Program Listrik Jokowi Terhambat, BUMN Lapor ke KPK

putusan Mahkamah Agung (MA) terkait Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Patuha-Dieng yang terindikasi ada 'permainan'.

oleh Oscar Ferri diperbarui 22 Des 2016, 19:33 WIB
Diterbitkan 22 Des 2016, 19:33 WIB
Ilustrasi KPK
Ilustrasi KPK

Liputan6.com, Jakarta - Program listrik 35 ribu megawatt yang diprioritaskan Presiden Jokowi pembangunannya kian terhambat. ‎Hal itu dikarenakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) Patuha-Dieng yang terindikasi ada 'permainan'.

Atas dugaan permainan itu, PT Geo Dipa selaku perusahaan BUMN melalui ‎kuasa hukumnya, Lia Alizia dan Heru Mardijarto melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Pihaknya tidak ingin, akibat putusan MA terjadi potensi kerugian negara.
‎
"Kami bawa bukti-buktinya. Semoga ini semua terbongkar dengan terang dan para oknum yang diduga telah sengaja ingin merugikan uang negara bisa diberantas," ujar Lia di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/12/2016).

Lia menjelaskan, dengan adanya putusan MA itu, proyek PLTPB Patuha-Dieng terancam lepas dari PT Geo Dipa dan beralih dikuasai pihak swasta, dalam hal ini oleh PT Bumigas Energi. "Sangat ironi saya pikir, padahal PLTPB ini merupakan aset negara," kata Lia.

Lia menambahkan, kasus ini bermula pada tahun 2005 saat Geo Dipa dan Bumigas kerja sama dengan kewajiban Bumigas membuat lima unit PLTPB, yaitu PLTPB Dieng 2, Dieng 3, Patuha 1, 2 dan Patuha 3.

Dalam kontraknya, disebutkan Bumigas yang menanggung seluruh pembiayaannya, kemudian menyerahkan pembangkit yang sudah selesai dan siap beroperasi secara komersial kepada Geo Dipa, dan mengoperasikan bersama melalui perusahaan operating and maintenance (O&M), hasil patungan antara PT Geo Dipa dan PT Bumigas.

Namun hingga Desember 2005, Bumigas belum juga melaksanakan kegiatan fisik pembangunan proyek. Geo Dipa lantas memberi surat peringatan kepada Bumigas, namun tak dihiraukan, bahkan sampai surat peringatan ke-5 di bulan Juni 2006.

"Geo Dipa masih sabar, diberi kesempatan lagi selama 6 bulan sampai Desember 2005, Bumigas tetap tidak mau melaksanakan  pekerjaan berdasarkan kontrak," kata Lia.

Pada 7 Mei 2007, Geo Dipa pun mengirim notice of default kepada Bumigas. Isinya antara lain, bila Bumigas tidak memenuhi kewajibannya dalam 30 hari, maka Geo Dipa mengajukan penyelesaian kontrak melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

"Tanggal 26 November 2007 Geo Dipa resmi mengajukan permohonan terminasi kontrak melalui Arbitrase BANI, karena Bumigas ciderai janji," kata Lia.

Dikabulkan MA

Kemudian pada 17 Juli 2008, Arbitrase melalui putusan No 27/XI/ARB-BANI/2007, menyatakan Bumigas melakukan cidera janji dan menyatakan kontrak diterminasi di hari itu juga.

"Atas putusan BANI itu, Bumigas kemudian mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) pada 19 Desember 2008. Padahal sudah melewati tenggat waktu mengajukan permohonan itu, tetapi tetap diperiksa," kata Lia.

Kemudian, PN Jaksel melalui putusannya 15 Januari 2009 menyatakan permohonan Bumigas tidak dapat diterima dengan alasan kurang pihak, karena tak melibatkan Geo Dipa. Begitu juga pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung RI juga menolak dan menguatkan putusan PN Jaksel.

Tak puas dengan putusan tersebut, Bumigas mengajukan upaya Peninjauan Kembali ke MA. Namun, MA melalui putusannya tanggal 25 Mei 2010 menyatakan  permohonan PK Bumigas ditolak.

Perkara itu pun kemudian dibawa hingga ke tingkat kasasi pada 24 Oktober 2014, MA menyatakan permohonan Bumigas untuk membatalkan putusan BANI dikabulkan.

Mengenai laporan itu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menyatakan, laporan ini akan ditelaah lebih dulu. Nantinya akan dilihat, ada tidaknya tindak pidana atau tidak.

"Semua laporan masyarakat akan ditelaah dulu. Kalau hasilnya ada tindak pidana, tindak pidananya seperti apa. Bisa tidak, itu ditindaklanjuti," ujar Febri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya