Cara Angkasa Pura Urus Kacaunya Penerbangan Saat Erupsi Raung

Bandara Ngurah Rai di Denpasar, Bali, kini telah beroperasi kembali setelah sempat dibuka-tutup beberapa kali lantaran erupsi Gunung Raung.

oleh Adanti Pradita diperbarui 24 Jul 2015, 16:51 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2015, 16:51 WIB
20150722-Ngurah Rai
Suasana di Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali, sesaat setelah dibuka. (Liputan6.com/Raya Herawati)

Liputan6.com, Denpasar - Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, Bali, kini telah beroperasi kembali setelah sempat dibuka-tutup beberapa kali lantaran erupsi Gunung Raung di Jawa Timur. Padahal, sebelumnya saat bandara itu ditutup, sejumlah penerbangan terpaksa ditunda dan puluhan ribu calon penumpang pun terlantar dan kecewa.

Hal ini sempat membuat PT Angkasa Pura I Bandara I Gusti Ngurah Rai kelimpungan. Namun beruntung, sebagian besar calon penumpang mengerti jika ada faktor alam di balik peristiwa ini. Bukan karena kesengajaan ataupun keteledoran.

Seperti diakui General Manager PT Angkasa Pura I Bandara I Gusti Ngurah Rai, Trikora Harjo, ketika ditemui Liputan6.com di Denpasar, Jumat (24/7/2015).

"Alhamdulillah, Mbak, mereka juga menyadari apa yang sedang terjadi, karena itu bukan kesalahan manajemen airline atau pihak bandara. Karena memang akibat dari alam," kata Trikora.

"Mulai kondisi Gunung Raungnya sendiri, kemudian dari arah angin, yang mana kami sebagai pihak bandara tidak bisa meng-create anginnya diarahkan ke mana, jangan mengarah ke sini. Segala kemungkinan bisa saja terjadi," imbuh dia.

Meski begitu, Trikora mengaku, jajarannya tetap melakukan sejumlah langkah antisipasi untuk mengurus segala kekacauan jadwal penerbangan. Caranya dengan menyatukan penumpang dari sejumlah maskapai berbeda ke dalam satu pesawat besar.

"Salah satu langkah-langkah yang dilakukan untuk beberapa maskapai adalah menyatukan penumpang-penumpang dari pesawat tersebut dan mengalokasikan mereka ke dalam pesawat yang besar dengan tipe airbus, sehingga bisa mengangkut penumpang dari dua pesawat sekaligus," jelas dia.

Dia menyatakan, jajaran maskapai dan bandara harus selalu siap dalam menghadapi bencana alam.

Bingung

Meski demikian rasa panik dan bingung karena harus menunggu keberangkatan pesawat tanpa kepastian tak bisa dicegah. Seperti yang dialami seorang penumpang Garuda Indonesia, Diana Savira.

Diana dijadwalkan berangkat pada Selasa 22 Juli pukul 12.30 Wita. Namun dia baru bisa menaiki pesawatnya pada Rabu 23 Juli pukul 01.30 Wita.

"Saya bingung dan kecewa, karena kan bandara ditutup hanya beberapa jam saja, tetapi kenapa saya berangkatnya jadinya malam sekali," keluh Diana kepada Liputan6.com.

"Padahal saya kan bayar mahal untuk maskapai seperti Garuda Indonesia, ya walaupun bencana alam, tapi kan harusnya setelah dibuka, ya lebih diprioritaskan," imbuh dia.

Kondisi yang sama juga dialami oleh penumpang lain dari maskapai AirAsia dengan tujuan Bali-Jakarta, Kreshna Pradana dan keluarganya. Pada 22 Juli lalu dia seharusnya terbang ke Ibukota pada pukul 22.00 Wita. Baru pada 23 Juli pukul 05.30 Wita dia bisa menaiki pesawatnya.

"Saya bersama keluarga saya sudah menunggu sejak pukul 20.00 Wita karena kita seharusnya pergi pukul 22.00 Wita," keluh dia kepada Liputan6.com kala itu.

"Lebih parahnya lagi, kita tidak diperbolehkan kembali ke kota untuk cari hotel, karena ada kemungkinan pesawatnya diberangkatkan bisa kapan saja, dan kalau kita tidak di situ, bisa-bisa harus beli tiket baru."

Padahal, kata dia, tak ada makanan dan minuman sebagai kompensasi. Sementara pada jam-jam tersebut seluruh toko dan restoran telah tutup. Namun Kreshna tetap bersyukur masih bisa mendapatkan pesawat.

Tak cuma Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali yang sempat ditutup akibat erupsi Gunung Raung di Jawa Timur. Bandara Blimbingsari di Kabupaten Banyuwangi dan Bandara Notohadinegoro di Jember juga sempat harus ditutup karena abu vulkanik yang berhembus di jalur penerbangan mereka. (Ndy/Sss)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya