Liputan6.com, Jakarta - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan 3 perkara praperadilan tersangka kasus dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap telah menimbulkan dampak hukum. Dalam hal ini, Mahkamah Agung (MA) dinilai bertanggung jawab jika sebuah putusan lembaga peradilan di bawahnya menimbulkan gejolak.
Demikian dikatakan Hakim Agung Gayus Lumbuun. Gayus menjelaskan, MA berkewajiban membuat kebijakan atas putusan lembaga peradilan di bawahnya, terutama lembaga praperadilan yang telah menimbulkan gejolak. Kewajiban MA itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Saya tidak berpikir MA melanggar undang-undang. Tapi paling tidak, MA tidak menjalankan UU MA dan Pasal 3 UU Kekuasan Kehakiman, di mana MA berwenang untuk membuat kebijakan apabila terjadi hal-hal yang menimbulkan gejolak di masyarakat," ujar Gayus dalam diskusi di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/6/2015).
Gejolak akibat putusan praperadilan yang dimaksud Gayus, karena adanya disparitas atau perbedaan pada hukum acara yang dipegang hakim praperadilan. Meski pada dasarnya hakim praperadilan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasannya.
Gejolak itu, lanjut Gayus, diawali dari hakim Sarpin Rizaldi dalam menerima gugatan praperadilan bekas Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian yang kini jadi Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan.
Dalam putusannya, Sarpin memperluas objek praperadilan dengan memasukkan penetapan tersangka dalam objek praperadilan. Padahal jelas, dalam Pasal 77 KUHAP--sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK)--diatur bahwa penetapan tersangka tidak masuk dalam objek praperadilan.
Lalu pada praperadilan eks Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati juga mengabulkan gugatan praperadilan Ilham. Di mana dalam putusannya, Upiek menyatakan KPK tak punya bukti-bukti kuat dalam menetapkan Ilham sebagai tersangka.
Gejolak makin menjadi tatkala hakim Haswandi juga mengabulkan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo. Haswandi dalam putusannya menyatakan penyelidik dan penyidik KPK tidak sah karena KPK tidak berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik independen.
MA Bisa Keluarkan Regulasi
Karena itu, Gayus melihat, kekuasaan hakim dalam perkara praperadilan lebih tinggi ketimbang pokok perkara. Sehingga proses penyelidikan sampai penyidikan yang dilakukan penegak hukum terhadap seorang tersangka menjadi sia-sia.
Berdasarkan hal itu, Gayus berpendapat MA harus punya kesadaran untuk mengeluarkan regulasi yang menjadi pakem hukum acara dalam praperadilan. Regulasi tersebut dapat berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau Peraturan Mahkamah Agung (Perma).
"Itu sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundangan. Apabila undang-undang yang berlaku tidak cukup mengatur kelancaran peradilan, MA dapat mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan MA," kata dia.
Namun sampai saat ini, MA masih diam terhadap permasalahan dan gejolak yang timbul dari lembaga praperadilan. Karenanya, Gayus pun mempertanyakan diamnya MA terhadap hal-hal tersebut.
"Kadang-kadang sikap diam itu emas. Tapi kalau sudah menimbulkan gejolak, apa itu emas?" pungkas Gayus. (Ado/Ali)
Advertisement