Mengapa Indonesia Sulit Terapkan Sistem Pendidikan Sesuai UNESCO?

Menurut Ananto sulit mencapai target SDG karena terbentur dana pendidikan.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 06 Sep 2016, 18:03 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2016, 18:03 WIB
20160821-Anak-Anak Ini Nyanyikan Lagu Indonesia Raya di HI-Jakarta
Seorang murid sekolah minggu Gereja Eban Haezer mengenakan baju adat sambil melambaikan bendera nasional di Bundaran HI Jakarta, Minggu (21/8). Menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu daerah, mereka memperingati HUT RI ke 71. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia memiliki program yang sesuai dengan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Program itu adalah Sustanaible Development Goals (SDG) yang merupakan rancangan pendidikan yang terdiri dari 15 pencapaian selama 15 tahun.

Salah satu program SDG ini adalah wajib berajar 12 tahun.

"Untuk tamat SMA di Indonesia butuh waktu sampai tahun 2084, SDG ini jadi komitmen bersama bagaimana cara yang bisa mempercepat sampai 2030," ungkap Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing Kemendikbud Ananto Kusuma Seta di Kantor Kemendikbud Jakarta, Selasa (6/9/2016).

Menurut Ananto sulit mencapai target itu karena terbentur dana pendidikan. Bukan hanya Indonesia, Ananto menyebut cukup banyak negara yang minim untuk mengalokasikan dana pendidikan.

"Kedua urusan perang, anak-anak pengungsian menjadi pekerjaan rumah tersendiri. 58 juta anak terlantar tidak dapat pendidikan, 200 juta anak tidak dapat pendidikan. Ini persoalan yang luar biasa dihadapi global," paparnya.

Laporan dari UNESCO ini, kata Ananto, menjadi refleksi bagi masing-masing negara untuk memperbaiki dirinya. Tak hanya itu, laporan ini juga akan dijadikan sebagai referensi pendidikan.

"Kedua, report ini akan dijadikan sebagai reference in line dengan national policy (kebijakan nasional) di negara-negara. Diketok palu 2015 ini report pertama. Jadi in line antar national policy (kebijakan nasional) dan global policy (kebijakan global) harus menyatu," ujar Ananto.

Lebih jauh, ia menjabarkan kalau masalah pendidikan ini bukan hanya urusan satu negara, tapi juga seluruh dunia.

"Dalam rekomendasi perlu hand to hand, kerjasama antarnegara. Indonesia sebaiknya juga sharing dengan negara tetangga. Kita punya tetangga yang maju betul pendidikannya, juga punya negara yang dibawah kita, itu semua kita perlu sharing bersama," ucap dia.

Ananto menjelaskan angka partisipasi pendidikan tingkat SD dan SMP di Indonesia belum mencapai 100 persen. Itu menunjukkan, sangat sedikit anak yang belum mendapat akses pendidikan.

"Pendidikan menengah sedang ditargetkan 2030 seluruh dunia diharapkan anak-anak sudah lulus SMA. Partisipasi Indonesia yang sekarang itu (SMP dan SMA) baru 76 persen," terang dia.

"Berarti pekerjaan rumah kita untuk angkat ke lulusan SMP dan SMA. Pak Jokowi bagus punya policy wajib belajar 12 tahun," sambung dia.

Ananto menyebut tak hanya kebijakan wajib belajar 12 tahun, Jokowi juga sudah berusaha mengatasi masalah dana pendidikan dengan mengeluarkan Kartu Indonesia Pintar.

"Untuk infrastruktur, kita terus bangun Sekolah Garis Depan khususnya di remote area dan guru-gurunya ada yang disiapkan untuk mengajar di daerah 3T (SM3T). Sayangnya, Kemdikbud enggak urusin infrastruktur, tentu kami terus koordinasi," ucap Ananto.

"Lalu ICT (Information and Communications Technology), koneksi anak-anak kuncinya dengan ICT. Untuk itu kami bertujuan layanan pendidikan ke depannya bisa berbasis ICT," tandasnya.

Indonesia merupakan negara pertama yang menjadi pilihan UNESCO untuk melaporkan pendidikan global. Ketiga negara lainnya adalah Inggris, Rwanda, dan Kolumbia.

Hadir pula dalam acara ini Mendikbud Muhadjir Effendy, Direktur dan perwakilan UNESCO Jakarta Dr Shahbaz Khan, Analis Kebijakan Senior Laporan GEM Dr Manos Antonius, dan Kepala Biro Pelayanan Komunikasi dan Masyarakat Kemendikbud Asianto Sinambela.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya