Putusan MK soal Pemeriksaan Anggota DPR Ringankan Kerja MKD

Terkait anggapan putusan itu membuat anggota dewan kebal hukum, Surahman enggan berkomentar banyak.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 23 Sep 2015, 16:33 WIB
Diterbitkan 23 Sep 2015, 16:33 WIB
20150922-Putusan Perkara DPD oleh MK-Jakarta
Ketua MK, Arief Hidayat (tengah) membacakan putusan perkara DPD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (22/9/2015). Sidang dihadiri Irman Gusman (Ketua DPD RI) serta sejumlah anggota DPD. (Liputan6.com/HelmiFithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Surahman menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemeriksaan anggota dewan harus seizin presiden membuat pekerjaan MKD semakin ringan.

"Sikap kami taat hukum. Pekerjaan MKD diringankan (dengan putusan MK itu)," kata Surahman, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/9/2015).

Terkait anggapan putusan itu membuat anggota dewan kebal hukum, Surahman enggan berkomentar banyak. Menurut dia, sebagai anggota dewan, wajib mematuhi konstitusi yang ada.

"Soal konsekuensi soal lain. Posisi kita taat hukum. Sudah jadi putusan MK. Ya sudah," tutur dia.

Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul kecewa dengan putusan itu. Ruhut menilai putusan itu makin membuat DPR sombong.

"Dengan izin MKD saja, aku enggak setuju, tapi MK yang lahir di era reformasi, malah dibikin lagi anggota DPR makin sombong. Aku enggak setuju," tutur ‎Ruhut.‎

Ruhut menjelaskan, semua orang dipandang sama di mata hukum. Dengan meminta izin presiden, anggota DPR seakan berbeda di mata hukum. Menurut dia, bila ada anggota dewan berbuat salah, sebaiknya langsung tangkap saja tanpa perlu minta izin pada siapa pun.

"Ini kekebalan yang membuat mereka makin sombong. Saat gue di jalan, mau korupsi atau narkoba, borgol saja gue langsung. Tak perlu minta izin presiden," ujar Ruhut.

Juru Bicara Partai Demokrat itu menambahkan, untuk meminta izin presiden tidak mudah. Sebab, tugas seorang presiden untuk mengurus negara sudah banyak.

Sebelumnya, Hakim MK Wahiduddin Adam mengatakan, putusan pemeriksaan terhadap wakil rakyat itu tak lagi atas seizin MKD, melainkan presiden, bukan sesuatu yang baru. Sebab, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum sebenarnya telah diatur dalam sejumlah undang-undang, antara lain UU MK, UU BPK, dan UU MA.

Karena itu, MK menilai pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari MKD tidak tepat. Wahiduddin menegaskan, MKD merupakan alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

"Sehingga mahkamah (MK) berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)," ujar Wahiduddin di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 21 September 2015. (Ron/Yus)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya