Kisah 'Pejuang' Bahasa Indonesia Asal Malang di Negeri Sakura

Dalam mengajar, Ajiek bukan sekadar mengenalkan bahasa, melainkan juga mengenalkan budaya Indonesia di Jepang.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Jan 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2017, 10:00 WIB
20160404-Pohon-Sakura-Jepang-Reuters
Sejumlah pengunjung naik perahu menikmati keindahan bunga sakura yang mekar sempurna di Chidorigafuchi selama musim semi di Tokyo, Jepang, (4/4). Bunga Sakura merupakan satu keunggulan negara Jepang. (REUTERS/Issei Kato)

Liputan6.com, Jakarta - Hidup di negeri orang dengan keterasingan dan 'buta' bahasa serta aksara, terasa menyiksa bagi Ajiek Koeshajati, perempuan asal Singosari, Malang, Jawa Timur, yang hijrah ke Jepang setelah menikah.

"Meskipun saya pernah sedikit-dikit belajar bahasa Jepang secara informal di Jakarta, tetapi berhubung belajarnya enggak konsen dan tidak kenal kondisi di Jepang, pelajaran sama sekali enggak masuk di otak," kata Ajiek, Selasa (10/1/2017).

Begitulah, tanpa memiliki pengetahuan bahasa dan adat istiadatnya, Ajiek yang baru menyelesaikan kuliah tahun terakhir di Fakultas Sosial di Universitas Indonesia, menikah dengan seorang expatriat Jepang pada 1973 dan mengikuti sang istri ke Tokyo, setelah dikaruniai dua anak pada awal 1980.

Dengan anak-anak yang masih kecil dan tidak mengenal kehidupan di sekitarnya, Ajiek mengaku hidupnya mulai kurang membahagiakan. Keadaan membaik ketika dia berkenalan dengan para tetangga, khususnya ibu-ibu dari teman sekolah anaknya.

"Setiap hari sekitar lima sampai enam ibu bersedia berkumpul mengajari saya, menerjemah materi pelajaran anak-anak. Karena mereka iba pada saya yang tidak paham bahasa Jepang," kata Ajiek mengenang masa-masa sulit tersebut.

Dari pergaulan dengan tetangga tersebut, Ajiek mengenal tata-krama dan adat istiadat Negeri Sakura itu serta saling bertukar budaya.

"Jika ada anak atau ibu yang ulang tahun, saya mengundang mereka ke rumah dan membuat selamatan kecil untuk mereka. Ini keramah-tamahan Indonesia yang saya berikan kepada mereka," kata Ajiek mengungkap rahasia caranya mendekati orang Jepang, yang secara umum bersifat tertutup terhadap orang lain.

Para tetangga rupanya senang dengan hal-hal baru yang ditularkan Ajiek, dan sebaliknya, sampai dia pun semakin mahir berbahasa Jepang. Termasuk, memakai bahasa tingkat tinggi atau Keigo--semacam kromo inggil di Jawa.

Bertepatan dengan itu, situasi ekonomi di Jepang meningkat dengan istilah yang terkenal 'bubble economic'. Jepang juga mulai berminat membuka wawasan dari negara-negara lain yang dikenal dengan istilah 'kokusaiteki na Nihon' dan membuka sekolah bahasa-bahasa asing.

Belajar bahasa Inggris dan berwisata ke Eropa serta Amerika, menjadi sangat populer dan kemudian merembet ke Asia, termasuk Indonesia.

Ajiek tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mulai mencari pekerjaan untuk mengajar bahasa Indonesia, karena sekolah bahasa asing mulai menjamur di Jepang.

Pada saat itu, pemerintah Jepang dan perusahaan-perusahaan raksasa membuka proyek di Indonesia melalui bantuan luar negeri ODA (Overseas Development Assistant) dengan bunga rendah.

Seperti dilansir Antara, proyek tersebut kebanyakan berupa program pembangunan pabrik dan infrastruktur, serta banyak perusahaan harus mengirim tenaga ahli untuk bekerja di Indonesia.

Sebelum berangkat, para karyawan yang akan menjadi manager di Indonesia dibekali pengetahuan bahasa Indonesia, dan pengenalan adat-istiadat, agama, serta budaya setempat. Peran guru bahasa Indonesia sangat diperlukan.

Ajiek pun menikmati peran sebagai perempuan Indonesia, dia mendapat kesempatan mengajar di perusahaan surat kabar ekonomi Nikkei Shimbun, Badan Perdagangan Luar Negeri Jepang (Japan External Trade Organization-JETRO), perusahaan penerbangan JAL, termasuk juga menjadi narasumber dalam berbagai seminar tentang Indonesia.

Kiprahnya mulai terlihat sampai dia direkrut seorang ekonom Indonesianis Yoshinori Murai, untuk mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta Katolik bergengsi, Sophia University di Tokyo, tempatnya mengabdi hingga kini.

"Saya merasa beruntung diajak bergabung di Sophia, meskipun latar belakang pendidikan saya bukan sastra Indonesia atau pun sastra Jepang, seperti kebanyakan guru yang lain. Melainkan karena melihat pengalaman saya mengajar bahasa Indonesia," ujar perempuan yang populer diundang sebagai Ajiek sensei ini.

 

Promosi Kebudayaan Indonesia

Pelajaran bahasa Indonesia semakin diminati pada awal 1990, karena berwisata ke Bali menjadi kegiatan yang populer. Khususnya, di kalangan anak muda Jepang, sehingga kursus bahasa Indonesia juga semakin banyak dibuka.

Dalam mengajar, Ajiek bukan sekadar mengenalkan bahasa, melainkan juga mengenalkan budaya Indonesia. Bahkan, kegemarannya adalah mengundang mahasiswa dan murid-muridnya untuk datang ke rumah, serta menikmati sajian masakan Indonesia yang diolahnya sendiri.

Pada saat itu, mereka bisa mendengar musik dan lagu-lagu, menyanyi, menari, membaca majalah dan menonton video semua tentang Indonesia. Sesekali Ajiek mengajak mereka berwisata bersama ke Indonesia.

Keberuntungan di bidang pekerjaan bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangganya yang membuat ia memutuskan menggugat-cerai suami. Karena semakin banyak ketidak-cocokan antara dirinya dengan ayah dari kedua putrinya itu.

Proses perceraian cukup alot dan Ajiek hanya memperjuangkan hak asuh bagi kedua putrinya, tanpa menghiraukan urusan gono-gini.

"Bagi saya anak-anak lebih penting. Dulu saya ingin mereka bersekolah tinggi ke Eropa dan Amerika, tapi birokrasi harus meminta izin dari ayahnya, membuat anak-anak batal sekolah ke luar Jepang," kata Ajiek yang kini merasa puas dengan capaian putri-putrinya, yang menjadi model dan bekerja di bidang multimedia.

Mereka sudah memberi tiga cucu baginya. Ajiek pun pada 1996 menikah kembali dengan seorang warga Amerika Serikat yang berusia 12 tahun di bawahnya.

"Kami hidup bahagia dan tenang," kata perempuan yang tetap energik meski sudah berusia 60-an itu.

Saat ini, Ajiek masih mengajar di dua universitas, yaitu Sophia dan satu perguruan tinggi putri, sekolah bahasa dan budaya yang dikelola lembaga penyiaraan NHK dan ada beberapa murid privat.

"Ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah belajar sejak 1994 dan juga 2002, seperti menjadi murid abadi dan rajin belajar walaupun ada yang bahkan sama sekali belum pernah berkunjung ke Indonesia," kata Ajiek.

"Aneh kan?" Ada kebanggaan dalam kata-katanya.

Kebahagiaan Ajiek sebagai guru adalah ketika murid-muridnya berhasil dan mengembangkan minatnya seperti menjadi penari Bali, memperdalam gamelan, dan berkunjung ke Indonesia, sehingga menambah keuntungan bagi sektor pariwisata.

Hubungan dengan bekas murid terus terjalin dengan baik, bahkan mereka tetap menghubunginya, sesekali. "Kini saya pindah ke rumah yang lebih kecil, sehingga tidak bisa mengundang murid untuk makan-makan di rumah. Tetapi kami tetap makan bareng pada saat-saat tertentu di rumah makan Indoonesia yang ada di Tokyo."

"Beberapa dari mereka melakukan riset dan menjadi pakar tentang Indonesia," kata Ajiek menceritakan murid-muridnya.

Saat ini, menurut Ajiek, sudah banyak kalangan muda Jepang yang pandai berbahasa Indonesia dan banyak mahasiswa Indonesia di Jepang. Mereka ikut meramaikan kancah pelajaran bahasa Indonesia bagi orang Jepang.

"Tiga tahun lagi saya akan pensiun dan akan menyusun buku pelajaran bahasa Indonesia bagi orang Jepang. Namun sebelumnya, saya ingin mengajak mahasiswa berkunjung ke Indonesia dalam kerja sama dengan UGM, yang sudah dirangkul menjadi sister university," kata Ajiek mengakhiri obrolannya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya