Jokowi Disarankan Bentuk Kode Etik Kabinet untuk Cegah Konflik

Kode etik dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perselisihan antara masing-masing anggota kabinet di depan publik.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 05 Mar 2016, 13:39 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2016, 13:39 WIB
Gelar Rapat Terbatas, Jokowi Bahas Stok Pangan Jelang Ramadan
Presiden Jokowi didampingi Wapres Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (3/6). Dalam rapat tersebut dibahas mengenai strategi ketersediaan bahan pokok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Deputi Bidang Politik Wakil Presiden era pemerintahan SBY-JK, Djohermansyah Djohan ‎menyarankan Presiden Joko Widodo membentuk regulasi berupa kode etik yang mengatur peran dan sikap para anggota kabinet.

Kode etik, kata dia, dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perselisihan antara masing-masing anggota kabinet di depan publik.

"Perlu kode etik yang dibuat tertulis, karena aktor-aktor yang berselisih ini tidak paham pemerintahan, tidak tahu etika, maka perlu code of conduct," kata Djohermansyah Djohan dalam diskusi 'Para Menteri Bertikai, Apa Langkah Presiden Jokowi' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (5/3/2016).

Menurut dia, silang pendapat para menteri yang dilakukan secara terbuka sangat berbahaya, karena dapat merusak kepercayaan publik terhadap Presiden dan pemerintah. Bahkan, konflik para menteri dapat merusak wibawa Presiden.

"Kode etik tersebut nantinya akan mengatur hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan para menteri. Misalnya, jika ada keputusan pemerintah yang belum final, para menteri hanya boleh menyampaikan argumen pribadi, namun tidak diperkenankan menyerang pendapat menteri yang lain," papar Djohermansyah.

Selain itu, kode etik itu nantinya berfungsi untuk mengawasi para menteri, agar bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Para menteri, imbuh dia, dilarang untuk bertindak di luar struktur kabinet atau di luar tugas pokoknya.

Kode etik tersebut, lanjut dia, juga harus memuat sanksi bagi anggota kabinet yang melanggar kode etik. "Misalnya, sanksi ringan berupa teguran, hingga sanksi berat berupa pergantian pengisi jabatan menteri," tandas Djohermansyah.

Sejumlah silang pendapat terjadi di kabinet kerja. Beberapa di antaranya yaitu beda pendapat antara Menteri ESDM Sudirman Said dan Menko Maritim Rizal Ramli mengenai Blok Masela. Sudirman dalam sebuah kesempatan mendukung kilang gas Masela terapung di laut. Sementara Rizal Ramli menginginkan agar pembangunan kilang gas di darat karena dianggap memberikan dampak ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat. Selain itu, pembangunan kilang gas di darat berbiaya lebih murah.

Silang pendapat juga terjadi antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengenai kebijakan impor beras. Amran mengatakan, selama setahun kepemimpinannya, Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Namun, Menteri Perdagangan Thomas Lembong justru mengatakan bahwa pemerintah masih melakukan negosiasi terkait rencana impor beras dari Vietnam dan Thailand.

Terakhir, polemik antara Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Jafar dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung terkait pernyataan Marwan yang meminta agar Direksi Garuda Indonesia diganti karena mengalami delay, dan mendapatkan perlakuan mengecewakan.

Tak lama setelah pernyataan tersebut, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyindir melalui media sosial dengan mengatakan bahwa saat ini masih ada pejabat yang minta dilayani berlebihan.

*** Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar pukul 06.00-09.00 WIB. Klik di sini.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya