Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kasus bunuh diri kembali marak di Tanah Air. Bunuh diri itu juga membuka sejumlah cara dan motif untuk mengakhiri hidup. Mulai dari kecewa atau putus asa, patah hati, hingga di-bully. Caranya juga beragam, gantung diri, membakar diri, hingga melompat dari ketinggian gedung.
Salah satu kasus bunuh diri yang menyita publik Tanah Air belakangan adalah yang dilakukan General Manager JKT48 Jiro Inao. Pria asal Jepang itu ditemukan tewas bunuh diri di kediaman pribadinya di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten pada Selasa 21 Maret lalu.
Kasus bunuh diri Jiro Inao seolah memberi pembenaran kalau bunuh diri bagi bangsa Jepang adalah hal lumrah, bahkan cenderung dianggap sebagai cara terhormat mengakhiri hidup. Tak heran kalau seorang sosiolog dari University of Tokushima, Kayoko Ueno menyebut Jepang sebagai nation of suicide atau bangsa yang suka bunuh diri.
Advertisement
Lihat saja, Jepang mencatatkan rekor angka bunuh diri paling tinggi sepanjang sejarah pada 2003. Sebanyak 34.427 orang mati akibat bunuh diri pada tahun tersebut atau hampir 100 orang bunuh diri setiap harinya.
Angka tersebut memang mengalami penurunan beberapa tahun setelahnya. Pada tahun 2004, jumlah bunuh diri di Jepang turun sekitar 2.000 orang, yaitu 32.325 dalam setahun. Setelah adanya kampanye pencegahan bunuh diri yang digalakkan pemerintah Jepang, angkanya memang menunjukkan penurunan.
Pada 2012, angka bunuh diri mencapai 27.858 orang. Angka tersebut kembali turun menjadi 27.283 di 2013 dan turun kembali menjadi sekitar 25.000 di 2014. Sedangkan pada 2015, angkanya mencapai 24.025 orang. Meski terus menurun, tetap saja angka bunuh diri itu tergolong besar.
Karena jumlah yang luar biasa itu, di Jepang sudah biasa kalau koran atau media massa setiap hari memberitakan kabar bunuh diri. Bunuh diri merupakan bacaan setiap hari dan bukan kabar yang akan dibahas berlama-lama.
Jepang memang tak bisa dipisahkan dari bunuh diri. Meski dalam daftar Badan Kesehatan Dunia (WHO) bukan satu-satunya negara yang memiliki angka bunuh diri fantastis, Jepang tetap saja menonjol karena dari perbandingan dengan jumlah penduduk, Jepang tetap teratas. Apalagi, bunuh diri di Jepang tak sekadar untuk orang yang putus asa, melainkan sudah menjadi tradisi.
Â
Tradisi yang Mengerikan
Harakiri atau bunuh diri sebagai hukuman mulai populer di masa Kekaisaran Tokugawa pada zaman Edo (1600-1867). Umumnya, motif bunuh diri ketika itu adalah untuk memperlihatkan kesetiaan kepada majikan atau sebagai ungkapan rasa malu karena kekalahan dalam peperangan.
Cara bunuh diri atau harakiri yang umum ketika itu adalah dengan merobek perut atau seppuku. Ritual ini dilakukan dengan dua cara, ichimonji dan jumonji.
Ichimonji adalah merobek perut dengan jalan menusuk pedang ke bagian kiri, lalu menariknya ke sisi kanan. Sedangkan jumonji, menusukkan pedang ke ulu hati, kemudian menghelanya ke bawah sampai ke pusar. Cara ini kerap ditampilkan film-film Jepang yang menceritakan masa-masa kejayaan samurai.
Seppuku tidak dilakukan dengan sederhana, ada persiapan khusus sebelum seseorang bunuh diri. Selain harus berpakain putih yang bersih, samurai yang akan bunuh diri akan disajikan makan enak sebelum upacara digelar.
Saat melakukan seppuku, seorang samurai akan dikawal algojo yang bertugas menebas batang leher si samurai bila ia tak sampai mati dalam aksinya.
Bunuh diri dengan cara tradisional ini terakhir kali dilakukan pada November 1970. Seorang sastrawan terkenal Jepang, Mishima melakukan ritual seppuku setelah bersama para pengikutnya menerobos masuk ke pangkalan militer Pasukan Bela Diri Jepang. Setelah berpidato dia lalu merobek perutnya dan seorang pengikut menebas batang lehernya setelah Mishima berteriak Tenno Heika Banzai! (Hidup Kaisar!).
Saat Perang Dunia II, kesetiaan itu beralih kepada Kaisar daripada kepada sekadar majikan atau tuan tanah. Karena itu, ketika kekalahan datang, prajurit Jepang serta perwiranya melakukan bunuh diri. Caranya bisa dengan minum racun, seppuku, menembak diri atau mengantarkan nyawa di tengah berondongan senjata musuh.
Yang terkenal tentu saja aksi Kamikaze dan Ningen Gyorai. Pasukan Kamikaze adalah pasukan pesawat udara yang dalam operasi berani mati melakukan misi bunuh diri. Sementara Ningen Gyorai adalah pasukan angkatan laut yang dikenal sebagai torpedo manusia. Seorang prajurit akan jadi penunggang peluru torpedo yang tentu saja akan ikut tewas ketika torpedo mengenai sasaran.
Lain lagi di Provinsi Okinawa. Ketika pasukan Amerika Serikat mendarat, prajurit dan rakyat ikut pula bunuh diri dalam sebuah bunuh diri massal yang mengerikan.
Â
Advertisement
Harakiri Masa Modern
Waktu berlalu dan zaman berubah, namun motif warga Jepang bunuh diri belum bergeser, masih didominasi oleh prinsip kesetiaan serta rasa malu. Kalau di masa lalu setia pada majikan dan malu karena kalah perang, di masa modern kesetiaan itu beralih pada perusahaan serta malu jika namanya tercoreng.
Seperti dilakukan seorang pejabat tinggi salah satu anak perusahaan Nissho Iwai yang melompat dari jendela sebuah gedung pencakar langit. Kisah bunuh diri itu dimuat banyak media massa dan cukup menghebohkan.
"Ini perusahaanku yang abadi," tulisnya pada secarik kertas yang dibawanya terjun. Orang Jepang memahami arti kata-kata itu sebagai sebuah tanda setia.
Pada 1982, seorang polisi di Provinsi Osaka juga bunuh diri. Ia dikabarkan malu karena sejumlah media massa membongkar kasus korupsi di lingkungan kepolisian Osaka. Padahal ia sama sekali tak punya sangkut paut dengan satu pun kasus korupsi itu, namun ia merasa ikut bertanggung jawab karena ia pernah menjabat sebagai kepala polisi Osaka.
Selain itu, ada pula bunuh diri yang dilakukan bersama-sama atau banyak orang. Misalnya di Provinsi Aichi, pernah tiga orang perempuan mencoba bunuh diri dengan terjun ke sungai. Dua orang tewas. Alasannya mereka tidak setuju pada sikap sekolah mereka dalam menggariskan cara bergaul.
Tahun 1982, tiga pelajar wanita juga bunuh diri dengan meloncat dari atas gedung. Tak jelas alasan mereka. Yang pasti itu dilakukan tepat pada hari pembagian ijazah.
Tahun 1983, lagi-lagi di Provinsi Aichi, dua gadis juga bunuh diri bersama dengan meloncat dari atas gedung. Tak jelas apa motifnya hingga kini.
Di Indonesia sendiri, selain angka bunuh diri yang jauh lebih kecil, alasannya pun bisa ditebak. Selain itu, bunuh diri bukanlah budaya bangsa Indonesia seperti halnya Jepang. Karena itu, motif bunuh diri Jiro Inao dengan kasus bunuh diri lainnya belakangan jauh berbeda.
Akan sulit menemukan kasus bunuh diri di Indonesia dengan motif yang sama dengan Jiro Inao. Motif bunuh diri Jiro Inao yang konon karena tekanan hebat yang ia terima selama menjabat sebagai General Manager JKT48 mungkin hanya bisa dipahami oleh bangsa Jepang. (dari berbagai sumber)
Â