Liputan6.com, Jakarta - Dalam perayaan pesta perkawinan, masyarakat Betawi kerap meletakkan ondel-ondel di sejumlah sudut rumah. Boneka besar dengan dandanan khasnya itu berdiri berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.
Dilihat dari ukuran fisik, tinggi ondel-ondel sekitar 2,5 sampai 3 meter. Rangka tubuhnya dibuat dari bambu. Garis tengah lingkaran tubuhnya 80-90 cm. Wajahnya yang disebut kedok dibuat dari kayu yang umumnya kayu kapuk. Boneka raksasa itu dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul orang dari dalamnya.
Topeng atau kedok ondel-ondel dihiasi dengan rambut kepala yang terbuat dari ijuk hitam serta diberi hiasan kembang kelapa. Dengan matanya yang melotot dan beraliskan tebal, ondel-ondel terkesan menyeramkan. Ditambah warna merah pada wajah ondel-ondel laki dan putih pada ondel-ondel wanita membuat nuansa "keangkeran" semakin terasa.
Advertisement
Keberadaan ondel-ondel disebutkan memang tak lepas dari anggapan adanya kekuatan mistis di dalamnya. Warga mempercayai ada kekuatan supranatural yang dapat memberikan manfaat bagi yang menggunakannya.
Peneliti kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, menyatakan masyarakat Betawi sebelum kedatangan Islam meyakini ondel-ondel memiliki kekuatan gaib. Atas dasar ini, boneka tersebut kerap disertakan dalam upacara adat, termasuk pesta pernikahan, sebagai pelindung dari marabahaya.
"Kekuatan gaib ondel-ondel ini diyakini dapat menangkal wabah penyakit seperti muntaber, cacar air, dan penyakit kulit lainnya, serta mencegah gagal panen akibat serangan hama ataupun bahaya yang mengancam,"Â ujar Yahya dalam perbincangan dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (30/3/2017).
Jika difungsikan sebagai pelengkap upacara sedekah bumi, ondel-ondel digunakan mengarak iring-iringan sajen yang diletakkan di empat penjuru kampung. Hal itu diyakini agar acara tersebut dilindungi oleh leluhur demi kelangsungan hidup anak cucu.
"Karena keyakinan seperti itu, masyarakat meyakini segala yang diminta akan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa," imbuh dia.
Yahya mengungkapkan, sampai kini keyakinan tersebut masih tertanam dalam hati masyarakat Betawi. Bahkan, tradisi yang diwariskan leluhur tersebut juga masih terjaga dengan baik di sejumlah wilayah.
"Sedekah bumi sampai sekarang masih ada. Di Pondok Rangon ada, di Jakarta Barat, ada. Masih ada kayak gitu. Itu dianggap dari kearifan lokal masyarakat setempat," jelas dia.
Eksistensi Ondel-Ondel
Dalam perkembangannya, ondel-ondel dimainkan dan ditanggap untuk berbagai acara. Antara lain mengarak pengantin sunat, peresmian kantor, pawai budaya, dan sebagainya.
Selain itu, untuk mempertahankan eksistensinya, ondel-ondel seringkali digunakan meraup rezeki dengan cara mengamen. Kegiatan itu hanya dilakukan pada saat tahun baru Masehi maupun Imlek.
Namun kini, pertunjukan kesenian ondel-ondel itu tak hanya bisa dinikmati pada waktu tertentu saja. Setiap saat, masyarakat dapat menyaksikan barungan atau rombongan ondel-ondel di sejumlah ruas jalan.
Dalam aksinya, para penari yang berada di dalam ondel-ondel itu berjingkrakan dengan iringan musik. Tidak ada musik yang dikhususkan untuk mengiringi kehadiran ondel-ondel itu, tetapi di daerah–daerah tertentu di Jakarta biasa tampil dengan iringan musik ningnong, tanjidor, gendang pencak, gambang kromong, maupun rebana ketimpring.
Ondel-ondel yang semula berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan, perlahan mulai sedikit bergeser. Dewasa ini, ondel-ondel itu digunakan untuk acara kemasyarakatan.
Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel masih bertahan dan menjadi penghias wajah kota Metropolitan Jakarta.
Advertisement