Gaduh Roy Suryo di Sidang Jessica

Situasi kembali memanas, saat jaksa kembali mempertanyakan standardisasi dan sertifikasi alat yang digunakan Rismon.

oleh FX. Richo PramonoMuslim AR diperbarui 16 Sep 2016, 00:14 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2016, 00:14 WIB
20160914-Sidang Jessica Hadirkan Ahli Toksikologi Kimia-Jakarta
Kuasa hukum Jessica Wongso memberikan pertanyaan untuk saksi ahli toksikologi dari UI Budiawan pada sidang lanjutan di PN Jakarta Pusat, Rabu (14/9). Sidang ke-20 itu mendengarkan keterangan saksi dari kubu terdakwa Jessica. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Suasana persidangan kasus kopi sianida dengan terdakwa [Jessica Kumala Wongso]( 2602722 "") mendadak gaduh. Keributan terjadi saat seorang pengunjung yang juga mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, berdiri sambil menunjuk-nunjuk ke arah ahli dari kubu Jessica.

Otto Hasibuan, pengacara Jessica Wongso pun berang dan mempertanyakan aksi Roy. Pengunjung lain pun menjadi gaduh dan menyoraki persidangan.

"Kenapa itu pengunjung tunjuk-tunjuk hakim? Jangan nunjuk-nunjuk dong," tegur Otto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 15 September 2016.

Suasana sidang pun mendadak riuh. Hampir saja terjadi baku hantam.

"Woi, lu keluar. Suruh keluar Pak Hakim," teriak pengunjung sidang.

"Roy Suryo, duduk lu," teriak pengunjung lainnya.

Dua polisi langsung mendekati Roy, dan beberapa polisi lainnya menenangkan pengunjung. Namun, Roy tetap berdiri mematung. Padahal, pengunjung terus meneriaki dia.

"Tenang-tenang," ujar Ketua Majelis Hakim Kisworo, menenangkan situasi persidangan.

Beberapa saat setelah menunjuk hakim, Roy tersenyum dan memberi hormat kepada hakim. Dia meminta maaf karena membuat gaduh saat persidangan.

Roy kemudian menghampiri M Nuh yang telah selesai membereskan peralatannya. Anggota DPR itu merangkul M Nuh, seolah memberi dukungan moril, hingga keluar persidangan.

"Terus saja, saya tak rela ilmu pengetahuan dilecehkan. Anda sudah benar, Tuhan bersama Anda," ujar Roy kepada M Nuh di luar ruang sidang.

Roy mengakui kesalahannya membuat keributan di ruang sidang. "Saya meminta maaf atas keributan tadi di dalam ruang sidang. Tapi, saat itu saya hanya ingin memberi support pada Pak Nuh."

"Dia itu anggota Asosiasi Ahli Digital Forensik Indonesia. Saya juga tak rela ilmu pengetahuan dilecehkan," dia menambahkan.

Sementara, M Nuh menegaskan, alat perangkat yang digunakan pihaknya sudah diakui dunia internasional.

"Software yang kami pakai dipakai oleh interpol, diakui secara internasional. Kalau mau membandingkan itu harus apple to apple, harus singa dengan singa, jangan singa dengan kucing," ujar Nuh dengan suara lantang di depan sorotan kamera.

Debat Panas

Kegaduhan ini terjadi sesaat setelah hakim memutuskan tak perlu lagi analisis dan mengomparasikan video rekaman CCTV, sebagaimana diharapkan Muhammad Nuh Al Azhar, ahli IT dari pihak jaksa.

M Nuh yang sebelumnya telah memberikan keterangan, sengaja datang memantau jalannya persidangan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin ini.

Kegaduhan juga mewarnai pada saat awal persidangan yang dimulai pukul 13.00 WIB. Perdebatan terjadi saat jaksa keberatan jika ahli informasi teknologi (IT) dari kubu Jessica, Doktor Rismon Hasiholan Sianipar, tidak memiliki kemampuan digital forensik.

"Kami sangat keberatan jika ahli IT menerangkan tentang tayangan CCTV. Untuk menayangkan CCTV itu seharusnya adalah ahli digital forensik," kata seorang jaksa.

Roy Suryo hadir di persidangan Jessica Wongo. (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Perdebatan terjadi usai Rismon memperkenalkan diri untuk memaparkan keahliannya dalam persidangan. Dia memperkenalkan diri sebagai ahli IT dalam bidang analisis sinyal citra video. Berbagai predikat internasional juga telah ia peroleh.

"Saya ahli IT seputar penyembunyian data di dunia digital, khususnya video. Program doktoral saya juga berkaitan dengan penyandian data pada image dan video, baik data dua dimensi dan tiga dimensi," ujar Rismon.

Situasi sidang kembali memanas, saat jaksa kembali mempertanyakan standardisasi dan sertifikasi alat yang digunakan Rismon.

Bermula ketika Rismon hendak menayangkan rekaman CCTV yang pernah ditayangkan ahli digital forensik sebelumnya. Tayangan tersebut terdapat dalam USB (Universal Serial Bus) dan akan ditayangkan melalui laptop yang digunakan ahli.

"Apakah laptop yang digunakan sudah tersertifikasi? Apakah sesuai standar?" tanya seorang jaksa.

Jaksa beralasan hasil pengujian laboratorium forensik Puslabfor Polri, menggunakan perangkat keras dan lunak yang diakui standardisasinya.

"Karena memang hardware-nya harus terstandardisasi," ujar jaksa.

Otto pun menegaskan, perangkat yang digunakan pihaknya terstandardisasi. Rismon sendiri berpendapat pihaknya ingin menganalisis alat bukti video dan hasil pemrosesan oleh ahli sebelumnya.

"Karena dalam persidangan banyak sekali yang tidak jelas. Di sini kami akan menganalisis lebih jelas frame per frame," kata Rismon.

Namun, saat jaksa mendesak Rismon membuktikan standardisasi tersebut, dia tidak dapat menunjukkannya.

Usai debat panas, hakim ketua Kisworo yang memimpin jalannya sidang terpaksa menunda penayangan CCTV tersebut, sembari menunggu piranti yang digunakan ahli dari jaksa.

"Untuk menjaga keaslian, keutuhan supaya tidak berubah akan kita datangkan dulu dari digital forensik yang dihadirkan jaksa. Kalau itu akan ditayangkan ahli digital forensik penasihat hukum apabila terjadi penyimpangan dan sebagainya ada kontrolnya, demikian ketetapan majelis," Kisworo memutuskan.

Modifikasi CCTV

 

Dalam kesaksiannya, Rismon mengungkapkan adanya dugaan pemodifikasian ilegal terhadap CCTV yang berada di Kafe Olivier.

"Ada indikasi dilakukannya tempering terhadap CCTV (Kafe Olivier). Tempering adalah kegiatan pemodifikasian ilegal yang ditujukan untuk tujuan-tujuan tidak baik," ujar dia.

Tempering bisa dilakukan dengan cara mencerahkan satu atau lebih intensitas piksel, untuk memberikan efek pergerakan pada video. Piksel-piksel yang dicerahkan secara manual akan memiliki sebaran intensitas yang hampir seragam.

"Tekstur atau pola objek tidak lagi sama dengan tekstur objek serupa yang inheren di dalam video," jelas dia.

Selain itu, tempering juga bisa dilakukan dengan mengubah laju frame dan menyisipkan frame lain untuk menciptakan efek perulangan objek.

"Salah satu indikasi tempering itu (dalam CCTV Olivier) adanya ketidakproporsionalan anggota tubuh, bagian telunjuk menjadi lebih panjang," beber Rismon.

Akankah Jessica Kumala Wongso kembali tersenyum dalam sidang lanjutan kasus ‘Kopi Sianida’ yang berlangsung pada 14 September mendatang? (Liputan6.com/Johan Tallo)

Bahkan dalam analisisnya menggunakan rekaman CCTV yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi, Rismon melihat jari telunjuk Jessica Wongso tampak sangat panjang.

"Jari telunjuk sangat panjang dan ini harus dibandingkan dengan tangan Jessica. Ada ketidakproporsionalan ukuran dalam anggota tubuh," ujar Rismon.

Tidak hanya itu, Rismon juga menduga ada pengeditan manual. Dia mengaku menganalisis setiap frame yang terdapat dalam suatu adegan.

"Di sini kami mencurigai ada pengeditan manual, di mana tangan terang gelap terang gelap sangat cepat. Dalam satu dua frame, dalam waktu 2 per 25 atau 0,1 detik, kecepatan tangan sangat tidak normal atau tidak rasional," kata dia.

Fakta mengejutkan juga dibeberkan Rismon. Dia menyimpulkan rekaman CCTV yang pernah ditampilkan di persidangan berbeda dengan hasil kamera CCTV aslinya.

Hal itu diperkuat dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada pertanyaan nomor 27, terkait perbedaan kualitas gambar dan orisinalitasnya.

"Ketika kita mengamati metadata file video dalam BAP yang sama, ternyata dari metadata dicantum width dan hight 960x576 piksel. Padahal, hasil perekaman kamera CCTV memiliki resolusi 1920x1080 piksel," ujar Rismon.

Dengan kata lain, Rismon menyimpulkan ada pengurangan resolusi ketika proses ekstraksi dilakukan.

"Ada pengurangan atau reduksi frame pada video lebih kecil dari yang asli. Artinya, gambar atau frame yang didapatkan lebih kabur akibat pengurangan dimensi dalam frame," ujar dia.

Rismon menjelaskan, proses reduksi ini memungkinkan untuk mengaburkan sejumlah adegan dalam video rekaman CCTV. Termasuk, saat ada seseorang menaburkan sianida dalam es kopi Vietnam milik Mirna.

"Oleh karena itu, kita akan lakukan autentifikasi. Orang bisa hilang (saat masukan sianida). Karena akan kabur ketika dilakukan pembesaran (dengan video resolusi yang kecil). File video nomor dua, tiga, dan empat tidak sama dengan yang asli. Hanya file nomor satu yang sama ukuran atau metadatanya," papar Rismon.

Jari Kelingking

 

Ahli juga menganalisis kejanggalan lain. Tepatnya pada jari kelingking Jessica. "Jari kelingking juga terlihat sama panjang dengan jari lainnya," ucap Rismon.

Analisis itu menjawab kesaksian ahli digital forensik Polri yang dihadirkan jaksa pada Rabu 10 Agustus 2016, Ajun Komisaris Besar Muhammad Nuh Al Azhar. Di mana dia pernah menunjukkan gerakan tangan mencurigakan Jessica di rekaman CCTV Kafe Olivier.

"Dugaan adanya gerakan tangan memasukkan sesuatu yang diungkap Muhammad Nuh, dalam rekaman yang saya analisis terlihat tiba-tiba mengabur, cukup hilang, putus, dan tiba-tiba menjadi lengan kiri," ujar Rismon.

"Setelah itu, dengan frame 1 atau 2 muncul tangan lain yang kecerahannya tidak proporsional, tapi kecepatannya sekitar 0,1 detik. Dengan kecepatan segitu tidak masuk akal. Di sini kami menduga adanya tempering, pencerahan pada lokalitas tertentu sehingga memunculkan ilusi pergerakan," sambung Rismon.

Rismon juga menyebutkan ada puluhan frame hilang dalam video CCTV Kafe Olivier. Berdasarkan analisis metadata untuk video ch_17_15.11-16.17.mp4 adalah 98.750 frame. Tapi, dalam BAP Ahli IT yang dihadirkan JPU, Muhammad Nuh, metadata dalam file bernama Ch_17_15.11_16.17.mp4 hanya berjumlah 2.707 frame.  2602649

Dengan demikian ada 96.043 frame video yang hilang. Sehingga, Rismon menduga, banyak adegan yang direkayasa, dikurangi, dan ditambahi.

"Kesalahan ini dapat menyebabkan keterangan dan analisis saksi ahli diragukan keabsahannya," ujar dia.

Rismon menjelaskan, frame rate video sebelum dipindah ke flashdisk sebesar 25 fps dengan resolusi 1920 x 1080 piksel. Sementara pada video-video lainnya memiliki frame rate 10 fps dengan resolusi 960x576 piksel.

Dengan begitu, terjadi perubahan kualitas atas video. Padahal, apabila rekaman video CCTV diekstraksi ke media lain seperti flashdisk atau harddisk tidak akan mengalami perubahan kualitas.

Autopsi Jenazah Mirna

Puluhan calon jaksa memadati ruang sidang lanjutan terdakwa Jessica Wongso di PN Jakarta Pusat, Rabu (14/9). Sidang ke-20 itu menghadirkan ahli toksikologi kimia dari UI Budiawan ‎sebagai saksi ahli meringankan bagi Jessica. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara, di luar persidangan ahli forensik RS Polri Kramatjati dr Slamet Poernomo, yang pernah dihadirkan di persidangan kasus Jessica‎ beberapa waktu lalu menjelaskan, terkait tidak dilakukannya autopsi secara menyeluruh terhadap Jasad Mirna Salihin.

Penegasan tersebut menyusul pihak ahli dari Jessica yang mempertanyakan tidak dilakukannya autopsi secara menyeluruh jasad Mirna Salihin. Menurut Slamet, visum serta pengambilan sampel toksikologi oleh penyidik Polda Metro Jaya terhadap jasad Mirna sudah akurat.

Menurut Slamet, tidak dilakukannya autopsi menyeluruh lantaran kondisi dan situasi saat itu tidak memungkinkan. Selain tidak adanya izin dari keluarga korban, saat itu jasad Mirna telah di-embalming atau diawetkan dengan formalin.

Kendati, penyidik telah memerintahkan dokter forensik untuk melakukan pemeriksaan luar dan pengambilan sampel lambung, hati, dan urine jasad Mirna. Sementara darah memang tidak diambil karena sudah mengental akibat proses embalming.

"Hal ini sesuai dengan permintaan penyidik pada surat permintaan visum et repertum-nya," pungkas Slamet.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya