Liputan6.com, Jakarta - Senin, 18 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa terus digelar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Tujuannya satu: Soeharto turun dari kursi presiden.
Di Jakarta, ratusan mahasiswa menyambangi Gedung DPR/MPR di Senayan. Mereka diterima Ketua DPR/MPR Harmoko yang lalu ikut meminta Soeharto mundur. Setelah pertemuan, puluhan mahasiswa di antaranya memutuskan menginap.
Sekitar 6 kilometer dari sana, sekitar pukul 21.00 WIB, Soeharto bertemu Nurcholish Madjid. Di rumah Jalan Cendana, Menteng, itu, Soeharto meminta Nurcholish untuk menceritakan situasi di luar.
Advertisement
Baca Juga
Seperti dikutip dalam "Api Islam Nurcholish Madjid" karya Ahmad Gaus AF, cendekiawan itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan: ia mengisahkan secara rinci aksi-aksi reformasi yang diwarnai kerusuhan di Jakarta ketika Soeharto sedang di Mesir pada 11-15 Mei. Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ikut hadir dalam pertemuan.
Hari ini, kata pria yang akrab dipanggil Cak Nur itu, elemen-elemen gerakan reformasi menduduki gedung DPR/MPR. “Karena itu saya datang ke sini tidak dengan pertimbangan bulan atau hari, pertimbangan per jam juga tidak, malah per menit juga tidak. Saya datang ke sini dengan pertimbangan detik per detik.”
Soeharto mendengarkan dengan saksama. Lalu ia bertanya, “Reformasi itu apa, sih, Cak Nur?”
Nurcholish segera menjawab, “Reformasi itu artinya Pak Harto turun.”
Soeharto Tertawa
Mendengar itu, Soeharto tertawa sambil mengangkat tangan. Ia menyatakan, “Saya dari dulu memang ingin turun. Tetapi soalnya adalah, oleh Harmoko dan teman-temannya di MPR, saya ini diapusi, dibohongi, bahwa rakyat masih membutuhkan saya, malah didorong-dorong, dipaksa-paksa untuk naik lagi.”
Soeharto kemudian mengatakan akan segera mengumumkan pengunduran diri.
“Kapan?” tanya Nurcholish.
“Besok,” jawab Soeharto.
“Lho, kok cepat sekali?”
“Lho, katanya tadi hitungannya detik.”
Nurcholish tertawa karena tidak menduga jawaban seperti itu.
Namun sebelum mengumumkan pengunduran diri, Soeharto ingin bertemu tokoh-tokoh masyarakat. Saadillah lalu mendaftar beberapa nama. Semua tokoh Islam. Kemudian ia memberikannya kepada Soeharto. "Karena Mas Saadillah ini seorang ulama, yang ada dalam benaknya hanya ulama, yang kemudian diprotes oleh orang non-Muslim, kok hanya orang Islam yang diundang,” tutur Nurcholish.
Ada sembilan nama yang disodorkan Saadillah kepada Soeharto untuk diundang: Abdurrahman Wahid, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas Ruchiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Sutrisno Muchdam, dan Nurcholish sendiri. Pertemuan dijadwalkan pada Selasa 19 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka, Jakarta.
Nurcholish mengusulkan nama Amien Rais untuk juga diundang, tapi Soeharto bilang, “Ah, nanti dulu, deh,” ujarnya. Amien Rais menjadi salah satu tokoh penting dalam gerakan reformasi. Kritiknya terhadap Soeharto lugas dan keras.
Keesokan harinya, dalam pertemuan sekitar 2,5 jam di Istana Merdeka, para tokoh yang diundang membeberkan situasi terakhir. Soeharto menyatakan bersedia lengser, bahkan sudah menyiapkan draf naskah pengunduran diri. Toh, pertemuan berlangsung cukup alot. Sebab, Soeharto punya ide sendiri, terutama soal pembentukan Dewan Reformasi. Para tokoh itu tak setuju.
Pada pertemuan tersebut, Yusril Ihza Mahendra diajak Saadillah untuk hadir. Ia dianggap perlu dimintai pertimbangan untuk dari kacamata hukum tata negara. Yusril juga yang lalu sempat mengusulkan beberapa perubahan redaksional pada naskah pengunduran diri Soeharto.
Di luar Istana, demo kian masif. Ribuan mahasiswa dan kalangan pro-reformasi lainnya kembali mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka pun menginap di sana.
Dua hari kemudian, Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia pun memasuki babak baru.
Advertisement