. Perlakuan itu berbeda dengan yang diberikan kepada 4 anak lainnya yang perempuan. Namun UP membantah semua tuduhan menelantarkan anak, tidak memperbolehkan anaknya pulang, bahkan sampai tidak memberikan makan.

Dia menjelaskan, kondisi di rumahnya termasuk sebuah perumahan elite yang tidak ada pagarnya. Jika ada tetangga yang mengaku kalau anaknya dibiarkan bebas keluar-masuk rumah, itu merupakan hal biasa.

"Dia kan anak cowok, nggak masalahlah. Nggak ada perkara. Tetangga saja yang fitnah kita," klaim UP.

Sedangkan istrinya, NS berpendapat kalau D adalah anak cerdas. D ternyata juga sudah sering diberikan kunci rumah agar dia bisa keluar dan masuk ke rumah kapan saja.

Untuk itu, dia menyesalkan sikap tetangga terhadap D. Menurut NS, pernah suatu saat D tak pulang hingga larut malam sampai pagi hari. Ketika pagi hari, UP dan NS mencari anaknya yang ternyata ada di rumah tetangganya. UP pun mengajak D pulang namun dilarang tetangganya.

"Kan itu nggak benar kan? Dia itu kan mau sekolah, masa kita nggak boleh ajak pulang?" tanya NS.

Pasangan suami istri ini mengaku tidak merasa nyaman dengan tetangga di sekitar rumahnya, karena dianggap terlalu ikut campur.

Kini semuanya tergantung pada polisi untuk mencari celah ada atau tidaknya pelanggaran hukum dalam kasus ini. Yang jelas, ini memang persoalan yang lumayan pelik karena menghadapkan orangtua dan anak-anaknya sendiri.

Namun, pemerintah harus tegas. Apa pun alasannya, termasuk hubungan genetis, tidak membuat orangtua bebas memperlakukan anaknya sesukanya. Seorang anak punya hak untuk hidup dengan layak serta mendapatkan kasih sayang. Jika itu tak didapatkan, Undang-undang Perlindungan Anak bisa diterapkan. (Ado/Ans)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya