Liputan6.com, Jakarta - Aroma tumisan bawang putih bercampur segarnya bau perasan jahe tercium kuat. Potongan segar seledri, asap pembakaran daging ayam, merica dan garda munggu saling berpacu saat tutup dandang besar tempat kuah soto dibuka. Empat gang sempit itu masih sepi Rabu pagi tadi.
"Ramainya jelang siang, masih banyak yang belum matang, baru potong-potong daging," ujar Asni (66) seorang pemilik Lapo di belakang gedung DPR RI, Jalan Gelora, Senayan, Rabu (18/1/2017).
Asni biasanya tidak pernah datang sepagi ini. Tapi, Asni mau melihat hari-hari terakhir mereka di kawasan Senayan, sebelum digusur.
Advertisement
Lapo Siagian Boru Tobing, satu dari puluhan warung makan di pusat jajanan tradisional, Jalan Gelora, Senayan, Jakarta Pusat. Warung-warung makan tradisional di sini akan dipindahkan. Para pemilik warung sudah berdialog dengan Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK).
Asni menyesalkan dengan penutupan lokasi tempat berdagang yang sudah ia tempati selama 24 tahun itu. "Aku ke sini sejak anakku masih setahun umurnya," kata Asni.
Mereka tak punya kekuatan untuk melawan, mereka sadar kalau tanah yang mereka tempati adalah milik negara. Mereka pun mau dipindahkan, asal tak terburu-buru karena harus memberitahukan para pelanggannya.
"Langganan aku tuh jauh-jauh, dek. Ada di Belanda, Surabaya. Mereka ini pulang sekali-kali, aku ndak ngertilah itu Facebook, bagaimana ngasih tahu mereka," lanjut Asni.
Meski mereka sejak tahun 1992 sudah membayar iuran setiap bulannya sekitar Rp 1 juta paling rendah dan paling tinggi sampai Rp 4 juta. Mereka mau dipindahkan jika diberi waktu hingga bulan Juni nanti.
"Beri kami waktu sampai lebaran, kami cari tempat baru dulu, cari uang dulu untuk sewa tempat baru," kata Asni.
Lebih Mahal dari Uang
Lebih jauh lagi, mereka tidak mau menutup karena alasan yang sangat penting dan lebih mahal dari uang.
Beberapa pemilik usaha yang didatangi Liputan6.com, alasannya sama. Ada kenangan, jalinan persaudaraan yang terbangun dari keseharian mereka yang sudah berlangganan belasan hingga puluhan tahun.
"Saya punya usaha lain, anak-anak saya juga sudah bekerja semua. Tapi, saya tetap buka warung setiap pagi, demi pelanggan," ujar Dedy (60) pemilik warung Bubur Ayam Ny Cirebon, Dedy malahan sering ditahan oleh anak-anaknya untuk berdagang karena kesehatan.
"Saya enggak tega lihat mereka kebingungan karena warung saya tutup," lanjut Dedy.
Ia bahkan diminta anaknya untuk pergi ke Lampung. Tapi, Dedy bersikeras agar ia tetap berdagang walau hanya sampai pukul 10 pagi saja.
Benar saja, para pelanggan Dedy lebih lama ngobrol dengan Dedy daripada makan buburnya. Aldi seorang pelanggan Dedy bahkan lebih asyik bercerita daripada menghabiskan buburnya.
Aldi curhat soal sepeda motor, keluarganya dan bahkan soal pakaiannya. "Ya begitu dek, ini yang membuat saya gamang untuk pindah, mereka sudah serupa keluarga bagi saya," kata Dedy.
Dedy menyatakan, Aldi merupakan anak dari langganannya. Bahkan, kakak Aldi sudah punya anak kecil dan masih berlangganan dengan dirinya.
"Sudah punya cicit bahkan, sejak dari neneknya muda sudah langganan di sini," kata Dedy.
Sengaja, Dedy memasang nomor teleponnya besar-besar. Agar pelanggan tahu, bahwa mereka akan pindah akhir bulan Februari nanti.
"Saya enggak tau mau pindah ke mana, nanti mereka (pelanggan) kehilangan saya, bukan soal nyari tempat pindahnya," ucap Dedy.
Sementara itu, salah satu pemilik Lapo, Paulus Siagian. Mereka sudah berkali-kali berkomunikasi dengan pihak Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK).
Ia mengatakan, dalam surat perjanjian kontrak sewa mereka berakhir per 15 Desember 2016. Namun, saat kontrak itu ditanda tangani tak disebutkan bahwa ini adalah kontrak terakhir dan tak bisa diperpanjang lagi.
Namun, tiba-tiba, sehari setelah salinan kontrak mereka terima. Surat pengosongan pusat kuliner itu mereka terima.
"Kan aneh, baru terima surat kontrak, besoknya saya terima surat pengosongan tempat," kata Paulus saat berbincang dengan Liputan6.com di warungnya.
Advertisement
Alasan Digusur
Paulus melanjutkan, sejak November mereka terus menerima surat. Isinya, sewa mereka habis per 15 Desember 2016 dan tidak bisa diperpanjang karena akan dibangun fasilitas penunjang kegiatan Asian Games yang akan dilaksanakan di GBK pada 2018.
Paulus merasa diperlakukan tak adil. Terlebih waktu yang diberikan untuk mereka mencari tempat baru tak cukup. Usai menerima surat itu, Paulus langsung berdiskusi dengan para pedagang lain, kebetulan ia adalah ketua paguyuban para pedagang.
"Kami minta waktu pada pengelola untuk diskusi dulu, duduk bersama pedagang lainnya," lanjut Paulus.
Bukannya ditanggapi, meski Paulus sudah mengirimkan surat sebanyak dua kali pada pengelola. Ia malah mendapatkan surat balasan kedua.
"Pada surat kedua yang diterima pada 28 Desember 2016, mereka memberi kami waktu hingga 15 Januari 2017," lanjutnya.
Kini, para pelanggan para pedagang di kawasan itu mulai sepi. Mereka ragu, apakah masih buka atau belum.
"Tadi ragu-ragu datang ke sini, takutnya udah tutup, karena baca berita," kata Ningrum salah seorang pelanggan Lapo.