Kasus Ahok di Antara Politik dan Ujian Independensi Hakim

Majelis hakim harus bebas dari segala tekanan, baik tekanan dari penguasa maupun publik.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 29 Des 2016, 12:00 WIB
Diterbitkan 29 Des 2016, 12:00 WIB
Refly Harun

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto memutuskan untuk melanjutkan sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Pengamat hukum tata negara Refly Harun pun angkat bicara. Menurut dia, kasus Ahok ini bisa menjadi pelajaran bagi demokrasi Indonesia karena lebih banyak dimensi politiknya daripada hukumnya.

"Saya melihat banyak dimensi politik daripada hukumnya. Saya kira ini pelajaran bagi demokrasi kita," ucap Refly kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (29/12/2016).

Dia menilai, hal ini menjadi ujian bagi independensi hakim di peradilan Indonesia.

"Kasus ini juga menjadi ujian bagi independensi hakim. Jadi mudah-mudahan bisa berjalan dengan independen," jelas Refly.

Karena itu, dalam setiap langkah dan mengambil putusan, Refly melanjutkan, majelis hakim harus bebas dari segala tekanan, baik dari penguasa maupun publik.

"Saya berharap hakim bisa berlaku fair dan tanpa tekanan, baik dari penguasa maupun dari publik. Karena tekanan apa pun dalam hukum, itu tidak baik," ujar Refly.

Dia menuturkan, apa yang dilakukan Ahok merupakan pelanggaran etika dan cukup mendapat teguran dari Menteri Dalam Negeri, lantaran apa yang disampaikannya masih berpredikat PNS.

"Di satu sisi ada pelanggaran etika. Misalnya, dia menggunakan pakaian dinas. Dari sisi etik keliru. Tapi itu sanksinya administratif saja. Misalnya teguran dari Mendagri, dan dia sudah minta maaf. Tapi karena ini politisasi tingkat tinggi, makanya masuk hukum," Refly memungkasi.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya