MK: Penegak Hukum Harus Izin Presiden Sebelum Periksa Anggota DPR

Penegak hukum kini tak mudah memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 22 Sep 2015, 16:16 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2015, 16:16 WIB
20150630-Sidang Lanjutan Uji UU KPK-Jakarta 1
Suasana sidang Uji Materi UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (30/6/2015). Sidang tersebut menghadirkan perwakilan Biro Hukum KPK guna menguji materi UU No.30 Tahun 2002. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Penegak hukum kini tak mudah memeriksa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemeriksaan terhadap wakil rakyat itu tak lagi atas seizin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), melainkan Presiden.

Hal itu sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (22/9/2015).

Putusan tersebut melebihi apa yang dimohonkan para pemohon. Mereka menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD. Namun MK justru memutuskan lebih dari itu, yakni izin harus diterbitkan Presiden.

Hakim MK Wahiduddin Adam mengatakan, putusan terebut bukan sesuatu yang baru. Sebab, pemberian persetujuan dari presiden ke pejabat negara yang sedang mengalami proses hukum sebenarnya telah diatur dalam sejumlah undang-undang, antara lain UU MK, UU BPK, dan UU MA.

Karena itu, MK menilai pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari MKD tidak tepat. Wahiduddin menegaskan, MKD merupakan alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

MK juga menilai, pemberian izin dari MKD berpotensi sarat kepentingan. Sebab anggota MKD merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.

Selain itu, putusan tersebut juga sebagai bentuk upaya membenarkan mekanisme check and balances antara legislatif dan eksekutif. "Sehingga mahkamah (MK) berpendapat izin tertulis seharusnya berasal dari presiden, bukan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)," ujar Wahiduddin di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Dengan putusan tersebut, anggota dewan yang dipanggil atau dimintai keterangan diharapkan tetap bisa melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR. MK juga berharap agar persetujuan dari presiden diterbitkan dalam waktu singkat.

Putusan MK tersebut tidak hanya berlaku bagi anggota DPR. Begitu juga penanganan terhadap anggota MPR dan DPD harus melalui izin Presiden.

Sementara untuk pemanggilan anggota DPRD tingkat Provinsi yang berkaitan dengan proses hukum harus mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sedangkan anggota DPRD tingkat Kabupaten harus mendapat izin dari Gubernur setempat.

Ketua MK Arief Hidayat menuturkan, frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan Presiden.

"Pasal 245 ayat 1, selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden," ucap Arief.

Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan Presiden.

Sebelumnya, Pasal 224 ayat 5 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3 dan 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya