Liputan6.com, Jakarta - Tulisan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau Kontras Haris Azhar tentang curhatan atau testimoni Freddy Budiman, gembong narkoba yang dieksekusi mati akhir Juli lalu, memicu kontroversi dan polemik. Dua institusi negara penegak hukum polisi dan TNI dituding terlibat dalam peredaran narkoba.
Pada Jumat dini hari, tepatnya 29 Juli lalu, tunai sudah tugas regu tembak. Diiringi hujan deras, para petugas mengeksekusi empat narapidana kasus narkoba di kompleks Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka terdiri dari tiga warga Nigeria dan seorang warga Indonesia, Freddy Budiman.
Dari Nusakambangan, jenazah Freddy Budiman dipulangkan ke rumah orangtuanya di Surabaya, Jawa Timur. Pada Jumat sore, jenazah itu dikuburkan di pemakaman umum Kalianak, Surabaya.
Advertisement
Berakhirkah kisah Freddy Budiman? Ternyata tidak. Eksekusi mati gembong narkoba itu disusul kontroversi dan polemik serius. Tak tanggung-tanggung, TNI, Polri dan BNN terseret.
Adalah Koordinator (Kontras) Haris Azhar yang memantik polemik itu. Nyaris bersamaan dengan eksekusi mati itu, melalui media sosial, Haris memublikasikan percakapannya dengan Freddy Budiman di penjara Nusakambangan pada tahun 2014 lalu.
Isi percakapan itu, tepatnya curahan hati Freddy, tidak main-main. Kepada Haris, Freddy kala itu mengungkap keterlibatan sejumlah petinggi kepolisian, TNI dan BNN dalam bisnis haram perdagangan narkoba.
Misalnya ada oknum yang titip harga untuk ekstasi yang ia datangkan dari China, juga setoran uang dalam jumlah fantastis. Kepada oknum BNN, Freddy membayar Rp 450 miliar dan kepada pejabat di Mabes Polri, ia memberi Rp 90 miliar.
Bahkan, seorang jenderal TNI berbintang dua menemaninya dalam perjalanan membawa narkoba dari Medan, Sumatera Utara menuju Jakarta.
Pengakuan Freddy yang dirilis Haris Azhar membuat masyarakat tersentak. Terlebih institusi yang dituding. BNN, Polri dan TNI pun melaporkan Haris Azhar ke Bareskrim Mabes Polri.
Ia dianggap menyebarluaskan informasi yang prematur dan tidak bisa dipercaya yang mencemarkan nama institusi negara. Dalam berkas pengadilan seperti pleidoi, menurut Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Freddy Budiman tidak pernah menyinggung keterlibatan aparat penegak hukum.
Sedangkan BNN mempertanyakan waktu pengungkapan pengakuan Freddy yang dianggap janggal. Akhirnya, BNNÂ pun membentuk tim khusus untuk mengusut tudingan Freddy.
Menyebarluaskan pengakuan Freddy yang menyengat institusi negara, Haris Azhar tentu tidak sedang bermain-main. Haris mengaku tidak punya bukti seperti dokumen atau rekaman percakapan, tapi ia punya saksi.
Bagi Haris, tindakan Polri, BNN dan TNI melaporkannya ke polisi adalah sesuatu yang mengecewakan.
Kini Haris Azhar berstatus terlapor. Statusnya itu mendulang dukungan masyarakat. Di media sosial, muncul hashtag atau tagar #sayapercayakontras sebagai dukungan bagi Haris.
Tak hanya setelah dieksekusi mati dan pengakuannya yang menggegerkan diungkap Haris Azhar, nama Freddy sering jadi berita lantaran acap keluar masuk penjara karena kejahatan narkotika yang akhirnya mengantarnya pada vonis mati. Tapi vonis mati tak memutuskan nyalinya.
Bagi Freddy, penjara pun bukan benar-benar penjara. Bulan Juli 2013 lalu, model majalah dewasa yang juga kekasih Freddy, Vanny Rossyane mengungkap fasilitas istimewa untuk Freddy di Lapas Cipinang, seperti alat komunikasi dan ruang khusus yang bisa ia gunakan sesukanya, termasuk berpesta narkoba bahkan bercinta.
Terungkapnya fasilitas istimewa untuk Freddy itu berujung pencopotan Thurman Hutapea dari jabatan Kalapas Cipinang saat itu.
Benar tidaknya pengakuan Freddy Budiman seperti ditulis Haris Azhar memang harus dibuktikan dan diungkap, agar tidak berkembang dugaan buruk pada lembaga penegak hukum. Bila kelak tudingan itu terbukti, biarlah hukum yang bekerja.