Kepala BNPT: Waspadai Dimensi yang Ancam Persatuan Bangsa

Radikalisme merupakan ancaman krusial bagi negara karena sasaran utama penyebaran paham ini ialah generasi muda Indonesia.

oleh Liputan6 diperbarui 18 Nov 2016, 11:12 WIB
Diterbitkan 18 Nov 2016, 11:12 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai berbagai dimensi yang bisa memecah belah persatuan bangsa.

"Berbagai dimensi yang harus diwaspadai muncul dari semua sektor, meliputi dimensi geografi, demografi, sumber daya alam, hingga sektor ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan," kata Suhardi di Jakarta, Kamis 17 November 2016.

Ia mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara dalam acara Gerakan Revolusi Mental Kementerian Pertanian Wilayah Bebas Korupsi yang digelar Inspektorat Jenderal Kementan. Ia membawakan paparan bertema "Resonansi Kebangsaan dan Pencegahan Radikalisme."

Dari sektor ideologi, kata Suhardi, Indonesia saat ini menghadapi ancaman paham radikal. Radikalisme merupakan ancaman krusial bagi negara karena sasaran utama penyebaran paham ini ialah generasi muda Indonesia.

Derasnya arus informasi di dunia maya berdampak pada pesatnya penyebaran paham radikal di Indonesia karena selama ini banyak sekali informasi radikal dari dunia maya yang mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak.

"Pemahaman konsep jihad, khilafah, dan takfiri yang keliru yang selalu digembor-gemborkan kelompok radikal menjadi tantangan bagi kita semua," kata Suhardi seperti dikutip dari Antara.

Ia mengatakan, radikalisme terus berkembang di Indonesia, beberapa survei menunjukkan hal itu. Ia lantas mengutip hasil survei Harian Kompas tentang radikalisme di Jakarta. Dari 500 responden, sebanyak 22 persen guru dan 21 persen siswa menganggap Pancasila tidak relevan lagi.

Selain itu, survei dari Wahid Foundation pada tahun 2016 yang menunjukkan sekitar 7,7 persen responden menyatakan berpartisipasi dalam radikalisme dan 0,4 persen menyatakan pernah terlibat dalam kegiatan radikalisme.

Survei tersebut menyasar pada responden yang mewakili 150 juta masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Jika dikalkulasikan, maka nilai 7,7 persen tersebut setara dengan 11,5 juta jiwa, sedangkan 0,4 persen setara dengan 600 ribu jiwa.

Intinya, kata mantan Kepala Bareskrim Polri itu, radikalisme merupakan tantangan yang begitu keras bagi nasionalisme ke depan.

"Untuk itu, penghalauan paham ini tidak bisa dilakukan oleh BNPT saja. Sebanyak 17 kementerian/lembaga akan kami libatkan karena kami bekerja tidak hanya menyelesaikan di sektor hilir, tetapi juga di sektor hulu agar akar masalah itu juga tersentuh," kata Suhardi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya